Welcome Here ^0^v

You can read; and then please kindly leave comment(s) so I could improve;
But don't try to STEAL a part or whole part of all post WITHOUT a proper CREDIT; you'll know the risk if you still do it;
Intro: I'm a hyper Cloudsomnia, Jung Heechul IS MINE, OFFICIAL WIFE OF KIM JONGWOON, GO is the OWNER OF MY HEART, definitely a Lively E.L.F and also a multi-fandom: ELF, ZE:A's, Triple S, A+, VIP; I'm a unique, weird and super delusional girl;
Just add my Facebook account: maymugungponks; and follow my Twitter: (hidden for some reason);
But be careful~~ I'm not as easy as you think I might be~

Sunday, 19 August 2012

Love's Arrived 2 Chapter 2 part 1


Love’s Arrived 2
Chapter 2 part 1

2

Gisela nyaris terlambat datang ke kampusnya. Tadi pagi dia tidak rela menitipkan QQ, anjing pudelnya yang sekarang sudah remaja, pada David dan Wang Mama. Meskipun dia tahu tetangganya itu tidak mungkin menelantarkan QQ, dia tidak tahan karena merasa akan rindu dengan anjingnya itu berhubung harus berpisah selama setengah tahun. David berjanji akan merawat QQ dengan baik. Gisela yang datang dengan naik bus umum ke kampus juga sempat kena serangan fans. Mau tidak mau Gisela melayani mereka dengan ramah. Dia berlarian dari gerbang kampus di sepanjang halaman kampus yang luas, keberatan membawa kopernya yang besar di tangan kanan, dia masih membawa ransel besar di punggungnya dan tangan kirinya menjinjing tas laptopnya. Beberapa bus diparkir di halaman. Para mahasiswa berbaris rapi menurut jurusan mereka di hadapan para dosen. Kim Lao Shi yang merupakan guru dari Korsel, memegang daftar, yang menurut dugaan Gisela adalah daftar absen.

“Mai Xue Mei dari jurusan Sastra Mandarin dan Sejarah China!” panggil Kim Lao Shi sambil membaca daftar.

Kim Lao Shi heran tidak mendengar jawaban ataupun tangan terangkat dari barisan fakultas Sastra. Jeanne ada di tengah barisan, cemas setengah mati.

“Mana si Mei-Mei?” tanyanya dengan tangan saling bertaut.
“Kim Lao Shi… Lao Shi! Ini Mai Xue… Mei! Mai… Xue Mei… hadir!”

Gisela berlari terengah ke hadapan Kim Lao Shi. Semua memandangnya dan heran melihat Gisela sangat berantakan. Belum sampai Gisela ke hadapannya, Kim Lao Shi sudah mengangguk.

“Oke, aku sudah mendengarmu. Silahkan berbaris,” Kim Lao Shi tersenyum padanya.

Gisela beralih menyeruak ke barisan fakultasnya dari belakang, berhenti terengah di sebelah Jeanne. Jeanne geleng-geleng kepala.

“Kamu kenapa sih?” bisiknya.
“Aku terlalu lama menyampaikan pesan perpisahan dengan QQ tadi dan sempat dapat serangan fans,” sengal Gisela, mengelap peluhnya dengan tissue yang disodorkan Jeanne.
“Kalau kamu terlambat, kamu terpaksa ikut proyek waktu musim semi tahun depan! Nyaris aja!” keluh Jeanne, “kamu membuatku jantungan.”
“Dui bu qi (maaf) deh. Eh, ada berapa orang yang ikut proyek musim gugur ini?”
“Semuanya 219 orang. Dari fakultas kita ada 106 orang, sisanya dari seni.”
“Wah, pantas banyak sekali. Itu bus buat apa?”
“Langsung membawa kita ke desa tujuan. Katanya di tiap desa bakal ada 10 kelompok saja. Itu berarti ada 50 mahasiswa di tiap desa, ditambah dua dosen.”
“Oh, pantas busnya ada lima.”
“Baiklah, dengarkan baik-baik. Sekarang kami akan membagi kelompok kalian berdasarkan hasil undi,” Gao Lao Shi menggunakan mikrofon untuk mengatasi kericuhan mahasiswa, “kelompok pertama sampai kelompok sepuluh, berkumpul dengan Kim Lao Shi di bus paling depan…”

