No Other The Story
Chapter 41
YIFANG’S DIARY
CHAPTER 41
WAY FOR LOVE
Jujur saja sekarang aku hidup di Seoul dalam keadaan yang tak
tenang. Aku masih memikirkan alasan orangtuaku tak mengizinkan aku hidup
disini. Aku selalu khawatir suatu saat mereka akan datang lagi dan menculikku
pulang. Tapi seharusnya aku tak perlu takut diculik, karena aku hampir selalu
dijemput, oleh siapapun yang punya waktu luang. Aku benar-benar terharu pada
perhatian mereka: Iteuk oppa, Ichul oppa, Geng oppa, Kanginnie oppa, Ndong
oppa, Mimi, Kibummie, dan… Wookie-ku. Untuk kasus terakhir, biasanya kami
memilih kendaraan umum, karena Wookie belum berencana membeli mobil pribadi.
Ah, apa yang kutakutkan? Selama aku memiliki Wookie, aku bahagia.
“Yifang…”
Aku melihat Wookie yang menyamar (memakai baju serba hitam
dan topi), melambai dan tersenyum padaku. Aku balik melambai padanya.
“Mr. Lee, aku sudah bisa pulang, kan?” tanyaku pada si
sutradara.
“Ne. sampai ketemu besok, Yifang,” jawab si sutradara,
tersenyum padaku.
Mr. Lee sangat baik. Aku berterimakasih pada keteguhannya
untuk tidak mengganti peranku, padahal waktu itu aku sempat menghilang lama dan
menghambat proses syuting. Kalau dia mengganti peranku, habislah kesempatanku
untuk mendongkrak karirku dan popularitasku. Aku langsung menghampiri Wookie dan
bergelanyut manja di lengannya. Wookie membalas perlakuanku itu dengan
tersenyum.
“Yifang, tadi Siwon hyung menelepon. Mereka melaporkan
keadaan disana. Mereka dalam keadaan yang baik,” lapor Wookie.
“Oh ya? Wah… aku senang. Syukurlah kalau begitu,” ucapku.
“Ini, mereka ada mengirimkan beberapa foto.”
Wookie menyodorkan Samsung-nya padaku. Aku sudah familiar
dengan ponsel itu (baca: sering mengotak-atiknya) dan langsung mengambilnya.
Aku melihat beberapa foto Aqian dan dan Wonnie oppa, mereka berfoto di berbagai
objek wisata di Macao. Aku tersenyum. Mereka seperti menjalani bulan madu saja.
“Wookie, apa Choi ahjussi belum tau Wonnie oppa disini ya?
Aneh kan? Soalnya kan bawahannya sampai dimana-mana tuh.”
“Yang pasti, dia benar-benar sudah memblokir semua kartu
kredit Siwon hyung. Untunglah Siwon hyung punya kartu debit dan uang tunai.
Selain itu juga, kartu kredit Leeteuk hyung juga dipegangnya.”
Kami berjalan menuju stasiun MRT terdekat yang ramai.
Baguslah sih kalau ramai, itu berarti kemungkinan kami dikenali semakin tipis.
“Kasihan tuh Iteuk oppa. Sudah waktu itu kartunya dipakai
Henry untuk menjemputku, sekarang dipakai Wonnie oppa. Bayarannya bisa
membengkak itu,” ucapku sambil tertawa.
“Tenang saja, kalau Siwon hyung pasti langsung bisa
membayarnya. Kalau Henry… err… entahlah.”
“Aku juga takut, Wookie… kalau suatu hari baba dan mama akan
kesini. Jujur aku merasa bersalah melarikan diri seperti ini.”
“Kalau mereka datang, tanyakan saja alasan mereka yang
sebenarnya. Atau tidak begini… bagaimana kalau bulan depan, setelah masa promo
sesi pertamaku selesai, kita temui mereka di Foshan?”
“Wookie mau menemaniku kesana?”
Kami memasuki kereta yang sudah menunggu kami, bersama dengan
penumpang yang lainnya.
“Tentu saja, kalau itu satu-satunya cara supaya mereka bisa
rela melepasmu disini, dan Yifang juga tidak merasa bersalah.”
