Love’s Arrived 2
Chapter 1
1
PESTA PERTUNANGAN ALEX
ZHOU DAN GISELA MAI MERIAH
Pesta pertunangan
kedua pasangan selebritis, Alex Zhou dan Gisela Mai yang dilangsungkan di Star
Hotel, hotel termewah di Taipei, dihadiri oleh sekitar 1500 undangan dan pesta
berlangsung tertutup. Hanya beberapa wartawan yang dikenal baik hubungannya
dengan Famous Production, agensi tempat bernaung kedua artis yang diizinkan
hadir di pesta yang berlangsung hari Minggu kemarin. Alex mengaku Gisela
mengundang lebih banyak tamu dibanding dirinya.
“Aku ajak beberapa teman baik juga dari Indonesia. Tapi
sepertinya untuk pernikahan nanti, kita nggak mau lagi di tempat mewah dan
tertutup,” jelas Gisela yang malam itu tampak cantik dibalut gaun berwarna
violet.
Alex juga tampak berbahagia dan terus menggandeng Gisela
selama pesta berlangsung. “Untuk pernikahan, mungkin aku mau mengikuti
keinginannya Gisela untuk nikah dengan konsep pesta taman. Yah, kita lihat saja
nanti,” kata Alex.
Sahabat-sahabat terbaik Gisela dan Alex yaitu ketiga
personil Li Liang lainnya, ketiga personil Hua Xiang, ditambah David Wang,
Viona Huang, Chaterine Chen dan Lydia Huang juga hadir sebagai tamu kehormatan.
Seperti yang diketahui, Nathan Lin dan Viona Huang sekarang juga sudah
berpacaran, sedangkan David Wang juga menjalin cinta dengan Lydia Huang. Mereka
semua juga sangat bahagia kedua sahabat mereka bisa bertunangan.
“Kalian tidak tahu sih, mereka susah sekali baru bisa
jadian,” kata Nathan, “kami harus mengorbankan tenaga dan air mata hingga
mereka bisa sampai hari ini.”
“Dengan bertunangan, hubungan mereka sudah naik setingkat.
Mudah-mudahan mereka bisa tambah dewasa dalam berhubungan dan nggak merepotkan
kami lagi,” tambah Quiny Ren sambil tertawa.
“Aduh, fotonya sedikit sekali. Sepertinya pesta pertunangan
mereka memang limited ya,” celoteh Selly sambil menghentak-hentakkan majalah
Selebrity Today dengan tidak senang.
“Hei, jangan kasar-kasar, itu majalahku. Dari angkatan kita
aja katanya Cuma Jeanne yang diundang,” kata Vincy.
Yang baru saja disebut namanya muncul. Jeanne Novia datang
sambil membawa tas yang berisi laptop di tangan kanannya. Rambut panjangnya
dikuncir ekor kuda. Selly, Vincy dan Zici langsung mengerumuninya. Jeanne yang
baru duduk di kursinya, langsung merasa heran.
“Jeanne! Kamu hadir di sini, kan?” tuntut Selly.
“Hadir di mana?” tanya Jeanne sambil melirik majalah di
tangan Selly dan seketika paham, “oh, iya. Aku datang ke pestanya.”
“Katanya pestanya meriah sekali ya? Dan banyak artisnya?”
tanya Zici yang paling imut di antara mereka berempat.
“Yap. Dekorasinya luar
biasa. Bayangkan, aku ke sana
aja sampai pakai gaun. Hampir semuanya artis Famous, tapi ada juga yang dari
rumah produksi lain. Pokoknya ramai sekali,” jelas Jeanne jujur, “David
kelihatan cakep sekali, lho.”
“Kami iri sekali padamu,” kata Selly.
“Jangan begitu. Mungkin aja waktu pesta pernikahan mereka,
kita semua bisa diundang,” hibur Jeanne, “Mei-Mei nggak bisa berbuat banyak,
soalnya kali ini dia mengutamakan yang di Indo dulu.”
“Yah, kita berharap aja deh,” harap Vincy.
“Da jia zao an! (semuanya, selamat pagi!)”
Keempatnya kompak menoleh ke pintu masuk kelas. Gisela
tampak berseri-seri. Bagaimanapun pesta pertunangan baru lewat dua hari yang
lalu.
“Mei-Mei! Kukira kamu nggak datang hari ini!” tuduh Jeanne.
“Bagaimana mungkin aku nggak datang? Hari ini kan kita pengarahan
untuk proyek. Aku tetap harus ikut proyek,” ucap Gisela, duduk di kursi sebelah
Jeanne.