Gisela mendengarkan dengan cermat sementara Gao Lao Shi dibantu dua dosen lainnya mengaduk fish ball yang berisi nama-nama murid. Fish ball itu dimasukkan dalam dua akuarium bulat yang besar sekali dan tentu berat, melihat ekspresi dosen yang mengangkatnya. Ada satu dosen lagi yang duduk dan siap mengetik nama-nama mahasiswa di laptop. Beberapa nama sudah disebut, tapi tak ada namanya atau nama Jeanne yang dipanggil di kelompok pertama. Begitu juga di kelompok dua. Tapi di kelompok tiga, Selly dipanggil bergabung.

“Aduh, kenapa di antara kita berlima, Cuma aku sendirian di kelompok tiga?” keluh Selly sebelum bergabung dengan kelompok tiga.

Kelompok empat lewat begitu saja. Di kelompok lima, Vincy dan Zici dipanggil bersama. Mereka senang sekali karena bisa bersama-sama. Di kelompok enam, nama Gisela dan Jeanne juga belum dipanggil. Tiba kelompok tujuh.

“Ma Zeng Shu dari jurusan Seni Teater!”

Ma Zeng Shu yang berbaris di fakultas seni, langsung maju dengan bawaannya. Seperti biasa, bawaan cowok tidak sebanyak anak cewek. Zeng Shu sangat tinggi dan badannya tegap. Dia berbaris di sebelah kelompok enam di dekat Kim Lao Shi.

“Yang kedua, Chen Zhi Hua dari Sastra Mandarin dan Sejarah China!” panggil Gao Lao Shi.
“Chen Zhi Hua? Memangnya ada nama itu di kelas kita?” tanya Gisela heran.
“Kamu jarang masuk kelas, sih. Sebenarnya dia juga jarang, sih. Harusnya dia bisa ikut proyek musim semi kemarin, tapi nggak tahu juga kenapa dia batal ikut. Tapi bukan salah kamu juga,” tambah Jeanne, “dia ini jarang masuk kelas. Dia kan anak Mr. George Chen, kamu tahu siapa dia, kan?”
“Oh! Perusahaan garmen terbesar di Taiwan! Itu miliknya, kan? Maksudku, itu milik Mr. Chen, kan?” Gisela terbelalak.
“Yap, orang nomor lima terkaya di negara kita. Mr. Chen punya hotel, dan si Zhi Hua ini menjadi koki tunggal di restoran Korea-nya. Kabarnya dia sangat perfeksionis dan nggak mau orang campur tangan masak di sana,” jelas Jeanne, “dan dia sangat cerdas. Dia masuk karena beasiswa.”
“Dan aku menduga dia jauh lebih cepat menyelesaikan semua subjek ketimbang kita, kan?”
“Iya. Aku kan udah bilang dia cerdas.”
“…dari Sastra Mandarin dan Sejarah China.”
“Gao Lao Shi bilang siapa?” tanya Jeanne sambil mencolek punggung Miko di depannya.
“Dia panggil kamu. Cepat ke sana sebelum dia naik pitam,” tukas Miko.
“Dui bu qi, Mei-Mei. Semoga dua nama yang tersisa terdapat namamu. Zai jian!”

Jeanne mengangkat dua kopernya dengan ringan, seakan kopernya yang besar itu tidak ada isinya. Aku mau sama-sama Jeanne… selain dia, Selly, Vincy dan Zici, aku nggak banyak akrab dengan yang lainnya, harap Gisela dalam hati, ya Tuhan, tolong masukkan aku di kelompok ini aja.

“Jung Gok-Sang dari jurusan Seni Suara!”

Gisela sempat mendengar nama cowok Korea ini. Dia jadi idola cewek-cewek kelasnya, katanya dia sangat tampan. Ternyata si Jung ini memang cakep, aku Gisela dalam hatinya. Jung Gok-Sang maju dari kelompok jurusan seni suara, sangat tinggi dan tampan, matanya sipit dan alis matanya tebal. Wajah Korea-nya sangat khas.

