When Our Dreams Come True
Love is Our Destiny
Chapter 1
FIFTH STORY
LOVE IS OUR DESTINY
Cast: Thia (tokoh
utama wanita), Aaron Yan (tokoh utama pria, the one who appear in my dream), Da
Dong
Location: Taipei
+ Seoul
Special cast: Lee
Teuk and Julie (from first story: I’m Young But I Know What True Love Is) as
friends
Present:
Thia (20 tahun):
kuliah semester 3 jurusan musik
Aaron Yan (of
Fahrenheit, played as himself) (20 tahun): kuliah semester 3 jurusan musik
Da Dong (21
tahun)
Julie (15 tahun):
SMP tingkat ketiga
Lee Teuk (36
tahun): manager artis
Guest Star:
Calvin Chen (of
Fahrenheit, played as himself) (22 tahun)
Wu Chun (of
Fahrenheit, played as himself) (23 tahun)
Wang Dong Cheng
(of Fahrenheit, played as himself) (21 tahun)
NB: masih ingat
cerita I’m Young But I Know What True Love Is? Disitu salah satu tokoh utamanya
bernama Jiro Wang. Untuk menghindari kesamaan nama, author mengganti 2 peran
Jiro disini dengan nama Da Dong dan Wang Dong Cheng, tapi kalian bisa bayangkan
mereka dengan wajah Jiro, dengan kemiripan yang gak ada hubungannya sama
sekali, okey?
*pemaksaan*
PROLOG
Aku Aaron Yan, 21
tahun. Aku adalah cwo yang paling diinginkan oleh seluruh cwe di seluruh dunia,
karena aku adalah Aaron Yan. Pemilik suara malaikat di boyband Fahrenheit. Aku
dengan sikap dingin dan ketusku, uda menjadi ciri khasku, dan semua fansku
menyukai itu. Tapi sebenarnya aku gak seketus ini dulu, waktu dia ada di
sampingku. Iyah, dia, cwe yang paling kucintai. Dia pergi meninggalkan aku,
dengan segudang tanda tanya yang belum terjawab. Namun, benar juga.. asal dia
bahagia, uda sepantasnya dia meraih kebahagiaan itu, walau bukan denganku.. Ada
pepatah mengatakan, cinta gak harus saling memiliki kan? Yang jelas, aku.. mungkin
gak pernah lagi akan mencintai seorang cwe selama sisa hidupku.. karena
hatiku.. seluruhnya hanya miliknya, walau uda setaon berlalu dari kejadian
itu...
***
Thia, seorang
gadis biasa yang hidup sendirian di Taipei. Kedua orangtuanya tinggal di kota kecil,
jadi Thia cukup mandiri ditinggal sendirian di Taipei yang metropolis. Gapapa,
dia kan gak sendirian.. ada seseorang yang menemaninya.. walau gak selalu bisa
menemaninya..
Thia masuk ke
kelasnya di ruangan 104. Hari Selasa, mata kuliah dimulai jam 10 pagi. Thia
duduk dengan tenang di kursinya setelah meletakkan biolanya di rak belakang
kelas dengan aman.
Wina: ”Thiaaa..”
Thia: ”Hai Wina.”
^^
Wina adalah
sahabat pertama Thia ketika Thia pindah untuk kuliah ke Taipei. Wina anak yang
ceria dan tulus, terobsesi dengan M-Pop. Tapi bagaimanapun, Wina adalah
satu2nya sahabat cwe Thia yang bisa dipercaya dan sangat mengerti dirinya 100%.
Wina: “Thiaaa..
cwomu pilih syuting drama baru yah?”
Thia: ”Ssst!
Win..” ><
Wina: ”Ahh dui bu
qi..” *mendekat* “Maksudku, Aaron pilih syuting drama baru lagi yah?”
Thia: ”He-eh. Dia
bilang di telepon semalem sih gitu. Tapi kami blom sempat ketemu langsung dan
ngobrol tentang itu.”
Wina: ”Bener2
kangen Aaron bisa balik kuliah lagi sama kita kayak dulu..”
Thia: ^^
Thia mengerti
perasaan Wina, karena toh dia juga menginginkan hal yang sama. Dulu Aaron gak
begini. Aaron yang dikenalnya dulu selalu berkuliah bersamanya. Aaron yang dulu
dicintainya.. yah.. sampai sekarang juga masih.. tapi..
