Brand New It's Magic
Preview: Brand New It's Magic is a story that has magical plot, beside of friendship, love and mystery plots. It tells story of 5 young girls who are chosen to be Element Warriors from a long time ago, their duty are to seal The Demon Prince. The story is begin when they had successfully sealed The Demon Prince, but then The Demon Prince is planning to break the seal... The vampire clans is backing Element Warriors up, also with Warriors' Helpers, Guardians & Guardian's Helpers... How do Element Warriors prevent The Demon Prince to break the seal? Will they success or... fail?
Disclaimer: I don't own Super Junior members, SS501 members, Fahrenheit members, Lee Junki, Park Yunhwa, they're actor/singer that belongs to their company and parents; I don't own all the characters - they're my friends who belongs to their parents; but I do own May, she's my imagine character, and the vampire clans are also my imagine character... Enjoy this, comment this, I don't owe money from this story
Chapter 1
The Secret of House
Part 1
MAY’S POV
Beginilah kerjaanku setiap hari. Bangun pagi, mencuci dan membersihkan rumah, dan pada jam yang tepat membangunkan kedua saudaraku dari tidur yang menyenangkan setelah aku mempersiapkan sarapan. Meskipun lelah dan kadang ingin protes, apa boleh buat… Aku adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Orangtuaku meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Keduanya jadi korban pesawat yang dikabarkan hilang. Mungkin saja pesawat mereka jatuh karena cuaca buruk. Gegeku, Jiro, baru lulus dari kuliahnya di jurusan vocal, dan sekarang sedang membina band-nya, “D’Sky” supaya bisa diorbitkan jadi band ternama. Masalahnya, kerjaan itu bukan sehari-dua hari langsung tercapai. Meimeiku, Rin, hari ini masuk high school hari pertamanya. Sedangkan aku kuliah semester tiga di jurusan acting. Dengan pengeluaran keluarga kami yang tidak sedikit, aku dan Jiro ge bekerja part time. Jiro ge memberikan les privat vocal dan gitar, saat ini sudah mempunyai beberapa murid; sedangkan aku menjaga mini market di kompleks rumah setiap sore sampai malam hari. Berat memang, tapi inilah hidup.
“Ge… bangun! Rin… bangun!” teriakku dari lantai bawah.
Aku mendengarkan dengan seksama apakah ada reaksi dari lantai dua rumahku, tempat semua kamar kami berada. Terdengar bunyi-bunyi, aku yakin keduanya sudah bangun. Aku duduk di meja makan menunggu keduanya untuk sama-sama sarapan. Seperti biasa, Jiro ge muncul dengan tampang berantakan; namun Rin muncul dengan senyum di wajahnya, dia cantik dengan seragam high school barunya.
“Pagi May,” sapa Jiro ge sambil mengambil telur mata sapi, “hari pertama kuliah langsung full jadwal?”
“Ada tiga mata kuliah, jadi aku pulang jam setengah satu. Wow Rin, kamu cantik. Senang tidak, akhirnya sudah masuk high school?”
“Senang sekali, jie. Kan high schoolnya satu lingkungan dengan kampus jiejie, jadi kalau ada apa-apa, aku bisa mampir,” jawab Rin.
“Memang sih, tapi jaraknya lumayan jauh kan?”
Jiro ge mengunyah telur sambil bertanya, “sahabatmu yang sering datang ke rumah itu… siapa itu namanya?”
“Maksud gege si Clara, ya?” Rin bertanya balik.
“Iya, yang itu… apa dia masuk ke high school yang sama denganmu?”
“Iya. Mudah-mudahan kami sekelas. Oh… sudah jam tujuh empat lima! Aku janjian sama Clara untuk ketemuan di halte bus… sekarang aku akan pergi.”
Aku berpesan, “hati-hati ya, Rin…”
“Jaga barang bawaan dari pencopet di bus,” tambah Jiro ge.
Rin membalas, “iya ge, jie. Sampai ketemu.”