“Dan nama terakhir di kelompok tujuh adalah… Mai Xue Mei dari Sastra Mandarin dan Sejarah China!” sebut Gao Lao Shi.

Dengan penuh suka cita, Gisela menyeret kopernya dan bergabung dengan Jeanne.

“Aku senang sekali bisa bersamamu,” kata Jeanne jujur.
“Aku juga merasa tenang bersamamu,” balas Gisela.

Pembagian kelompok selesai setengah jam kemudian. Para mahasiswa kelompok satu sampai sepuluh masuk ke bus digiring Kim Lao Shi dan Ou Lao Shi yang masih muda dan cantik. Mereka diharapkan duduk berdekatan dengan anggota kelompok untuk lebih saling mengenal.

“Di sini aja, ya,” putus Jeanne sambil duduk di kursi paling belakang.

Gisela duduk di sebelahnya.

“Aku boleh duduk di sini, kan?” tanya Chen Zhi Hua, menunjuk kursi di samping Gisela.
“Oh, dan ran (tentu saja).”

Chen Zhi Hua duduk disusul Jung Gok-Sang dan Ma Zeng Shu. Bus mulai berjalan.

“Oh, aku perlu berkenalan dengan kalian,” kata Gisela ramah.

Jeanne menoleh dan menganggukkan kepalanya.

“Aku Ma Zeng Shu dari teater. Panggil aku Zeng Shu aja,” Zeng Shu memperkenalkan diri dengan ramah.
“Aku Chen Zhi Hua, aku satu jurusan dengan kalian,” Chen Zhi Hua menunjuk Gisela dan Jeanne, “panggil aku Zhi Hua aja.”
“Dan aku Jung Gok-Sang dari seni suara,” sambung Gok-Sang.
“Jung Gok-Sang,” panggil Jeanne dengan mantap.

Zhi Hua juga menggumamkan nama Gok-Sang dengan mantap. Mungkin karena dia kebiasaan menghapal nama masakan Korea.

“Jung Go.. San…”
“Bukan,” Gok-Sang yang suaranya terdengar merdu itu mengoreksi Gisela dengan sabar, “Gok, bukan Go. Sang. Gok-Sang.”
“Jung Goook… Saaaan…”
“Jung Gok-Sang,” desah Zeng Shu setelah berusaha setengah mati supaya benar menyebutkan nama rekannya itu.
“Zeng Shu udah tepat,” Gok-Sang mengarahkan jempol pada Zeng Shu lalu kembali berpaling pada Gisela, “sedikit lagi. Sang.”

Gisela mengutuk dirinya yang tidak pernah mencoba belajar hangul. Kabarnya Michael sangat lancar ngomong hangul dan dia pernah mendengar Nathan juga ngomong hangul dengan wartawan dari Korea.

“Jung… Jung… Go… eh… Gok… Sann… Sang. Ya, kan? Jung Gok-Sang. Dui bu qi, aku Cuma bisa menyebut nama Lee Joon-Ki.”

Lee Joon-Ki adalah artis Korea tampan yang diidolakan Gisela.

“Kalau kamu udah bisa menyebut nama Lee Joon-Ki, itu awal yang bagus. Kamu udah bisa menyebut namaku juga. Kamsahamnida (terima kasih).”
“Giliranku, ya. Aku Jeanne Tian Jin Yin. Yin-Yin cukup,” Jeanne memperkenalkan dirinya dengan santai.
“Dan aku…”
“Gisela Mai Xue Mei,” sela Zhi Hua, “mana mungkin kami nggak tahu kamu?”

Gisela nyengir salah tingkah. Zeng Shu dan Gok-Sang tersenyum ramah.

“Xie xie. Panggil aku Mei-Mei aja, ya,” pinta Gisela.
“Senangnya bisa sekelompok dengan artis idola,” goda Gok-Sang, mandarinnya bagus sekali.
“Jangan begitu,” hardik Gisela malu-malu.
“Para mahasiswa, kita akan sampai ke desa Cai Hong (desa Pelangi) satu jam lagi,” Kim Lao Shi mengumumkan, “sekarang kami akan menggeledah bawaan kalian. Barang terlarang yang bisa mendatangkan informasi dari luar, akan kami sita.”

