When Our Dreams Come True
Love is Our Destiny
Chapter 2
FLASHBACK
Lebih dari 10
hari kemudian, tepatnya beberapa hari setelah Fahrenheit melakukan debut
resminya, dan sehari sesudah Fahrenheit meluncurkan album pertama mereka dengan
judul album Fahrenheit. Aaron telah menjemput Thia dan Wina untuk ke suatu
cafe. Lebih tepatnya sih, Aaron menjemput Wina duluan, jadi Wina duduk di
samping Aaron di mobil sport kerennya, dan Thia duduk di jok belakang. Aaron
emang pendiam, tapi jika bersama Wina yang ceriwis, dia juga bisa jadi ceriwis.
Berbeda kalo Aaron hanya berdua dengan Thia. Mereka cukup banyak ngobrol dan
berinteraksi, tapi selalu ada ruang2 kosong dalam pembicaraan mereka. Dan Thia
sedikit menyesalinya. Aaron memarkir mobilnya di depan Cafe Oriental yang
terkenal mewahnya.
Aaron: ”Ketiga
sahabatku udah menunggu di dalam. Ayo..”
Aaron
membimbing kedua sahabat cwenya ini masuk ke Cafe Oriental, dan mereka melihat
tiga cwo yang cukup mencolok duduk di meja pojokan. Mereka mencolok karena
badan mereka yang atletis dan kulit putih mereka yang sangat mulus. Suara
obrolan mereka juga terdengar menyenangkan, sesekali diiringi tawa. Thia
menduga mereka adalah Fahrenheit. Aaron berjalan mendekati meja itu dan
membenarkan dugaan Thia.
Aaron: ”Tumben
kalian on time.”
Cwo dengan
rambut paling tebal dan berantakan tertawa.
Cwo: “Si Chun
cerewet sih. Dia meneleponku setiap sepuluh menit sekali.”
Di samping
kirinya, cwo yang potongan rambutnya cepak pendek juga tertawa.
Cwo: ”Kau tau
gak Dong, itu karena kau emang biang lelet di grup kita.”
Cwo yang
tersisa, yang paling tampan dan bibirnya merah, mengangguk.
Chun: ”Cal
benar. Makanya aku memburumu.”
Dong:
”Terserah kalianlah. Aku selalu diserang.” *menoleh ke Thia dan Wina* ”Ngomong2
Aaron, kau gak persilakan teman2 cantikmu ini duduk dan mengenalkannya pada
kami? Kau pelit yah?”
Aaron:
*mencibir* ”Abiz, kalian kan tadi lagi buka aib, jadi aku biarkan ajah dulu.”
xp
Dong: ”Kau
ini.”
Aaron memberi
isyarat agar Thia dan Wina duduk. Aaron duduk di samping cwo yang namanya Chun,
Thia duduk di sebelahnya, dan Wina kebagian duduk di antara Thia dan sepertinya
cwo yang namanya Cal.
Aaron: ”Nah..
Thia, Wina, ini teman2 bandku di Fahrenheit.” *menunjuk yang di sampingnya* ”Wu
Chun.” *sebelahnya* ”Wang Dong Cheng.” *sebelahnya* ”Calvin Chen. Guys, ini
Thia dan Wina, sahabatku di kampus. Aku pernah ngomong kan kalo mereka ini
jagonya biola dan harpa?”