FLASHBACK
Thia merasakan
jantungnya berdebar kencang. Dia gugup. Iyah. Soalnya ini adalah pertama
kalinya dia yang anak tunggal tinggal jauh dari kedua ortunya. Tapi Thia
menegaskan dia udah dewasa dan dialah yang memilih jalan ini. Di kota kecil
tempat kelahirannya, gak ada universitas yang bisa memenuhi keinginan
berkembang otak Thia yang cerdas, dan tentu ajah, bakatnya bermain biola. Dan
saat itu tiba, yaitu saat dia menerima beasiswa dari University of Taipei,
universitas ter-elit di Taiwan, yang hanya menerima mahasiswa yang cerdas ataopun
para artis. Bisa dibilang malah, ini adalah universitasnya para artis. Dan
impian Thia jadi kenyataan. Disini, dia bisa mengembangkan kemampuannya bermain
biola, dimana sejak umur 8 tahun, Thia telah mengikuti berbagai kompetisi
nasional. Sayangnya, setelah pencapaian tertingginya waktu umur 16 tahun yaitu
juara nasional, dia gagal di ajang internasional. Menurut SMA-nya, Thia akan
berhasil kalo kuliah di tempat dimana dia bisa mengembangkan otak maupun
bakatnya. Dan inilah. Thia memperoleh beasiswanya. Tapi.. Thia ragu. Akankah
dia mendapat teman di kota metropolis ini? Thia makin ragu saat dia datang
untuk mengikuti masa orientasi pertama kalinya, kira2 satu tahun yang lalu,
pada musim semi di Taipei. Thia telah menemukan namanya di papan pengumuman, dia
ditempatkan di ruang 310, di lantai tiga. Suasana kampus mewah hari itu masih
sepi, karena Thia terlalu tegang jadi datang kepagian. Namun, ketika Thia
melongokkan kepalanya yang cantik melalui ambang pintu yang sedikit terbuka,
saat itu udara dingin AC ruangan menerpa wajahnya, dia melihatnya. Seorang cwo
yang sangat cute. Thia mengedipkan mata dan menggelengkan kepalanya berulang
kali. Gak mungkin dia manusia. Dia terlalu cute untuk jadi cwo biasa. Rambutnya
yang hitam, poninya yang panjang, wajahnya yang cool dan cute, juga badannya
yang terkesan mungil. Si cwo duduk di kursi barisan tengah, di deretan terjauh
dari pintu masuk. Matanya terpancang pada sebuah buku tebal yang dipegangnya.
Thia bisa melihat not2 balok yang tercetak di lembaran buku2 itu. Dan hal ini
membuat Thia makin ragu untuk masuk ke ruangan ini, padahal udara segar di
dalamnya menggodanya untuk masuk dan menikmati kesejukannya. Rupanya si cwo
menoleh dan matanya berkontak langsung dengan mata Thia. Tatapannya dingin,
wajahnya datar. Thia terpaku di tempatnya, lalu, tanpa ragu, Thia membalikkan
badannya.
Cwo: ”Hei..
kau juga datang kepagian?”
Thia tau dia
sedang diajak bicara. Akhirnya dia membalikkan badannya kembali. Masih berdiri
di ambang pintu, Thia menjawab pertanyaan si cwo.
Thia: ”Ehh..
iyah. Kau juga?”
Cwo: ”He-eh.
Aku selalu datang pagi juga waktu sekolah. Kenapa kau berdiri disana? Kalo kau
juga ditempatkan di kelompok 10, masuk ajah.”
Thia
memberanikan dirinya untuk melangkah masuk dan duduk di kursi samping si cwo.
Cwo itu mengulurkan tangannya. Kulitnya sangat putih, menyaingi kulit putih
Thia.
Cwo:
”Kenalkan. Aku Aaron Yan.”
Thia: ”Thia.”
Saat Thia
menjabat tangan Aaron, tangannya terasa sangat lembut, gak seperti tangan cwo.
Thia pikir, pastilah cwo ini artis, ato mungkin anak orang kaya, bukan kayak
dirinya yang anak keluarga biasa2 ajah.
Aaron: ”Dulu
SMA mana?”
Thia: ”Aku
dari Tainan.”
Aaron: ”Oooh
jadi kau bukan orang Taipei? Pantas.. wajahmu keliatan beda.” ^^
Aaron
tersenyum dan membuat Thia merasa gugup. Suasana hening, dan Aaron kembali
sibuk dengan bukunya.
Thia: ”Er..
kau belajar apa, Aaron?”
Aaron: ”Aku
piano. Kalo Thia?”
Thia: ”Biola.”
Aaron: “Biola
keren. Kita bisa main berpasangan, Thia. Biola dan piano akan menghasilkan
melodi yang bagus.”
Thia: ”Aku akan
senang main bersama denganmu.” ^^
Thia masih
memandangi wajah Aaron, yang sekarang memasukkan bukunya ke dalam tas
backpack-nya.
Thia: ”Aaron..
kau artis yah?”
Aaron: “Hah?