“Tapi kita kan
dikarantina di proyek nanti. Kita juga bakal praktek di tempat terpencil.”
“Na zen me la? (lalu kenapa?)”
“Kamu kan
pengantin baru. Kamu bisa sakit rindu…”
Sebelum Vincy menyelesaikan kata-katanya, kepalanya sudah
ditimpuk dengan buku yang dibawa Gisela.
“Aku kan belum menikah.”
“Eh, kami mau lihat cincinnya dong,” pinta Selly.
Gisela mengangkat tangan kanannya dan semuanya memandang
kagum jari manis Gisela dimana melingkar sebuah cincin berlian. Ada sedikit ukiran
melingkar di dekat mata cincinnya. Gisela melepas cincinnya dan mengangkatnya
dekat teman-temannya.
“Lihat ini di bagian dalamnya…”
“Angka apa ini?” tanya Jeanne.
“Tanggal pertunangan kami, 30 Juli, jadi dibuat 30-7 dan
ini huruf Chen dari Xiang Chen. Kalau punya Xiang Chen ge, ada tanggalnya juga
dan huruf Mei dari namaku.”
“Jadi kalian akan selalu ingat dengan pasangan
masing-masing, ya?”
Gisela tersenyum malu-malu saat digoda teman-temannya.
“Eh, Gao lao shi (guru Gao) udah datang. Cepat duduk,”
perintah Zici panik.
*******
“Ma… wo hui lai le (aku udah pulang).”
David merebahkan dirinya di sofa ruang keluarga rumahnya
yang empuk. Dia baru pulang syuting, dia merasa semua tulangnya remuk. Dia
bahkan tak punya tenaga untuk melepas jaketnya. Musim gugur yang agak lembab
masih belum sepenuhnya terasa di Taipei,
musim panas sepertinya masih memberikan perlawanan yang berarti. Inilah yang
menyebabkan wajah ganteng David dipenuhi keringat. Wang Mama datang membawa
segelas es jeruk sambil tersenyum.
“Mama… ni zui liao jie wo (kamu sangat mengerti aku),” puji
David penuh syukur, meraih es jeruk dari tangan Wang Mama.
“Mama sudah membesarkanmu selama 23 tahun, kalau bukan mama
yang mengerti kamu, lalu siapa lagi?” Wang Mama membantu melepas jaket David.
Wang Mama memperhatikan David yang sedang minum dan tampak
luar biasa ganteng.
“Ming-Ming, bagaimana kabar Lydia?”
“Oh, ta hen hao (dia baik sekali). Masih mengerjakan
skripsi. Mudah-mudahan bisa wisuda akhir tahun ini.”
“Kasihan ya kalian harus pacaran jarak jauh. Mama lihat
kamu selalu kangen padanya.”
“Kangen sih pasti, ma. Tapi nggak masalah kok, kita selalu
contact setiap hari.”
David kembali minum es jeruk dengan penuh rasa syukur. Tapi
setelah topik ini diangkat Wang Mama, mau tidak mau pikirannya dipenuhi Lydia.
Sejujurnya, baru berpisah seminggu sudah membuat David merindukannya setengah
mati. Tapi apa boleh buat, Lydia
benar-benar harus menyelesaikan studinya dulu. David hanya bisa memberikan
support via telepon.
“Ming-Ming, setelah Lydia lulus kuliah, kalian menikah
saja.”
David tersedak minumannya dan batuk-batuk hebat. Wang Mama
panik dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Aduh, sudah dewasa tapi masih bisa tersedak. Kamu ini
kenapa sih, Ming-Ming?”
David mati-matian menenangkan dirinya.
“Ma…” dia mendengar suaranya serak sekali, “kurasa Lydia tidak
setuju. Kami sama-sama masih berumur 23. aku aja merasa terlalu muda untuk
membangun keluarga.”
“Tapi kalau kalian tidak segera menikah, kalian akan terus
saling rindu seperti sekarang. Kalau sudah menikah, kalian bisa tinggal
serumah, kan?”
“Ma…”
“Sudah, itu Cuma usul Mama, kok. Masih mau minum tidak?
Mama ambilkan.”
David mengangguk dan menyerahkan gelas kosongnya pada Wang
Mama. Lydia… menikah? Kurasa dia nggak bakalan setuju. Dia mau jadi cewek mandiri
yang punya pekerjaan sendiri. Mana mau dia diikat dengan pernikahan begitu
cepat.
*******
“Panas sekali, kita masuk ke sana sebentar yuk.”
Viona mengangguk. Nathan membimbing Viona masuk ke kafe
kecil di tepi jalan. kafe itu sepi, mereka duduk di meja dekat pintu masuk.