Aku tersenyum senang. Tapi ngomong-ngomong merasa bersalah…
mataku menerawang. Yesungie oppa… sejak hari aku pulang, dia tidak muncul lagi
di apartemen. Malam harinya, ketika semuanya sudah tertidur, dia mengepak
beberapa barangnya (termasuk Ddangko bersaudara) dan meninggalkan pesan di
mejanya, supaya mereka tidak perlu mengkhawatirkannya, minta izin pada Mimi
untuk tidak menghadiri promo sampai dia kembali nanti, dan bahwa dia akan
pulang ke tempat ommanya. Aku tidak tau apakah dia sudah tau tentang hubunganku
dengan Wookie, tapi gelagat anehnya ini menunjukkan kemungkinan ada sesuatu
yang diketahuinya. Aku takut dia melihat aku dan Wookie di depan gereja. Jujur
aku juga merindukannya, berarti aku belum bertemu dengannya dari sejak aku
menghilang, sampai hari ini. Aku menghela nafas panjang, hatiku sakit sekali.
Membayangkan betapa indahnya hari-hari kebersamaan kami… aku saja sakit hati,
apalagi dia? Sekarang aku memiliki Wookie sebagai tempat bersandar, tapi dia?
Wookie menggenggam tanganku lembut.
“Memikirkan Yesungie hyung?” tanyanya lembut.
“Ne. aku ingin sekali dimarahinya atau apalah, asal dia
jangan pergi seperti ini. Aku jadi benci pada diriku sendiri.”
“Dia akan memaafkan kita.”
“Kenapa Wookie begitu yakin?”
Kami akhirnya sampai di stasiun tujuan kami dan berjalan
keluar.
“Karena…. Yifang tau sudah berapa lama kami bersahabat, dan
sedekat apa hubungan kami? Aku yakin koq. Dia hanya butuh waktu untuk
menenangkan diri. Percayalah padaku, dia akan kembali.”
Aku hanya perlu percaya pada kata-kata Wookie, gampang kan?
Dan kami berpisah di depan apartemenku. Begitu masuk, aku melihat Xili, tampak
lesu duduk di karpet depan tivi. Aku lupa untuk mengurus hubungannya dengan
Hae, aku egois terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.
“Jie,” sapanya, tersenyum.
“Xili, hari ini tidak ada kerjaan?” tanyaku.
“Tadi Henry dan Suxuan ada datang kesini untuk belajar
bersama. Err… jie, aku mau minta izin sama jie.”
Aku duduk bersamanya di karpet.
“Apa?”
“Apakah jie akan memberi izin kalau aku… bekerja di tempat
Hangeng oppa? Err… kudengar mereka mencari pengganti Aqian untuk sementara,
sedangkan aku sering tidak ada kerjaan seperti ini, membosankan sekali.”
Aku memandangnya lurus-lurus. Benar juga, aku tidak boleh
lagi seprotektif ini. Xili memang terlihat jauh lebih dewasa karena aku tidak
melihatnya menangis lagi karena masalah Hae.
“Xili, kau mencintai Geng oppa?”
“Kenapa jie tanyakan itu?”
“Karena kalau Xili tidak mencintainya, jangan datang ke
kehidupannya lagi. Jie tau hatinya sangat perih ketika tau hubungan Xili dan
Hae,” jawabku, “tidak adil baginya untuk menerimamu di kehidupannya lagi, kalau
kelak Xili berbaikan dengan Hae atau apalah. Jie juga tidak ingin Geng oppa
disakiti.”
“Aku dan Donghae oppa tidak akan berbaikan lagi, kami hanya
akan menjadi teman. Aku tidak sesabar jie atau Leeteuk oppa. Aku tidak bisa
berpacaran dengan artis.”
“Baiklah, kalau begitu. Jalan kehidupanmu semuanya berada di
tanganmu. Xili, jie percaya padamu.”
“Gomawo, jie.”
Aku dan Xili berpelukan sejenak. Mudah-mudahan… Xili dan
Hangeng oppa… yah, siapa tau, cinta lama bersemi kembali dan berakhir bahagia?