Para mahasiswa panik. Jelas mereka membawa barang terlarang yang dimaksud: handphone. Laptop yang dibawa juga dipastikan tidak ada modem untuk connect ke internet. Mereka menyembunyikan handphone mereka ke tempat strategis.

“Jeanne! Gimana, nih?” tanya Gisela panik.
“Di mana handphone-mu?” Jeanne balik bertanya.

Gisela melindungi saku celana jeans-nya. Jeanne melotot dengan panik saat Ou Lao Shi sudah datang dan memeriksa bawaan Jeanne. Sementara itu, Zhi Hua sudah lolos seleksi, Kim Lao Shi memeriksa Gok-Sang. Ou Lao Shi memeriksa sekujur tubuh Jeanne. Zhi Hua menempel pada Gisela.

“Berikan padaku, cepat,” desaknya.

Gisela seketika paham. Dia menyusupkan handphone-nya ke tangan Zhi Hua. Zhi Hua langsung memberikannya pada Gok-Sang. Gok-Sang memasukkan handphone Gisela ke lapisan jaket hitamnya. Ou Lao Shi berpaling pada Gisela, memeriksa koper, laptop dan sekujur badannya. Setelah itu, kedua dosen beralih ke kelompok lain. Kelima anggota kelompok tujuh duduk kembali dengan lega.

“Dimana kamu letakkan handphone-mu?” tanya Gisela pada Jeanne.
“Aku lekatkan di bagian bawah koperku dengan selotip, saat baru masuk tadi. Untunglah koperku nggak dibanting Ou Lao Shi tadi,” jawab Jeanne.

Jeanne mengambil handphone-nya kembali.

“Kami menerima isyarat dari Gok-Sang. Karena Zhi Hua yang diperiksa duluan, handphone kami semua ada pada Gok-Sang, setelah itu kami oper pada Zhi Hua. Jaket mereka berdua sangat berguna,” jelas Zeng Shu.

Gok-Sang menyerahkan kembali handphone Gisela.
“Xie xie.”
“Kita kan rekan satu kelompok. Jangan sungkan begitu,” hardik Zhi Hua sambil tersenyum.

Gisela merasa beruntung. Jeanne, sahabat baiknya satu kelompok dengannya. Chen Zhi Hua yang cerdas dan tampan, Ma Zeng Shu yang berwajah kocak dan Jung Gok-Sang yang suaranya bagus dan sangat tampan, semuanya sangat baik. Dia merasa tidak khawatir menjalankan setengah tahun masa karantinanya.

*******

Albert baru menyelesaikan rekaman satu lagu untuk album baru bersama ketiga anggota Li Liang lainnya. Dia merebahkan diri di sofa dengan lelah. Alex duduk di sampingnya, menyerahkan sekaleng Cola dingin.

“Xie xie,” gumam Albert sambil meraih handphone-nya.

Alex mengangguk dan menikmati minumannya sendiri. Albert meraih handphone-nya.

“Halo, Cat, apa kabar?”

Alex menoleh pada rekannya ini. Sepertinya Albert memakai video call untuk menghubungi Chaterine di Jakarta.

“Oh, kabarku baik. Ge ge gimana?” balas Chaterine dari seberang sana.
“Kami baru habis rekaman lagu baru. Kamu lagi ngapain?”
“Baru mau pulang kerja, nih. Oh ya, gimana kabar yang lainnya? Mei-Mei kemarin masuk lokasi karantina proyek, ya? Kemarin dia meneleponku.”
“Yap, benar. Nggak lama lagi Xiang Chen pasti mati kangen,” celetuk Albert sambil tertawa, melirik Alex.

Alex melotot tak senang.

“Eh, Wen Chun ge, udah dulu ya, aku mau siap-siap pulang, nih.”
Chaterine! Bisa ke sini sebentar? Saya butuh bantuanmu!

Bahkan Alex bisa mendengar suara cowok di dekat Chaterine.

“Siapa, tuh?”
“Bos. Aku harus ke sana. Zai jian!”
“Zai… jian…”

Albert cemberut. Alex tersenyum kecil.