Rin dengan cerianya keluar rumah. Tinggal aku dan Jiro ge sekarang.
“Ge, hari ini jam satu ada les dengan Thia, jangan lupa latihan band jam tiga sore,” pesanku, “untuk jadwal malam kosong, jadi gege bisa pakai waktu luang gege untuk latihan band selama mungkin atau menulis lagu baru.”
“Thanks yah May. Sudah repot dengan urusan rumah, kampus, sekarang sibuk juga jadi manager pribadiku. Payah yah aku belum bisa menggajimu…” kata Jiro ge sambil mengelus kepalaku penuh rasa sayang.
“Tidak apa-apa ge… aku tagih pada waktu yang tepat nanti…”
Aku mendengar sebuah suara memanggilku, “May jie!!!”
“Ah, itu pasti Thia! Kami akan ke kampus bareng. Ge, bisa tolong bukakan pintunya? Aku mau bereskan meja dulu.”
“Oke,” setuju Jiro ge.
***
AUTHOR’S POV
Jiro beranjak ke pintu depan sementara May membereskan meja. Sosok Thia yang ceria berdiri di depan gerbang rumah Jiro.
Thia menyapanya, “Jiro ge… ada May jie?”
“Ada… dia lagi membereskan meja,” jawab Jiro, “ayo Thia, tunggu di dalam.”
“Ge… jangan lupa ya les privat kita jam satu nanti.”
“Baru juga diingatkan sama May. Tenang, gege tidak akan lupa. Gege akan datang ke rumahmu tepat waktu.”
Usia Thia sebenarnya hanya setahun lebih muda dari May, tapi sifatnya masih kekanak-kanakan, bahkan kadang lebih kekanakan dibanding Rin, tapi dia cewek yang cantik. Sudah sepuluh tahun lebih keluarga Thia menjadi tetangga keluarga Wang. Mamanya Thia sangat baik, sering memberikan sayur segar setiap pulang berbelanja dari mini market. Papanya Thia yang sering berangkat ke luar negri untuk urusan bisnis sering memberikan oleh-oleh kepada keluarga Wang. Bisa dibilang, meski tidak ada hubungan keluarga, hubungan kedua keluarga ini dekat layaknya keluarga. Saat ini Thia masuk kuliah jurusan vocal di universitas yang sama dengan May.
May tersenyum pada Thia, “ayo Thia, kita berangkat.”
“Sampai ketemu ya, Jiro ge,” pamit Thia.
Jiro berpesan, “Hati-hati kalian gadis-gadis ya.”
Keduanya berjalan menuju halte bus yang jaraknya kira-kira 25 meter dari rumah keluarga Wang.
“May jie… kuliah disana menyeramkan tidak sih?”
May tertawa, “haha, Thia, kamu ada-ada saja. Tidak menyeramkan koq. Dosennya baik-baik, tapi memang lumayan disiplin dan jadwal kuliah agak ketat. Tapi aku yakin kamu bisa mengikuti dengan baik.”
“Kira-kira aku bakal dapat teman tidak ya?”
“Oh ya, ada didi sahabatku yang baru masuk jurusan vocal juga. Kalau kita ketemu mereka, nanti aku kenalkan. Dia cowok yang cakep lho.”
“Haha… tapi tidak ada yang secakep Jiro ge kan?”
“Wah, entah ya… aku jadi tidak objektif karena Jiro ge adalah gege ku. Tapi Chun oke koq…”
***
MAY’S POV
Setelah naik bus selama 20 menit, sampailah kami di lingkungan high school dan universitas Saint yang luar biasa luas. Di balik gerbang ada lapangan parkir motor dan mobil untuk para murid. Ke kanan adalah jalan menuju high school dan ke kiri adalah jalan menuju universitas. Gedung yang berada lurus dari depan gerbang adalah ruang tata usaha, laboratorium, ruang guru dan dosen, pokoknya semua yang bukan kelas. Aula yang besar berada tepat di belakang gedung utama ini. Kamipun berjalan menuju arah kiri.