Malam harinya, aku main ke apartemen 707. Langsung saja aku melihat ada
perubahan di ruang tamu yang luas itu. Di pojokan dekat peralatan fitness
sederhana, ada sebuah grand piano berwarna hitam. Naluriku membawaku mendekati
si hitam itu, mengagumi bentuknya, lalu menekan tuts hitam putihnya. Omona…
grand piano yang keren sekali!
“Hai, Yifang. Suka dengan sahabat baru kami?” Tanya Hae yang
muncul dari kamarnya.
“Aih, Hae, kau membuatku kaget saja. Aku suka piano,”
jawabku, “darimana sih ini?”
“Oh, itu. Itu hadiah bersama dari Siwonnie, Hangeng hyung,
Leeteuk hyung dan Heechul hyung untuk Wookie. Wookie sudah lama kepingin punya
grand piano, jadi mereka belikan saja.”
“Whoa… keren. Tapi aku tidak mengerti seni bermain piano.”
“Kau ini aneh sekali. Kau bisa minta diajari banyak orang. Meifen
bisa, Leeteuk hyung, Sungminnie, Henry, dan tentu saja Wookie. Kalau memang kau
mau main, kurasa kau bisa koq nantinya.”
“Jadi kepingin belajar.”
“Eh, Yifang, sudah datang…” sapa Wookie yang muncul dari
dalam.
Wookie menghampiriku di dekat piano. Hae meninggalkan kami,
masuk kembali ke kamarnya.
“Wookie, bisakah kapan-kapan mengajariku main piano? Aku
sepertinya menyukai piano nih,” pintaku, menunjuk piano.
“Yifang benar-benar mau belajar? Keren… aku pasti akan
mengajarimu.”
Aku memeluknya sebagai ucapan terima kasih.
“Apa yang ingin Yifang lakukan sekarang?”
“Ingin mengotak-atik laptop Wookie.”
“Hahaha… dasar. Ayo.”
Aku mendahului Wookie masuk ke kamarnya, atau untuk lebih
tepatnya, kamar bersama antara dia dan Yesungie oppa. Meski ranjang disini
masih ada dua, tapi rasanya aneh sekali. Beberapa barang tidak ada di tempat
yang seharusnya, misalnya barang-barang kesayangan Yesungie oppa, laptop
merahnya, juga aquarium Ddangko bersaudara. Aku merasa kerongkonganku tercekat,
aku merindukan mereka juga. Aku menggelengkan kepalaku, lalu bergegas
menghampiri laptop ungu Wookie, tidak ingin membuatnya curiga dengan tingkah
lakuku. Wookie-pun menarik salah satu kursi dan duduk di sampingku. Aku baru
tau ternyata isi laptop Wookie berbeda jauh dengan isi laptop Yesungie oppa.
Kalau laptop Yesungie oppa penuh game, laptop Wookie isinya not-not lagu
karangannya (ada yang sudah selesai, ada yang masih separuh), puisi yang
digunakan untuk menciptakan lagu, juga berbagai dokumen pelajaran bahasa
Mandarin. Aku harus mengerti, mereka tak sama. Aku masih terbiasa bermain game
bersama Yesungie oppa, tapi aku harus cepat bisa menyesuaikan diri.
“Wookie, aku juga bisa menulis puisi. Kau mau melihat
karanganku kapan-kapan?” tanyaku sambil tersenyum.
“Benarkah? Kalau begitu aku mau lihat dong.”
Dan kami membahas tentang proses penciptaan lagu. Wookie
memang luar biasa, dia punya bakat yang memang cocok di dunia music. Ini
membuatku makin mencintainya. Akhirnya aku main game di laptopnya, dan dia
berbaring di ranjangnya. Aku menoleh sesaat, dan melihatnya menerawang ke
ranjang sebelah yang kosong. Dia juga merindukan Yesungie oppa, itu sudah
pasti. Aku berhenti bermain dan melompat untuk berbaring di sampingnya.
“Eh, Yifang…”
Aku menarik tangannya dan kubaringkan kepalaku disana. Bau
tubuhnya melingkupi indra penciumanku, aku suka sekali.