Apa?”
Thia: “Kupikir
kau artis.”
Aaron:
“Hahah.. gak, aku bukan artis. Well, gak sepenuhnya gitu sih. Aku lagi masa
training di perusahaan HIM. Gimana kau bisa tau aku artis?”
Thia: ”Kau
punya aura yang bagus. Mempesona.”
Aaron: ”Doakan
ajah yah. Mungkin musim gugur ini aku akan debut dengan ketiga temanku. Kami
akan membentuk boy band.”
Thia: ”Oh
wow~~ keren banget.” ^^
Dan saat itu
terdengar langkah tergesa-gesa memasuki ruangan kelas. Itulah untuk pertama
kalinya, Thia bertemu dengan Wina. Wina, dengan rambut keriting hitam sebahu,
tampil modis ala gadis2 Taipei, tinggi badannya sepertinya gak mencapai bahu
Thia yang jangkung. Dia melirik Thia, lalu Aaron, dan masuk kelas dengan
pedenya, mengulurkan tangannya pada Thia.
Wina: ”Halo..
halo.. kalian juga di kelompok 10 kan? Kenalkan aku Wina Zhang. Kalian?” ^^
Thia: ”Eh..
aku.. Thia.” ^^ *bersalaman*
Aaron: ”Aaron
Yan.” ^^ *bersalaman*
Wina: ”Nah..
aku senang punya teman pertama disini. Aku agak khawatir waktu mendaftar
disini. Orangtuaku kepingin aku ngampus di universitas elite. Entah apa yang
ada di otak mereka.” =.=”
Wina duduk di
belakang Thia. Sekarang Aaron dan Thia agak menoleh supaya bisa ngobrol dengan
Wina. Thia merasa Wina punya aura yang bisa membuat cair suasana. Dia mulai
menyukai Wina, walau ini pertemuan pertama mereka.
Wina: ”Kalo
kalian darimana?”
Thia: ”Aku
dari Tainan. Kalo Aaron..”
Aaron: ”Aku
dari SMA North Side.”
Wina: ”Heeeeh?
North Side itu SMA yang elite. Aaron hebat. Thia.. jauh banget dari Tainan? Koq
bisa kesini?”
Thia: ”Aku
dapat beasiswa.” *blushing*
Wina: ”Jangan
malu gitu. Menurutku, beasiswa itu sesuatu yang membanggakan. Iyah kan Aaron?”
Aaron: ”He-eh.
Itu tandanya Thia cerdas. Kau kan bilang tadi kau main biola. Jangan2 kau dapat
beasiswa karena bakatmu di permainan biola?”
Thia: ”Aku..
yah.. juara nasional tingkat remaja dua taon yang lalu. Tapi aku gagal di ajang
internasional.” *blushing*
Wina: ”KAU
HEBAT TAU, THIA!! Aku belom pernah punya prestasi membanggakan selain juara
harpa tingkat SMA.” =.=”
Thia: ”Wina
main harpa? Wow~~ keren.” ^^
Aaron: ”Dan
aku main piano. Aku pikir kita akan keren kalo jadi satu tim.”
Wina:
”Pastinya.” ^^
Inilah awal
persahabatan mereka bertiga. Aaron yang pendiam, Thia yang cerdas dan Wina yang
easy-going menjadi salah satu kelompok dari kelas melodi yang cukup mendapat
perhatian dari mahasiswa2 dan dosen2. Apalagi, tentu ajah, Aaron adalah juara
dunia piano tingkat remaja taon kemarin, yang gak pernah dipublikasikannya ke
Thia dan Wina, dan mereka baru tau setelah dosen mengungkapkan prestasi paling
membanggakan yang dimiliki kelas melodi mungkin adalah prestasi Aaron. Dan
sejak itu juga, Thia mengagumi Aaron. Entah sejak kapan perasaan mengagumi itu
berubah.. menjadi perasaan yang berbeda..
END OF
FLASHBACK
***
FLASHBACK
Musim gugur di
tahun pertama Thia berkuliah, yang juga berarti semester dua masa kuliahnya. Thia
memperoleh nilai terbaik di seantero mahasiswa semester satu dan menjadikannya
mahasiswi yang dikenal paling cerdas. Thia gak akan kesulitan memainkan lagu
apapun dengan biolanya, sekalipun partitur lagu itu baru diberikan padanya dua
jam sebelum suatu pertunjukan. Bahkan Thia hampir selesai menciptakan lagu
pertamanya, dibantu salah satu dosen pengajarnya di kampus. Thia dan Wina, juga
Aaron sebenarnya, selalu jadi mahasiswa-mahasiswi pertama yang sampai di kampus
sebelum pelajaran dimulai. Wina rupanya tinggal gak jauh dari apartemen yang
ditempati Thia, jadi mereka sering pergi bersama. Kebetulan juga, Wina biasanya
mengendarai mobilnya sendiri, jadi dia gak masalah sekalian menjemput Thia.