Kembali, aku mendengar suara yang memanggilku, “May!!!”
Aku menoleh dan melihat ada tiga sosok berjalan mendekat padaku dan Thia. Satu cewek dan dua cowok. Itu adalah keluarga Heo. Amelz kuliah setingkat dan dengan jurusan yang sama denganku, kami sudah bersahabat sejak tahun kemarin. Oppanya, Youngsaeng, yang charming, kuliah di jurusan vocal di tingkat akhir, sekaligus sahabat lama Jiro ge. Aku jarang melihat dongsaeng mereka, Chun, karena Chun jarang di rumah. Chun kebanyakan menghabiskan waktunya di gym. Menurut Amelz, Chun tahun ini mengikuti jejak Youngsaeng oppa, masuk ke jurusan vocal.
Aku menyapa mereka, “hai Amelz… hai juga Youngsaeng oppa dan Chun.”
“Lama tidak ketemu selama liburan, May. Eh… ini…”
“Oh, ini tetanggaku. Kenalkan, Youngsaeng oppa, Amelz dan Chun, dia ini Thia. Thia, ini Youngsaeng oppa, sahabat Jiro ge, Amelz sahabatku dan Chun, dongsaeng mereka.”
Mereka berempat bersalaman dengan ramah.
“Thia, kamu masuk kuliah jurusan apa?” Tanya Youngsaeng oppa.
Seperti biasa, aku selalu senang mendengar suara Youngsaeng oppa, dan Thia tampaknya cukup shock mendengar suaranya yang begitu merdu, bahkan bila Cuma digunakan untuk berbicara biasa.
Thia menjawab gugup, “vo… vo… vocal.”
“Nah, kalau begitu Thia bisa kita tinggalkan bareng Chun. Syukurlah Chun dapat teman baru,” putus Amelz.
Akupun setuju, “iya. Thia agak gugup karena takut sendirian. Benar-benar beruntung ketemu Chun.”
“Thia, ayo kita ke kelas,” ajak Chun.
Chun dan Thia menuju kelas mereka di lantai satu, sedangkan kami naik ke lantai berikutnya.
Youngsaeng oppa bertanya, “May, gimana liburanmu?”
“Ya, oppa, begitu saja,” jawabku seadanya, “kami tidak bisa kemana-mana sementara aku kerja part time dan Jiro ge masih mengajar privat.”
“Tapi sudah bisa ambil cuti, kan?”
“Biar saja cutinya dikumpulkan untuk tahun berikutnya, haha.”
“Oh ya, May, ini ada oleh-oleh untukmu, Jiro ge dan Rin,” ucap Amelz sambil membuka backpack-nya.
Amelz mengeluarkan tiga kotak dari dalam tasnya. Dua kotak kecil dan satu kotak besar. Aku baru ingat keluarga Heo kembali ke kampung halaman mereka di Seoul pada liburan kemarin. Appa dan omma mereka memang berkebangsaan Korea, namun anak-anak mereka tinggal disini. Appa dan omma mereka sangat sibuk mengelola perusahaan, sementara mereka cukup percaya Youngsaeng oppa bisa membimbing dongsaeng-dongsaengnya disini.
“Apa ini?”
“Yang besar punyamu. Yang bungkusannya pipih (memisahkan kotak panjang pipih) untuk Jiro ge dan yang kecil ini untuk Rin.”
“Hmm… aku penasaran. Boleh aku lihat sekarang?”
“Tentu boleh. Ayo, kita masuk ke kelas dan buka bungkusannya.”
Youngsaeng memutuskan untuk ikut keduanya, “aku ikut yah. Aku ingin melihat reaksi May.”