“Dia udah memutuskan teleponnya sebelum aku selesai mengucapkan salam perpisahan,” keluh Albert.
“Yah, kasihan si Cat. Dia agak sibuk juga jadi sekretaris marketing manager handphone Original cabang Indo,” Alex memaklumi.

Alex masih melihat wajah Albert berkabut.

“Kamu ini kenapa, sih? Nggak senang dia udah dapat kerja?”
“Oh, memangnya aku kenapa?”
“Berkaca! Mukamu cemberut!”
“Oh… nggak. Aku Cuma berpikir, alangkah enaknya waktu Cat dan Lydia ada di sini juga bareng Mei-Mei dan Xiao Li.”
“Yah, susah juga. Kehidupan manusia harus berubah. Mereka waktu itu kuliah, sekarang Cat udah wisuda dan kerja. Xiao Li aja cari kerja di sini. Lydia dan Mei-Mei juga hampir diwisuda,” kata Alex bijak.

Albert mendesahkan nafas. Entah dia harus merasa senang atau kesal.

*******

“Pak Bobby, maaf, tadi teman saya menelepon. Ada yang bisa saya bantu?”

Chaterine tampak cantik memakai blazer hitam melapisi kemeja lengan panjang berwarna putih. Karena postur tubuhnya tinggi dan ramping, pekerjaan sebagai sekretaris sangat cocok untuknya. Chaterine juga cekatan dan cerdas, dia sangat memenuhi syarat. Tidak heran gajinya langsung tinggi, padahal ini pekerjaan pertamanya sesudah diwisuda.

“Tolong sebelum kamu pulang, data penjualan terbaru ini kamu urutkan sesuai bulannya, disimpan dalam satu map, besok ingatkan saya untuk memeriksanya ulang,” pinta pak Bobby, Marketing Manager Handphone Original cabang Indonesia.
“Baiklah. Saya permisi.”

Chaterine membereskan kertas-kertas yang dimaksud dan berbalik keluar ruangan.

“Chaterine!”

Chaterine membalikkan badannya dan tersenyum.

“Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Ehm… tidak ada. Kamu boleh pulang.”
“Terima kasih. Sampai jumpa besok, pak.”

Chaterine buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan pulang. Kalau nggak pulang sekarang, jangan-jangan bakal disuruh ngerjain hal-hal lain. Rumah Chaterine yang di Jakarta ternyata tidak jauh dari lokasi kantor. Karena Cuma butuh waktu perjalanan 15 menit, Chaterine yang super hemat tidak rela uangnya dipakai untuk ongkos. Handphone-nya kembali bergetar. Chaterine mengaduk isi tasnya dan melihat wajah Gisela muncul di layar handphone. Video call.

“Mei-Mei!” panggil Chaterine begitu menerima telepon.
“Cat! Kamu di mana?”
“Kamu ngomong apa, sih? Kenapa bisik-bisik gitu? Kamu itu yang dimana?”
“Sorry. Aku di…”

Gisela mengedarkan handphone ke sekeliling, supaya Chaterine bisa melihat lokasinya. Sepertinya di padang yang luas.

“Perbukitan. Kami kan dilarang menghubungi orang di luar.”
“Tapi kenapa kamu meneleponku?”
“Aku kangen padamu.”
“Terima kasih. Kamu udah menelepon Xiang Chen ge?”
“Udah. Xiao Li juga udah.”
“Proyek lancar?”
“Iya, tadi kami udah kenalan sama 10 anak didik kami. Mereka imut dan penurut semua. Syukurlah.”
“Aku juga baru pulang kerja, nih. Pekerjaanku oke juga, sih.”
“Aku ikut senang. Jadi kamu dimana?”
“On the way kembali ke rumah.”
“Oke deh, next time aku hubungi kamu lagi ya begitu ada waktu. See ya!”

Chaterine tersenyum melihat sahabatnya yang begitu semangat. Sejujurnya, dia kangen sekali dengan semuanya yang ada di Taiwan. Tapi dia baru bekerja sebulan, tidak mungkin dia minta cuti. Lagipula, Gisela saat ini sedang dikarantina, tidak ada gunanya dia ke Taiwan. Chaterine melanjutkan perjalanannya di tengah gemerlapan petang kota Jakarta.

*******

No comments:

Post a Comment