“Wookie, kita merindukannya.”
“Hah?” tanyanya bingung.
Tapi sepertinya akhirnya dia mengerti apa yang kumaksud. Dia
kini memelukku erat. Inilah pilihanku, berada di pelukannya. Aku harus percaya
pada pilihanku ini. Wookie mengelus rambutku penuh rasa sayang, dan aku bahagia
sekali. Tapi… ada yang sedikit aneh sepertinya. Kami Cuma berdua saja kan? Tapi
kenapa dia tidak… pikiran “berharap”ku berhenti karena kaget mendengar bel
pintu berbunyi. Terdengar langkah-langkah, Hae pasti membukakan pintu.
“Yesung hyung! Ya~ akhirnya hyung pulang juga!” teriak Hae
lega.
Yesungie oppa? Indraku langsung bereaksi. Dan baik aku dan
Wookie, bangkit pada saat yang bersamaan. Cuma bedanya, aku berlari lebih cepat
dari Wookie. Aku melihatnya: Yesungie oppa yang kurindukan, membawa tasnya dan
menggendong aquarium Ddangko bersaudara, berdiri di ambang pintu. Dia balas
memandangku, tapi sorot matanya kosong. Mataku terasa panas, dan aku sesaat
bingung perasaan apa yang sebenarnya melingkupiku.
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Yesungie oppa…”
Dan seketika itu aku kaget bukan kepalang. Dia bukan pulang
sendirian. Omma… mengikutinya. Eh maksudku, yah, omma-nya, ikut kesini. Aku
kini mematung. Aku akan habis. Aku sudah mengecewakannya, aku sudah
menelantarkan anaknya, padahal dia sangat percaya padaku. Kali ini air mata benar-benar
lolos dari mataku, tapi aku berusaha menahan lebih banyak air mata yang akan
jatuh. Hatiku perih sekali. Dan ketika ommanya mendekatiku… aku… merasa… takut?
Huaaaaa… Hae, Wookie, tolong aku… bagaimana kalau ommanya menyiksaku? Tapi
bukannya aku memang pantas disiksa? Huaaaa… tapi aku takut… T.T
“Omma… ehh… Kim ahjumma… ehh… ahjumma…”
Mati aku, kali ini aku memang pantas mati… omma mengangkat
tangannya, dan aku memejamkan mataku… aku akan mati!!! Tapi ternyata… tangannya
menepuk bahuku.
“Yifang ya~ kau kenapa ketakutan begitu? Aku tidak akan
memakanmu,” ucapnya lembut.
Mworago? Aku membuka mataku, dan melihatnya tersenyum.
Tersenyum! T.T
“Lho, babo yeoja! Kenapa menangis? Bukannya aku bilang aku
tidak akan menyakitimu?”
“Omma… ehh… Kim ahjumma… mianhamnida… Yifang bukan yeoja yang
baik. Yifang hanya membuat ahjumma kecewa…”
“Ani. Aku merasa kau sangat punya pendirian, sangat berani,
Yifang. Dan kau tetap bisa memanggilku omma. Aku ingin punya anak perempuan.”
“O… omma… omma tidak memarahiku? Aku mengecewakan Yesungie
oppa, malah memilih Wookie…”
“Gwaenchana. Omma memaafkanmu, omma menyayangimu, Yifang ya~”
Dan bendunganku pecah. Aku menangis sekencang-kencangnya,
menumpahkan semua perasaanku. Aku terisak tidak terkendali, memalukan sekali.
Omma memelukku, memberiku kehangatan seorang ibu yang kurindukan. Bagaimana aku
bisa dimaafkan semudah ini? Terima kasih Tuhan… dan omma melepaskan pelukanku.
Kini, aku tau jelas aku berada di pelukan siapa: Yesungie oppa. Dia memelukku
erat, dan aku merasakan kerinduan yang meluap-luap dalam diriku, juga jantungku
yang berdetak kencang. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku masih mencintainya.
Dia mengelus kepalaku.
“Yifang, aku menyayangimu. Selamanya akan selalu begitu.