Kami masuk ke ruang kelas 209, tempat mata kuliah pertama kami hari ini akan dilangsungkan. Tentu kelas Youngsaeng oppa tidak sama dengan kami, kelasnya ada di tingkat empat, tapi dia ikut masuk bersama kami. Terdengar bisik-bisik saat Youngsaeng oppa masuk. Tentu dia sangat terkenal dengan suara merdunya, termasuk di antara mahasiswa jurusan acting sekalipun, dia tetap terkenal. Aku duduk di bangku tengah dan mulai membuka bungkusan yang diberikan mereka. Betapa terkejutnya aku saat melihat hanbok indah berwarna hijau-pink dengan pita berwarna ungu muda. Aku dari dulu kepingin punya hanbok, meskipun aku bukan orang Korea.
“Ya ampun…” kataku kaget, “ini mahal kan, Melz?”
“Haha… tidak koq. Asal kamu senang. Itu hadiah dari aku dan Youngsaeng oppa. Asal kamu mau tau saja, May, hanboknya dipilihkan special oleh oppaku loh,” ujar Amelz bangga.
Aku menoleh dan melihat Youngsaeng oppa tersenyum sangat manis padaku. Jarang-jarang aku tersipu malu, tapi kali ini aku benar-benar tersipu melihat senyumnya.
“Youngsaeng oppa… thanks…”
Youngsaeng oppa tetap tersenyum, “syukurlah kalau kau suka dengan kadonya, May…”
“Hei Youngsaeng, rupanya kau disini!” kami menoleh ke pintu ke sumber suara, “aku kira ada kehebohan apa di kelas acting.”
Yang datang adalah Kyujong, salah satu anggota keluarga Kim, sepupu jauh kami. Ommanya Kyujong oppa adalah adik bungsu mama dan gugu menikah dengan shushu dari Korea. Keluarga Kim tinggal di pinggir kota tempat yang lebih tenang dan asri. Namun itu bukan masalah, Kyujong oppa dan dongsaengnya, Calvin, ke kampus dengan mengendarai mobil Kyujong oppa. Kyujong oppa satu tingkat dengan Youngsaeng oppa, sedangkan Calvin seumuran denganku, kuliah di jurusan vocal. Selain hubungan sepupu, Kyujong oppa adalah drummer dan Calvin adalah basis di band D’Sky.
“Aku baru memberikan oleh-oleh untuk sepupumu.”
“Ya… ya… bisa kulihat… Kau senang kan, May?”
Aku tersenyum senang, “tentu saja, Kyujong oppa…”
“Aku nyaris mengira kau bolos di hari pertama kuliah, Youngsaeng… ayo ke kelas.”
“Oke. May, Amelz…” pamit Youngsaeng oppa, “aku duluan yah.”
“Semoga kuliah kalian menyenangkan…”
Bisik-bisik mengiringi kepergian Youngsaeng oppa dan Kyujong oppa yang tampan. Aku sedang memasukkan hanbok kembali ke dalam bungkusan dan terus tersenyum berterima kasih pada Amelz. Saat itu Stella datang tergopoh-gopoh ke arah kami.
Stella menggoda, “mah… ada yang baru dapat oleh-oleh hanbok!”
“Iya Stel, oleh-oleh dari Amelz,” kataku senang.
“Asyiknya…”
Stella mengambil tempat duduk di sampingku. Bel berbunyi dan para murid mulai memasuki kelas. Kami semua menunggu kedatangan dosen. Tapi bukannya dosen yang muncul, malahan yang datang…
Junki menundukkan kepalanya, “maaf pak, aku terlambat…”
Kami semua tercengang. Jelas-jelas belum ada dosen di depan kelas. Tapi Junki yang di depan pintu kelas menunduk ke arah meja dosen yang kosong. Serempak, kami semua tertawa heboh. Junki bingung dan menegakkan kepalanya. Setelah tau kesalahannya, dia menggaruk-garuk belakang kepalanya dan tersenyum salah tingkah.
“Aduh Junki… dosennya belum datang kali.”
“Kirain… untung deh aku tidak telat.”