Dong: ”Hai
hai.. aku Wang Dong Cheng. Panggil aku Dong ajah.” *berjabat tangan*
Calvin: ”Aku
Calvin Chen. Mereka sih memanggilku Cal.” ^^
Chun: ”Aku Wu
Chun.” ^^
Seketika, meja
itu menjadi lebih ramai. Tentu semua ini gak lepas dengan kehadiran Wina yang
sering menjadi penghibur suasana. Ditambah lagi, sepertinya Wina sama
ceriwisnya dengan Dong, jadi mereka langsung terlibat cerita2 konyol. Thia
memperhatikan, Fahrenheit emang boy band yang mungkin suatu hari bakal
terkenal. Bagaimana gak? Fahrenheit punya personel yang berbakat. Calvin,
senyumnya sangat tulus dan membuatnya terlihat sangat tampan waktu tersenyum,
punya suara yang lembut banget. Chun, bisa dibilang cwo paling cakep di
Fahrenheit, terlihat selalu peduli sama teman2nya. Dong, meski ceriwis, itulah
keuntungannya berada di grup ini, karena dia adalah pembawa suasana ceria yang
sangat baik, meski keliatan agak ceroboh. Plus Aaron, selalu jadi yang paling
pendiam, rupanya juga bisa jail kalo ketemu Dong, adalah aset Fahrenheit karena
suaranya yang paling indah. Thia tersenyum sendiri. Dia benar ikut bahagia
untuk debutnya Aaron. Tapi melihat keceriaan mereka, sementara Thia merasa
berada di dunia yang berbeda, entah kenapa, dia merasa dirinya gak cocok
disini. Dia gak bisa tertawa bersama yang lain. Seolah ada penghalang gak
keliatan yang membuatnya gak bisa ikut masuk dalam pembicaraan mereka yang
penuh tawa. Thia menyadari, dia bukan Wina. Dia bukan gadis menyenangkan dan
cantik seperti Wina. Kini pusat perhatian adalah Wina. Bahkan, Dong terang2an
bertukar nomor hape dengan Wina. Thia berusaha tersenyum. Dia tau, bersikap iri
adalah sebuah dosa. Tapi semua itu manusiawi kan?
Aaron:
”Thia..” *mengguncang lengan Thia* ”Thia..”
Thia: *kaget*
“Ah… eh… ya, Aaron?” ^^
Aaron: ”Kau
gapapa?”
Thia: ”Aku
gapapa koq.”
Aaron: ”Tapi
kau diam ajah.”
Thia: ”Aku...
aku beneran gapapa koq.” ^^
Thia berusaha
masuk ke dalam pembicaraan, karena dia gak mau Aaron khawatir. Padahal Aaron
tau, ada sesuatu yang gak beres dengan Thia.
END OF
FLASHBACK
***
FLASHBACK
Aaron telah
seminggu gak masuk berkuliah. Karena itu, hari ini, kebetulan gak ada jadwal
dengan Fahrenheit, Aaron dengan ceria dan bersemangat berjalan menuju kelas,
seperti biasa, datang lebih cepat. Tapi dia Cuma melihat Wina disana.
Aaron: ”Hai
Wina.” ^^
Wina: ”Hei
Aaron.”
Aaron: “Mana
Thia?”
Wina: “Dia uda
seminggu terakhir datangnya telat, gak kayak dulu lagi. Jadi kami juga gak
barengan.”
Aaron: ”Koq
bisa gitu?” *duduk*
Wina: ”Dia
bilang sih ada kerjaan di apartemennya.”
Aaron: ”Kau
gak bantu2 dia?”
Wina: ”Aku uda
nawarin. Dia bilang sih gapapa, dia bisa sendirian.”
Aaron, meski
merasa aneh, tapi masih gak terlalu memikirkan hal itu.
END OF
FLASHBACK
***
FLASHBACK
Fahrenheit
tengah menunggu Wina dan Thia di cafe Oriental. Wina akhirnya datang dengan
mengendarai mobilnya, tapi sendirian, tanpa Thia.
Aaron: ”Loh?
Mana Thia, Wina?”
Wina: “Entah.
Dia bilang dia sibuk persiapan ujian minggu depan.”
Aaron:
”Bukannya dia uda latihan lama?”
Wina:
*mengedikkan bahu*
Calvin:
”Padahal kan kita kangen sama Thia juga.”
Chun: ”He-eh.”
Kali ini Aaron
mulai merasa ada yang aneh. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Thia.
END OF
FLASHBACK
***
FLASHBACK
Aaron resah.
Thia tampaknya jauh lebih sibuk daripada dia. Beberapa kali Aaron ke apartemen
Thia, dia gak ada disana. Padahal Aaron sendiri uda sibuk, jadi dia gak bisa
terus-menerus mencari Thia. Dia belakangan ini kurang berkonsentrasi, merasa
tanpa kehadiran Thia, ada sesuatu yang berkurang. Meski sekarang Wina sering
muncul di acara yang dihadiri Fahrenheit dan membuat ramai suasana, tapi tanpa
Thia, Aaron justru kehilangan.
Dong: ”Aaron..
kau kenapa?”
Aaron baru
sadar kalo dari tadi dia Cuma memandangi layar hapenya ajah. Mereka abiz
performance di salah satu acara reality show.