Gaya hidup Wina sangat mewah, tapi sekaligus dia gak pelit dengan segala yang
dimilikinya. Dia sering mentraktir Thia, dan Thia yang dulunya gak terbiasa,
lama-kelamaan mulai terbiasa juga dengan gaya Wina ini. Hari ini Wina dan Thia
datang duluan dan mengobrol asik tentang film yang mereka tonton kemarin di
bioskop.
Wina: ”Cuma si
Aaron yang gak datang kemarin. Sebal.”
Thia: ”Win..
kau tau kan Aaron kadang gak boleh keluar dari apartemen karena dia ada jadwal
latihan?”
Wina: ”Iyah
sih. Rupanya jadi artis itu gak gampang yah.”
Thia:
”Prosesnya ajah susah, sama ajah waktu mereka jadi artisnya.”
Wina: ”Apa kau
kebayang kalo Aaron uda jadi penyanyi, dia bakal jarang ke kampus lagi?”
Thia: ”Hmm..
aku gak suka memikirkan prospek itu.” =.=”
Wina: ”Kita
akan kehilangan satu kaki.” *mendesahkan nafas* ”Aku setengah berharap Aaron
gak akan debut musim ini.”
Thia: ”Jangan
dong, Win..”
Dan mereka
mendengarkan langkah2 yang khas. Langkah yang terdengar ringan, yang sering
Thia dengarkan di kampus, maupun kadang, di apartemennya. Iyah, itu Aaron
datang, dengan senyum menghiasi wajahnya. Aaron cukup sering main ke apartemen
Thia, dengan atau tanpa Wina. Aaron sering datang untuk minta makan dari Thia.
Bukannya Aaron gak punya uang untuk makan, atopun gak ada yang memberikan dia
makanan. Tapi Aaron mengaku bosan makan di rumahnya. Koki di rumahnya uda
diganti taon kemarin, dan dia merasa gak cocok dengan masakan koki yang baru
ini. Setelah sekali mencicipi masakan Thia saat dia main ke apartemen Thia
bersama Wina, Aaron jadi ketagihan. Aaron sering datang dengan membawakan
bahan2 masakan yang banyak dan menuntut Thia untuk memasakkan sesuatu untuknya.
Untunglah Thia juga cerdas soal masak-memasak, sehingga baginya menyenangkan
bisa memasakkan sesuatu untuk membuat orang bahagia.
Wina:
”Kayaknya lagi senang, Aaron?” *menyinggung*
Aaron: ”Ahh,
dui bu qi, Wina, Thia. Kemarin aku ada latihan penting. Pulang kuliah sampe
tengah malam kemarin, aku di HIM.” *menunduk* ”Tapi aku punya berita baik untuk
kalian.”
Wina dan Thia
otomatis meneliti wajah Aaron yang masih dihiasi senyum.
Wina: ”Jangan2
kau..”
Thia: ”Aaron..
apa Fahrenheit..?”
Aaron: ”Iyah,
kalian benar. Minggu depan, kami akan debut. Kami akan merilis single pertama
kami, langsung lengkap dengan MV-nya. Mulai hari ini juga aku akan sibuk dalam
rekaman MV.”
Thia: ”Wahh
itu berita yang bagus banget. Gong xi ni, Aaron.” ^^
Wina: ”Itu
artinya kau akan jarang bersama kami lagi kan, Aaron?”
Aaron tertawa
dan mengacak-acak rambut Wina. Maklum, Aaron suka begini karena badan Wina yang
imut, jadi Aaron suka mempermainkannya.
Aaron: ”Kau kan
harusnya senang untuk sahabatmu ini.”
Wina:
”Whatever. Aku akan senang kalo Fahrenheit kelak beken.”
Aaron: ”Oh,
kami akan melakukannya. Kau gak tau betapa keren Fahrenheit, sekarang atopun
ntar.”
Wina: ”Oh yah?
Siapa sih teman2mu? Kau belum mengenalkannya pada kami.”
Aaron: ”Aku
sekalian akan mentraktir kalian makan dan bertemu mereka.”
Wina: ”Janji
yah?”
Aaron:
”Janji!” *mengacak-acak rambut Wina lagi*
Thia hanya
menyunggingkan senyum tipisnya. Entah mengapa, saat ini dia merasa risih
melihat kedekatan kedua sahabatnya ini. Seakan-akan dia adalah pengganggu
sekarang.
END OF
FLASHBACK
***
No comments:
Post a Comment