Yep, itu Lee Junki, murid yang nilainya paling tinggi di seantero jurusan akting angkatan kami. Dia lucu dan tampan, dan tentu salah satu orang Korea juga. Amelz dan Junki satu kampung halaman di Seoul, makanya mereka sudah sempat kenal waktu kecil, tapi tidak cukup akrab karena Amelz hijrah duluan dari sana. Namun di luar nilai akademisnya yang tinggi, Junki sangat konyol. Ini baru salah satu tindakan konyolnya. Masih nyengir malu, Junki duduk di samping Amelz yang mencubit lengannya karena gemas.
“Aiiiiish… dilarang mencubit!”
“Kau ini bikin gemas saja!” ucap Amelz sambil melayangkan cubitan lagi.
Mr. Wang masuk ke kelas, “Heo Raewoo dan Lee Junki, sudah cukup disana!”
“Sudah… sudah… datang itu dosen yang asli,” leraiku.
Kuliah berjalan lancar seperti biasa, dan pada mata kuliah Real Acting, aku sekelompok dengan Amelz, Stella dan Junki, sama seperti semester-semester sebelumnya. Aku paling suka mata kuliah ini, karena aku bisa mempraktekkan salah satu karakter dari skenario pilihan kami. Ketua kelompok kami jelas Junki, yang sudah memilih secara acak satu skenario untuk kami.
Junki membaca scenario itu, “bagus. Ini skenario tentang mahasiswa yang ikut OSPEK dan… ah, aku punya pacar disini. May, kau jadi pacarku ya.”
Aku terkejut mendengar pemilihan peran ini.
“Waduh, kenapa aku?”
“Aku maunya kau. Coba liat ini… peran dua mahasiswi yang lain… satunya jutex, cocok sama Amelz, satunya lagi terlalu ceria, cocok sama Stella.”
“Jadi maksudmu menyindir kami, begitu?” Tanya Stella sambil mengepalkan tangannya.
“Eh… tidak langsung terus terang begitu sih…”
Amelz mulai mencubit Junki lagi, “bosan hidup ya!!!”
***
AUTHOR’S POV
Sementara itu, kuliah semester satu jurusan vocal sudah selesai. Mahasiswapun bubar dari kelas 105. Sosok Chun, Thia, Fennie dan Annie keluar dari sana.
“Tadi aku sempat pangling waktu dosen menyebut nama Heo JiWoo saat mengabsen,” kata Annie, “rupanya dia menyebut namamu, Chun.”
“Iya… itu memang nama Korea-ku,” aku Chun, “kan nama asliku itu. Ini nama mandarin, haha.”
“Beda jauh sih. Aku juga shock” terang Fennie.
Keempatnya berjalan menuju gerbang kompleks sekolah.
Thia bertanya, “eh Chun, kamu pulang sama noona dan hyungmu yah?”
“Iya,” jawab Chun, “aku tunggu mereka disini. Kalian gimana?”
“Aku dijemput supir keluarga… ah, itu dia datang! Aku pulang dulu yah…” pamit Fennie.
Chun, Annie dan Thia berkata kompak, “dah… Fennie.”
“Aku mau tunggu May jie sih,” ujar Thia, “pasti dia barengan noona mu yah…”
“Kita tunggu barengan saja,” ajak Chun.
Annie menimbrung, “aku tinggal bareng nenekku di pinggiran kota, jadi aku mau naik bus pulang kesana.”
“Wah… itu kan jauh, Annie… apa tidak apa-apa pulang sendirian?” Tanya Thia.
“Tidak apa-apa koq… meski selama ini aku high school di dekat sana, aku tidak takut koq ke kota. Buktinya tadi pagi bus-nya ramai.”
eh? saya inget saya udh pernah baca ini ya :O
ReplyDeletetadi mao saya komen satu-satu lg, Jie.
tp saya berasa kok komen saya jg mao sama kek komen waktu itu ya xD
bahkan bunyi komen saya ajah, saya inget dkid2 lol
yg pasti, junki'a imuuuud 8D
-Stella ^^*
wadoh, masih inget pernah comment apa aja, mei?
ReplyDeletehuebat XDDDD
iyaaaa, Junki emang super imut disini, tapi bawel loh XD