Aaron: ”Ng..
gapapa.” ^^
Dong: ”Kalo
ada apa2 jangan disimpen sendirian. Curhat.” ^^
Aaron: ”Kayak
cwe ajah.”
Dong: “Emang
Cuma cwe yang boleh curhatan?” ^^
Aaron: ”Hmm..
Dong, sebenarnya.. aku agak khawatir sama Thia.”
Dong: ”Thia?”
*mikir, sempat lupa kalo Aaron punya satu lagi sahabat* ”Ooh.. Thia. Emangnya
dia kenapa?”
Aaron: ”Dia
kayaknya lagi menghindariku deh. Dia sih bilangnya dia lagi sibuk. Tapi Wina
juga gak tau Thia sebenarnya sibuk ngapain.”
Dong: ”Hmm..
bisa jadi dia beneran sibuk deh Aaron, jangan dibawa pusing.”
Aaron: ”Iyah
sih, tapi..”
Wina: ”Hei
Aaron!” *menepuk bahu Aaron*
Aaron: ”Eh,
iyah, Wina?”
Wina: ”Aku
beli komik baru loh. Yang lucu2.” ^^
Aaron:
”Beneran?”
Aaron pasrah
ditarik Wina ke mobilnya. Dong memperhatikan semua hal itu dengan seksama. Aaron
mengambil buku2 komik yang disodorkan Wina, dan bahkan membolak-balik beberapa
komik dan tertawa bersama Wina. Setelah Wina pulang, Dong menarik Aaron menjauh
dari Chun dan Calvin yang sedang mempertimbangkan lokasi ”makan tengah malam”
yang paling tepat.
Aaron: ”Apaan
sih Dong?”
Dong: ”Bisnis
apaan sama Wina?”
Aaron:
*menunjukkan komik2* ”Komik koq. Wina suka baca, kebetulan kau kan tau aku
demen sama komik2 lucu. Makanya dia suka pinjemin kalo dia abiz baca.”
Dong:
”Sekarang aku tau kenapa Thia jarang muncul di hadapan kalian.”
Aaron: ”Apa
hubungan Thia dengan semua ini?” =.=”
Dong: ”Thia
jelos tau ngeliat kalian dekat.”
Aaron: ”Mana
mungkin.” =.=”
Dong: ”Ya uda
kalo gak percaya. Tanya ajah pendapat Chun ato Calvin, gimana kalo mereka jadi
seorang Thia.”
Aaron terdiam.
Dong meliriknya. Begitu Aaron membalikkan badannya dan berjalan beberapa
langkah, Dong menariknya pada bagian belakang leher kaosnya.
Aaron:
*tercekik* ”Ooooi!” *berbalik*
Dong: ”Jangan
sekarang.”
Aaron:
”Apanya? Kalo besok pagi keburu Thia uda gak tau kemana lagi, tau!”
Dong: ”Kau mau
ke apartemen cwe jam 12 malam gini? Ingat statusmu, artis!”
Aaron: ”Apa
peduliku? Daripada gak bisa ketemu Thia..”
Dong: ”Okey
kau gak peduli. Apa tanggapan fansmu terhadap Thia? Mereka bisa membuntuti Thia
terus, tau!”
Aaron
berpikir. Dong kadang2 berpikir lebih pintar dan rasional daripada dia.
Aaron: ”Hhh..
okey. Aku akan menunggu sampai besok pagi.”
Dong: ”Sukses,
xiao di di!” ^^
Aaron mendelik
dipanggil xiao di di oleh Dong, meski selisih umur mereka Cuma setaon (di ff
ini-author) tapi, dia merasa berterimakasih juga padanya. Benar, dia nyaris
mencelakai Thia. Dan juga, dia nyaris gak tau.. bahwa ternyata ada sesuatu..
yang di luar dugaan. Thia..
END OF
FLASHBACK
***
FLASHBACK
Aaron bangun
jam 5 pagi. Lebih tepatnya lagi, dia nyaris gak tidur semalam setelah pulang
jam 1 dini hari. Dia terus memikirkan Thia. Dia mengingatkan dirinya untuk
tenang dan gak memikirkan gadis yang satu itu, tapi dia gak bisa menahan
dirinya. Dia berharap matahari segera muncul di ufuk timur, tapi yang ditunggu
kayaknya malu2 keluarnya. Sampe akhirnya Aaron gak bisa menahan diri lagi.