Berbahagialah, maka kau akan membuatku tersenyum,” pinta Yesungie oppa.
지치지 마요 힘들 내어요
Don't be weary, be strong
조금 더 오면 나를 느낄 수 있죠
If you come a little closer you'll be able to feel me
날 안아줘요 깊은 맘으로
Hold me with deep feelings
가슴 가득히 나를 사랑해 주세요
Don't be weary, be strong
조금 더 오면 나를 느낄 수 있죠
If you come a little closer you'll be able to feel me
날 안아줘요 깊은 맘으로
Hold me with deep feelings
가슴 가득히 나를 사랑해 주세요
Please love with all of your heart
Aku kembali menangis keras, tidak mempedulikan apapun lagi,
entah berapa lama aku baru berhenti menangis. Yesungie oppa berpelukan dengan
Wookie, yang juga menangis, tapi berhasil mengendalikan dirinya untuk tidak
menangis separah aku.
“Aigo… bagaimana ini… pasangan aneh yang suka menangis,” cela
Hae, tapi aku melihatnya tersenyum.
“Sudah… sudah… hentikan semua ini, nanti omma jadi menangis
juga. Omma lapar… Wookie, omma mau makan masakanmu, sekarang,” ucap omma.
Wookie terlihat kebingungan, “mwo… mworago? Ahh… ne.”
Wookie langsung berlarian ke dapur. Omma menggandengku erat.
Kami akhirnya membantu Yesungie oppa kembali ke habitatnya, dan aku senang
sekali melihat Ddangko bersaudara saling bertumpuk, seperti biasanya. Hae juga
ikut membantu kami di dalam kamar.
“Jadi kalian pasti kerepotan tidak ada aku di sisa masa promo
sesi pertama,” tebak Yesungie oppa.
“Ne. tapi Mimi pintar. Dia meminta Leeteuk hyung membuat
surat sakit palsu. Katanya hyung mengidap penyakit kangen rumah yang parah,
jadi hyung perlu pulang, begitu. Selama masa promo, kami bergantian menyanyikan
bagian nyanyian hyung, kebanyakan sih Kyu dan Wookie, dan formasi tarian juga
agak berubah,” kata Hae.
“Mianhae Hae, aku membuat kalian susah.”
“Aih, jangan bilang begitu hyung. Kami mengerti koq. Dan kami
senang hyung sudah kembali.”
“Aku ketinggalan berita apa tidak?”
“Banyak!” seruku tiba-tiba, membuat mereka kaget.
Dan malam itu, bagiku malam yang cukup sempurna, ketika kami
semua duduk untuk makan masakan Wookie, dan Yesungie oppa memaafkan kami. Aku
masih melihat sorot matanya yang sedikit sedih, tapi setidaknya dia tidak
membenci kami. Aku benar-benar berterimakasih soal itu.
“Sampai jumpa lagi!” pamitku dan Hyuk kompak.
Aku baru saja menyelesaikan siaran bersama Hyuk, jam tiga
sore sekarang. Aku bersyukur kabarku pacaran dengan Wookie belum menyebar,
soalnya aku tidak tau apa tanggapan fans KRYSD kalau tau aku bermain-main
dengan idola mereka, setelah Yesungie oppa, sekarang ke Wookie. Aku takut
mereka menolakku. Ponselku berbunyi, SMS masuk. Dari Wookie, wajahnya yang
manis muncul di layar ponselku.
Yifang, besok ada jadwal? Aku kosong nih. Bagaimana kalau
kita menemui ommaku? Dari jam Sembilan pagi kita berangkat?
Aku kaget. Secepat ini? Tapi memang ada gunanya sih menemui
orangtuanya Wookie dulu, supaya tidak terulang kasus seperti Aqian dan Siwonnie
oppa.
“Yifang, mau pulang?” Tanya Hyuk, menyodorkan helm padaku.
“Ne,” jawabku, “Hyuk, kau pernah bertemu omma-nya Wookie?”
“Kenapa? Dia mengajakmu bertemu ommanya ya? Aku pernah
bertemu dengannya sih, cukup sering, meski tidak sesering omma kami yang satu
itu, kau taulah, si ommanya Yesung hyung.”