Mereka segera memesan minuman. Viona melihat wajah Nathan berkeringat.
“Ming Jun ge bersikeras nggak mau naik mobil sih, jadi
berkeringat begitu,” kata Viona sambil mengusap wajah Nathan dengan tissue,
“Taipei masih kalah panasnya dibanding Indo.”
“Mungkin itu sebabnya kamu nggak berkeringat, kan?” tanya Nathan,
“lagipula kalau kita naik mobil, aku akan mudah dikenali fans. Otomatis kerjaan
kita jadi terhambat, kan?”
Viona tersenyum. Tapi tak lama kemudian, dia menghela nafas
panjang.
“Ternyata cari kerja di Taipei itu nggak mudah, ya?”
“Sebenarnya bukan Cuma di Taipei sih, di mana-mana juga
cari kerja nggak mudah. Apalagi lulusan komputer sekarang banyak sekali.”
“Kira-kira aku harus coba profesi lain nggak, ya?”
Viona kepingin sekali ngomong pakai bahasa Indonesia.
“Apa misalnya?”
Ternyata Nathan menanggapinya dengan baik dan hal ini
membuat Viona senang.
“Guru.”
“Kalau memang kamu berminat, kita bisa coba cari.”
“Kita tetap di jalur pertama dulu deh, kerja kantoran
yang berhubungan dengan komputer.”
“Cat masih oke di tempat kerjanya?”
“Dia oke. Sayang sekali aku nggak lulus tes masuknya
kemarin. Kalah telak di bahasa Inggris.”
“Udah, jangan putus asa. Kita kan masih bisa berusaha.”
Minuman datang dan Nathan langsung minum jus apelnya.
“Ge ge, capek nggak temani aku cari kerja seharian?”
“Nggak capek. Nggak lebih parah dari aku syuting
seharian, kok.”
“Xie xie.”
“Bu yong xie (nggak perlu berterimakasih). Aku kan pacarmu. Selama ini kamu
selalu jadi asistenku, udah waktunya aku kasih timbal balik ke kamu,” jelas
Nathan, “lagipula kamu kan
tunanganku. Apa sih yang nggak untukmu?”
Viona tersenyum saat Nathan menggenggam tangannya di atas
meja. Dalam hati, Viona bersyukur sekali bisa memiliki tunangan sebaik Nathan.
“Oh, aku hampir lupa! Hari ini peluncuran album Ming-Ming
ge, kan?”
teriak Viona.
“Gawat! Aku lupa!” Nathan mengecek arlojinya, “masih 15
menit. Kalau kita naik taksi dari sini, nggak akan terlalu terlambat, deh.”
“Ayo cepat! Nanti kita dibunuh Mei-Mei.”
*******
Gisela, Alex, Albert, Michael, Gracia, Moniq dan Quiny
sudah stand-by di hall di gedung Famous Production. David sedang memberikan
ucapan terima kasih atas peluncuran album ketiganya ini. Nama mereka semua
sudah disebut, termasuk Viona dan Nathan yang belum hadir. Gisela menoleh
kesana kemari dengan gusar.
“Mana Xiao Li dan Ming Jun ge? Mereka melupakan momen
penting ini ya?” tanya Gisela, memandang pintu masuk ruangan dengan gusar.
“Xiao Li kan
kebagian tugas membagikan bunga untuk semua fans yang membeli album di hari
pertama ini,” kata Michael, “dan Ming Jun juga jadi penyambut wartawan sama
kami bertiga.”
“Telepon aja deh!”
Gisela menggunakan video call ke nomor Nathan, tapi
ternyata ditolak.
“Wah… mereka kemana, sih!”
“Sabar, Mei-Mei…” Moniq menenangkan Gisela yang seperti
cacing kepanasan.
“Mana bisa tenang. Sebentar lagi kita harus menjalankan
tugas.”
“Nah, itu mereka datang!” seru Gracia sambil menunjuk pintu
masuk.
Nathan dan Viona masuk ke ruangan dengan terengah-engah, agak
berkeringat dan berantakan. Kedatangan mereka menarik perhatian para wartawan.
Semuanya tertawa melihat keduanya. Mereka Cuma bisa tertawa malu-malu. Viona
langsung duduk di sebelah Albert, sementara Nathan menyusup di antara Quiny dan
Alex.
“Kalian dari mana sih? Nyaris terlambat dan berantakan
begitu,” cecar Gisela.
“Dui bu qi, Mei-Mei. Tadi Ming Jun ge menemaniku cari
kerja. Ternyata kita kelupaan,” jelas Viona.