Aaron bangkit dari ranjangnya tepat jam 5 pagi, segera menuju kamar mandi untuk
mempersiapkan penampilannya. Hari Sabtu ini, Fahrenheit punya jadwal manggung
jam 1 siang, jadi Aaron ingin menemui Thia sebelum jam 11 setidaknya. Selesai
bersiap-siap, udara terasa lebih hangat menerpa kulitnya ketika Aaron membuka
pintu rumahnya. Jam 6 pagi. Mamanya yang heran dengan kepergian Aaron pagi2,
sempat menanyai alasannya keluar begitu pagi. Dengan mantap, Aaron naik ke
mobil sport-nya dan melaju meninggalkan rumahnya, menuju apartemen Thia yang
normalnya bisa dicapai setelah 45 menit perjalanan. Tapi karena pagi itu lalu
lintas masih sepi, Aaron bisa sampai 10 menit lebih cepat. Langsung ajah Aaron
masuk apartemen dan naik lift menuju lantai tiga, tepatnya ke apartemen nomor
35. Aaron menekan bel. Tapi gak ada sahutan. Aaron kembali menekan bel.
Aaron: ”Thia,
buka pintu, ini aku, Aaron.”
Tapi masih gak
ada sahutan. Aaron mulai cemas. Tapi ketika dia menundukkan kepalanya, dia
melihat selembar kertas berwarna ungu muda. Aaron yang penasaran mengambil
kertas polos itu, dan ketika membaliknya, dia membaca sebuah pengumuman.
Pengumuman lomba biola internasional yang akan berlangsung satu setengah bulan
lagi, tapi seleksi nasional akan diadakan di Taipei satu bulan lagi.
Aaron: ”Thia..
aku akan mencarimu.”
Aaron,
setengah yakin, mengendarai mobilnya menuju kampus. Tentu ajah kampus sepi, gak
ada perkuliahan di hari Sabtu. Tapi Aaron berjalan perlahan menuju ruang musik
yang terletak di gedung tiga, disana banyak sekali ruangan yang bisa dipakai
mahasiswa berlatih musik. Inilah enaknya kampus, karena ruangan itu gak ditutup
dan masih bisa dipakai mahasiswa yang ingin berlatih, kapan ajah mereka mau,
tentunya kecuali di atas jam 7 malam. Selain ruangan latihan, perpustakaan juga
buka tiap hari. Begitu masuk ke gedung itu, Aaron langsung menemui penjaga
gedung, dan menyerahkan kartu mahasiswanya.
Bapak2: ”Aaron
Yan. Apa yang mau dilakukan?”
Aaron:
”Latihan piano.” *jawab ngasal*
Bapak2:
”Baiklah. Tapi tadi ada juga yang berlatih, dia datang lebih pagi darimu.
Thia.”
Aaron: ”Oh,
dia teman sekelompok saya. Xie xie ni xian sheng.”
Bapak2: “Bu ke
qi.”
Aaron bergegas
masuk ke dalam gedung dua lantai itu, mengecek lantai satu, yang berisi 5
ruangan latihan. Ruangan 1.. kosong. Ruangan 2.. kosong. Dan Aaron
mendengarnya. Suara biola yang indah menyusup keluar dari pintu ruangan 3.
Perlahan, Aaron membuka pintu itu dan melihat sosok Thia. Thia duduk tegak di
sebuah kursi tanpa sandaran, memejamkan matanya dan memainkan biolanya dengan
gesekan yang menyayat hati. Kebetulan sekali, dia duduk menghadap pintu, jadi
Aaron sekarang tengah memandangi wajahnya yang cantik. Nada sedih itu
menggetarkan hati Aaron. Apakah Thia juga sedang sedih, ato ini hanya latihan?
Aaron perlahan melangkah masuk dan rupanya gerakan itu menyadarkan Thia.
Thia: ”Aaron?”
Aaron berjalan
melewati Thia dan duduk di grand piano putih yang ada di ruangan itu. Aaron
mengadakan kontak mata dengan Thia dan mengangguk pelan. Dia mulai meletakkan
jari2nya di piano itu dan memainkan nada yang dikenal Thia. Secara otomatis,
Thia juga memainkan biolanya. Alangkah indahnya perpaduan suara kedua alat
musik melodi itu, apalagi Aaron dan Thia emang cukup kompak kalo main duet.
Akhirnya lagu itu selesai. Thia meletakkan biolanya pada sarungnya, sementara
Aaron memandangi sosoknya.