“Ng… bagaimana ommanya Wookie?”
“Masih oke, dia baik koq, Cuma tidak seramai omma bersama
itu. Tenang saja, dia akan menyukaimu.”
Kami menuruni gedung siaran. Baiklah, kalau begitu cukup aman
untuk bertemu omma-nya.
Aku kosong seharian. Baiklah, Wookie. Besok jam Sembilan aku
menunggumu.
Dan begitulah yang terjadi keesokan harinya. Aku bangun jam
enam pagi seperti biasanya dan sibuk bersiap-siap. Aku membongkar isi lemariku
dengan tegang. Baju apa yang akan kupilih? Terusan berwarna biru? Kaos panjang
berwarna oranye? Kemeja warna hitam? Dan bawahannya? Celana jins putih? Celana
training? Rok pendek kuning? Aigo… kenapa sih aku jadi tegang begini? Andaikan
waktu itu aku tau omma… aih sudahlah, sekarang kalau aku sebut omma itu ya
ommanya Yesungie oppa, andai aku tau dia mau datang, waktu itu mungkin aku juga
bisa setegang ini.
“Ya~ jie, jie kenapa sih?” Tanya Xili.
Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ambang pintu, sudah
berpakaian rapi dan tampak segar.
“Lho, kenapa bangun pagi?” aku balik bertanya.
“Aku mau ke resto Hangeng oppa hari ini. Jie kenapa tuh?”
“Jie diajak bertemu ommanya Wookie jam Sembilan ini, bingung
mau pakai kostum apa. Sayang Manshi tidur di lokasi syuting ya, kalau tidak jie
bisa minta bantuan dia.”
“Yah, sayang juga aku tidak bisa membantu. Selamat berjuang
dan semoga sukses yah jie. Aku percaya ommanya Ryeowook oppa akan menyukai
jie.”
“Mudah-mudahan deh ya. Oke, mei, hati-hati di jalan.”
Xili melambai sekali padaku sebelum akhirnya pergi. Aku
memandang pasrah pada tumpukan baju di lantai kamarku dan akhirnya memilih baju
terusan yang dilengkapi rok pendek berwarna oranye gelap. Sudahlah, aku
benar-benar pasrah… aih, siapa sih itu yang datang? Aku sudah mau pergi nih dua
jam lagi, tidak tau apa orang lagi sibuk bersiap-siap?
“Oi, Yifang.”
Jantungku nyaris copot, rupanya Ichul oppa muncul di pintu
depan apartemenku. Dia tersenyum, namun hanya sejenak, karena senyum itu dengan
cepat menguap.
“Apa itu yang kau pakai?” Tanya Ichul oppa menunjukku.
“Apa? Ya jelas bajulah, memangnya handuk?”
“Kau mau memakai itu untuk menemui Kim ahjumma? Babo!
Memangnya kau tidak punya baju lain apa? Ayo cepat, aku bantu kau pilihkan!”
Ichul oppa mendorongku masuk dan menutup pintu di
belakangnya. Dasar si oppa semena-mena yang satu ini.
“Eh, bagaimana oppa bisa muncul di saat kubutuhkan? Darimana
oppa tau aku mau menemui calon mertuaku?”
“Xili meneleponku dan minta tolong padaku. Untunglah aku
belum sampai salon tadi, jadi bisa mampir kesini dulu. Kau memang butuh
bantuan, dasar gadis yang tidak modis.”
“Berhenti memakiku kenapa sih?”
Ichul oppa sudah masuk ke kamarku. Dia makin membuat tumpukan
bajuku berantakan =.=”
Aku mengeluh, “oppa…”
“Nah, yang ini cukup oke.”
Dia mengambil sebuah kemeja pendek berwarna kuning, dengan
dalaman tank top hitam, lalu membongkar tumpukan bajuku kembali untuk mengambil
rok pendek bermotif kotak-kotak abu-abu-putih.
“Dan aku akan memberimu make-up. Ayo, lepas baju itu.”
Ichul oppa tidak sabar dan menarik bajuku.