“Kalian perlu sedikit make-up deh. Gracia, bantu aku ya,”
pinta Quiny yang sudah mulai merogoh peralatan make-up di tas kecilnya.
Gracia langsung menyambar wajah Viona, Quiny membedaki
wajah Nathan. Akhirnya kehebohan berakhir dan mereka menjalankan tugas mereka
saat acara peluncuran album dimulai. Gisela, Viona dan Gracia membagikan bunga
ke para fans yang sudah mendapat tanda tangan David. Moniq dan Alex yang
menjadi penjual album. Sisanya melayani para wartawan. David senang sekali
semuanya datang membantu. Sayang sekali Chaterine di Jakarta dan Lydia sekarang
di Palembang.
Tentu yang paling disesalkannya Lydia
tidak bisa datang. Tapi setidaknya dia sudah menelepon David tepat sebelum
acara dimulai.
Acara berlangsung lima jam penuh, semuanya pulang ke rumah
dengan kaki dan tangan yang pegal-pegal. Alex mengantar Gisela dan Viona
kembali ke rumah.
“Aku duluan ya,” kata Viona yang langsung turun dari Honda
biru Alex.
Viona yakin sekali keduanya akan mengucapkan salam
perpisahan, mungkin juga ciuman selamat malam dan dia tidak bernafsu
menyaksikan semua itu.
“Kapan kamu akan pergi ke lokasi proyek?” tanya Alex,
menoleh pada Gisela di sebelahnya.
“Tanggal 25 nanti. Kita bakal proyek di sekolah-sekolah
pedesaan. Nanti semua yang ikut proyek, baik dari fakultas kami, maupun fakultas
seni akan digabung, nah kami akan diacak untuk membentuk kelompok masing-masing
lima orang,”
jelas Gisela panjang lebar, “dan setiap kelompok harus mengajarkan sastra dan
mempersiapkan pertunjukan seni kepada sepuluh anak.”
“Sampai kapan?”
“Setengah tahun. Sampai bulan Februari.”
Alex kelihatan cemberut dan menoleh menatap jalanan di
depannya. Gisela heran dan menarik wajah tunangannya itu ke hadapannya.
“Kenapa cemberut?”
“Jelas, kan?
Aku nggak terbiasa nggak ketemu kamu lebih dari tiga hari.”
“Kita kan
bisa pakai video call.”
“Yakin sinyalnya lancar?”
Gisela berpikir sejenak dan teringat ucapan Jeanne kemarin.
“Kata Jeanne, ada kalanya sinyal lancar dan hilang. Kalau
kita mau dapat sinyal bagus, kita harus ke bukit di dekat desa.”
“Tuh kan…
gimana kalau aku kangen sama kamu, terus kita nggak bisa ngobrol di telepon?”
tanya Alex, tampak lebih cemberut lagi.
“Aduh… jangan begitu dong.”
“Lagian aneh sekali sih angkatan kalian sampai harus
dikarantina segala. Padahal angkatan sebelumnya nggak pernah begini.”
“Bahkan nggak boleh menerima segala bentuk informasi dari
luar, lho. Kita nggak boleh baca koran, apalagi menelepon. Jadi kita harus
serba hati-hati waktu pakai telepon,” jelas Gisela membuat Alex serasa disambar
petir.
“Kenapa harus segitunya, sih?”
“Yah, katanya supaya lulusan tahun ini lebih berkualitas
lagi. Lagipula, mengajarkan ilmu ke anak-anak dianggap amal, lho. Soal nggak
boleh menerima informasi itu, katanya supaya kita lebih konsentrasi ke proyek,”
jawab Gisela.
“Qi guai (aneh).”
Gisela tersenyum pasrah dan mencium Alex tepat di bibirnya.
Alex sempat tidak connect beberapa detik sebelum membalas ciumannya.
“Kan masih seminggu sebelum aku ke lokasi. Jadi kita kencan
tiap malam aja ya?”
“Janji, lho!”
“Iya, aku janji. Sekarang aku mau tidur. Badanku sakit
semua, nih!”
“Kamu masih enak. Aku dicubitin fansnya Ming-Ming, nih.”
“Siapa suruh Xiang Chen ge milikku ini cakep sekali! Ya
udah, ge ge juga langsung istirahat sepulang ini, ya.”
“Iya. Wan an (selamat malam), ming tian zai jian (besok
ketemu lagi).”
Gisela keluar dari mobil dan melambai pada Alex sebelum
masuk ke rumah. Alex memandang sosok Gisela dan merasa tidak rela melepasnya
dikarantina.