Aaron: ”Thia
mau ikut lomba?”
Thia: “Eh? Koq
Aaron tau?”
Aaron: “Aku
mencarimu ke apartemen tadi pagi, dan aku melihat selebarannya di depan pintu
apartemen.”
Thia: ”Dui bu
qi aku gak di apartemen. Harusnya kau telepon aku dulu.”
Aaron: ”Hapemu
kan belakangan jarang aktif?”
Thia:
*blushing*
Aaron: ”Kau
gak perlu berlatih begini keras. Kemampuanmu uda di atas rata2.”
Thia: ”Aku
harus berhasil di ajang internasional, Aaron. Kau tau ini impianku.”
Aaron: ”Tapi
kau juga butuh refreshing. Kenapa kau gak mau jalan denganku, Wina, dan
Fahrenheit?”
Thia: ”Aku
harus fokus pada latihanku, Aaron.”
Aaron: ”Bahkan
kau gak ada waktu lagi memasakkanku makanan kayak dulu?”
Thia: ”Dui bu
qi, Aaron. Aku akan menebusnya setelah lomba selesai.”
Aaron: ”Thia,
katakan padaku. Apa benar semua yang kau lakukan ini demi persiapan lomba?”
Thia: *merasa
cape* ”Aaron, koq kau kayak wartawan sih? Aku kan uda bilang, aku persiapan
lomba. Dan kau uda liat selebarannya kan? Emangnya aku punya alasan apalagi sih
menyibukkan diri begini?”
Aaron: ”Bukan
karena kau ingin menghindariku?”
Thia
menghentikan usahanya menyusun lembar2 partitur lagu.
Thia: ”Shen
me?”
Aaron: ”Apa
kau cemburu pada kedekatanku dan Wina?”
Thia: *sinis*
”Bu yao kai wan xiao ba. Untuk apa aku cemburu? Lagian kalo gak ada aku, gak
ada masalah dengan kalian kan?”
Aaron:
”Fahrenheit kesepian. Kan selama ini Calvin cukup sering bicara denganmu, dan
sekarang dia yang paling merasa kehilangan.”
Thia: ”Kan
seorang Wina bisa menggantikanku 3 kali lipat dengan baik?”
Aaron: ”Thia..
koq kau ngomong gitu?”
Thia: ”Karena
Wina ceria dan cantik. Kalian menyukainya. Dia pusat perhatian yang sangat baik
kan? Kalo aku Cuma bisa buat muram suasana kan?”
Aaron: ”Kami
suka Wina, tapi kami juga suka kau.”
Thia: ”Jangan
boong. Aku liat koq Wina dan kau masih juga bertukar komik dengan senangnya.
Sementara kita, kita gak punya kecocokan sama sekali.”
Aaron: ”Kau
melihatnya. Semalam. Aku dan Wina bertukar komik.”
Thia melotot
dan menutup mulutnya. Wajahnya memerah.
Aaron: ”Kenapa
kau hanya melihat kami? Kami menunggumu.”
Thia: ”Aku gak
ingin jadi penghalang di antara kau dan Wina.”
Aaron: ”Kau
gak pernah jadi penghalang dan jangan pernah berpikir gitu, Thia.”
Thia: ”Tapi
itu kenyataannya. Gak ada aku toh kalian tetap bahagia..”
Aaron: ”Thia!
Dengarkan aku!”
Thia menarik
biolanya dan bergegas menuju pintu, tapi Aaron lebih cepat darinya. Aaron
menghadang jalan Thia, tepat di depan pintu.
Thia: ”Zou kai
ba. Aku butuh konsentrasi untuk latihan, kalo kau mau bicara, ntar ajah tunggu
aku punya waktu luang, okey?”
Aaron: ”Aku
gak bahagia tanpamu. Wina hadir bukan untuk mengisi kekosonganmu.”
Thia terdiam.
Dia memandangi wajah Aaron.
Aaron: “Dan
siapa bilang kita gak punya kecocokan? Apakah kau lupa kalo permainan musik
kita berdua adalah yang paling kompak di kampus ini?”
Thia: ”Tapi
aku gak bisa membuatmu dan Fahrenheit tertawa kayak Wina. Yang kalian butuhkan
adalah gadis yang ceria dan menghibur kalian, bukan yang seperti aku, gak bisa
memilih topik pembicaraan yang..”