“Oppa!!! Aku bisa melepas bajuku sendiri!”
“Sudahlah, aku bantu biar lebih cepat. Aku harus pergi
setengah jam lagi. Cepatlah.”
Dia sama sekali tidak mengindahkanku, menarik baju yang
melekat di tubuhku. Apa dia gila? Dia mau menelanjangiku?
“Oppa, aku ini cewek!” kataku histeris.
“Aku tau. Kau tidak usah takut aku apa-apakan. Aku sudah
menganggapmu dongsaeng-ku sendiri, dan aku tau kau sudah milik Wookie.
Cepatlah, jangan banyak cerewet.”
Aku masih enggan melepas bajuku, masih saling tarik-menarik
dengannya, dengan dia di punggungku, menarik bajuku dari belakang. Dan
tiba-tiba usahanya berhenti, nyaris mendadak. Aku heran dan menoleh
memandangnya.
“Oppa? Ada yang tidak beres? Jangan marah! Aku akan
membukanya sekarang!”
“Tunggu!”
Dia menahan tanganku. Apa lagi sekarang?
“Di punggungmu ini… apa ini?”
Aku merasakan jarinya yang menyentuh punggungku, tidak jauh
di bawah leher. Ah, aku tau apa yang ditunjuknya. Dia baru pertama kali
melihatnya, bahkan dia yang pertama melihatnya selain Xili. Tanda lahirku yang
berupa garis sepanjang jari jempol, yang lumayan lebar, berwarna pink.
“Itu tanda lahir,” jawabku.
“Tanda lahir? Bukan tato?”
“Yaaaah, oppa, ngapain aku buat tato di tempat yang tak
terlihat begitu? Lagian itu tak berbentuk.”
Aku sekarang memandangnya dengan wajah keheranan. Tiba-tiba
saja wajahnya terlihat pucat. Apalagi sekarang? Ichul oppa memang aneh, sering
tak bisa ditebak. Dan dia menarikku, cukup kencang, nyaris menyeretku keluar.
“Oppa? Ada apa?”
Tapi dia tidak menjawabku. Aku merasa heran sekali. Dia
membawaku memasuki mobilnya.
“Oppa, aku akan pergi dengan Wookie tak lama lagi.”
“Nanti. Ada sesuatu yang perlu diselesaikan. Itu nanti saja.”
Aku benar-benar bingung. Kenapa sih? Dia mau membawaku
kemana? Tapi sekitar 10 menit kemudian, ketika mobil akhirnya berhenti, aku tau
kami tiba di rumah sakit tempat Iteuk oppa praktek.
Aku langsung shock, “oppa, aku tidak sakit! Aku sudah bilang
itu tanda lahir, kenapa oppa membawaku kesini?”
“Justru karena itu tanda lahir, kita harus temui Leeteuk.”
Dan aku masih diseretnya menyusuri rumah sakit, tepatnya ke
ruang praktek Iteuk oppa. Dia tidak mengetuk pintu, langsung saja masuk. Iteuk
oppa yang berpakaian serba putih (tampan sekali, pakaian dokter) kaget melihat
kami masuk tiba-tiba. Apalagi mungkin dia melihat aku yang salah kostum.
“Lho, Heechul, Yifang, ada apa ini?” tanyanya, berhasil
menyunggingkan senyum.
“Leeteuk, kami membutuhkan tes darah dan DNA, kami berdua,
sekarang juga. Berapa lama laporan itu akan keluar?”
“Kalian? Memangnya kenapa? Kalau kau benar-benar membutuhkannya,
hasil itu bisa selesai dalam empat jam. Tapi ada apa ini?”
“Nanti aku jelaskan. Yang penting tes saja dulu kami.”
“Ne…”
Iteuk oppa mengambil peralatannya: jarum suntik.
“Andwae!!! Jangan suntik aku! Aku benci jarum!” teriakku
heboh.
Tapi Ichul oppa hanya memegangiku, tidak mengucapkan kata
apapun. Huaaaaaa… kalian jahat! Wookie, tolong aku!
eonn lanjutannnya eoh...
ReplyDeletejebal... aku sdh nunggu lama banget nih ...