Aaron menarik
Thia dalam pelukannya. Thia yang kaget jadi gak bersuara sama sekali.
Aaron: ”Thia..
Thia.. jangan bicara begitu. Aku gak butuh orang yang bisa membuatku tertawa,
aku gak butuh pelawak. Yang kutau adalah.. tanpa kau, ada ruang kosong di
hatiku.”
Thia: ”Aku..”
Aaron: ”Kau,
iyah, kau. Kau berpengaruh besar dalam kehidupanku. Andai Dong gak mengingatkan
aku semalam, mungkin aku gak pernah sadar, bahkan gak pernah merasa sebahagia
sekaligus sebimbang ini. Tapi sekarang aku tau. Aku merindukanmu. Walau aku
bisa menutupi perasaanku, semakin lama aku semakin sadar aku membutuhkanmu.
Thia, wo ai ni.”
Thia merasa
jantungnya berdebar kencang. Aaron mencintainya? Dia pikir selama ini dia
bertepuk sebelah tangan. Thia uda jatuh cinta pada pandangan pertama pada
Aaron, namun Thia merasa, Wina yang ceria adalah tipe yang cocok untuk Aaron.
Apalagi Aaron tampaknya juga menikmati saat2 bersama Wina. Maka itu, Thia
merasa menjadi penghalang di antara mereka berdua. Di satu sisi, Thia tau Wina
adalah gadis yang baik. Dia gak akan menyakiti Aaron walau apapun yang terjadi.
Dan kejadian semalam, ketika Thia melihat Aaron, lagi2 tertawa dengan
gembiranya bersama Wina, dia makin yakin, dia harus mundur dan mendukung mereka
berdua. Tapi sekarang Thia jadi bimbang. Bagaimana mungkin Aaron membutuhkan
dirinya? Bukannya selama ini Thia hanyalah sosok di balik layar, yang gak akan
pernah diperhatikan orang2 lain? Dan apa Aaron cukup serius mengatakan dia
mencintai Thia?
Thia: ”Dan shi..
Aaron.. wo..”
Aaron: “Hao
ba. Kau boleh mempertimbangkan aku. Aku akan menunggu jawabanmu setelah lomba
selesai. Aku hanya minta kau berjanji beberapa hal padaku.”
Thia: ”Kenapa
aku harus..”
Aaron: *cut*
”Di yi, harus latihan dengan serius.” *memunculkan jari telunjuk tangan
kanannya* ”Di er, gapapa kalo kau jarang mau ngumpul dengan kami. Tapi please,
sekali2 muncullah. Fahrenheit merindukanmu.” *memunculkan jari tengah* ”Di san,
izinkan aku makan masakanmu lagi, setidaknya dua hari sekali. Kau tau aku akan
mati kelaparan kalo aku masih gak makan masakan koki di rumah. *memunculkan
jari manis* ”Di shi, jangan pernah cuek padaku. Itu akan membunuhku.”
*memunculkan jari kelingking*
Thia: ”Dan
shi..”
Aaron: *cut*
”Dan aku akan berjanji padamu, aku akan menjaga sikapku terhadap Wina. Kau
perlu tau kalo aku Cuma menganggapnya sahabat, dan perasaanku padanya beda
dengan perasaanku padamu. Ming bai ma?”
Thia: ”Wei
shen me wo yao da ying ni? Wei shen me ni yao da ying wo?”
Aaron
meletakkan kedua tangannya di bahu Thia, memikirkan sejenak apakah tindakannya
cukup bijaksana, dan akhirnya mengecup bibir Thia. Thia mundur, wajahnya
memerah dan menutup bibirnya dengan punggung tangan kirinya. Wajah Aaron juga
memerah.
Aaron: ”Yin
wei wo ai ni. Suo yi da ying wo ba.” ^^ “Aku akan menunggumu sampe lomba
selesai, dan aku gak akan mencoba macam2 padamu sebelum waktunya, Thia.”
*silent* “Aku akan menunggumu di perpustakaan sampe latihanmu selesai, aku akan
mengantarmu pulang.”
Aaron bergegas
keluar ruangan, meninggalkan Thia yang jantungnya berdebar keras. Dia masih
mengira dia tengah bermimpi. Tapi ternyata.. semua ini kenyataan..
END OF
FLASHBACK
***
No comments:
Post a Comment