XILI’S DIARY
CHAPTER 5
MY EVERYTHING
Sebenarnya aku juga sudah lapar sih, tapi aku tidak begitu memedulikan keadaan perutku. Kalau memang gadis tadi memberikan kami alamat yang benar, berarti sebentar lagi aku akan ketemu Donghae, yeah! Tapi aku tergoda juga dengan usul Aqian membeli makanan, lumayan untuk perjalanan. Aku menyipitkan mataku memandang ke seberang jalan, aku bisa melihat Aqian berbicara dengan seorang pria berpakaian koki yang wajahnya tidak jelas.
“Aqian lama sekali. Apa dia tidak bisa memilih menu makanan?” tanyaku setengah tak sabar.
“Eng…” tanggap Yifang jie di sampingku.
Aku heran mendengar nada suaranya yang begitu lesu, jadi aku menoleh untuk melihat wajahnya. Betapa kagetnya aku, wajahnya terlihat pucat.
“Jie, jiejie tak apa-apakah? Muka jie pucat begitu.”
“Ah, jie tak apa-apa, mei.”
“Sini, backpack-nya aku aja yang bawakan.”
“Tidak, mei sudah capek juga. Lagipula kita sudah tidak jauh.”
“Apa jie yakin kita ke alamat yang tepat? Kalau salah lagi gimana?”
“Entah kenapa, perasaan jie kali ini mengatakan kita ke alamat yang tepat. Lagipula, jie juga merasa gadis tadi orang yang jujur. Jie berharap lain kali bisa bertemu dengannya lagi,” jawab Yifang jie, “tadi menyesal lupa Tanya namanya.”
Ini memang ciri khas Yifang jie, selalu percaya pada orang lain. Tapi Yifang jie jarang gagal sih melihat kepribadian orang dari wajahnya, dan juga, perasaan Yifang jie sering tepat, jadi sekarang akupun merasa sedikit lega mendengar pernyataannya. Lalu Aqian berlarian ke arah kami, kuperhatikan wajahnya memerah.
“Kau kenapa, Aqian? Koq wajahmu merah begitu?”
“Eng… kepanasan,” jawabnya sambil nyengir.
Masuk akal sih. Musim panas di Seoul rupanya lebih panas dari Guangzhou, agak mengherankan. Apalagi mungkin kami sudah gerah, jadi wajar merasa kepanasan. Tapi aku heran melihat Aqian tak memegang bungkusan makanan.
“Mana makanannya?” Yifang jie yang buka suara.
“Restorannya tutup.”
“Yah, sayang. Tapi sudahlah, ayo kita ke apartemen itu saja, cepat. Kita semua sudah lelah, mana kita masih harus acting lagi,” usulku.
“Ah benar! Aqian, kau harus acting dengan benar yah!” hardik Yifang jie.
“Iya, iya, tenang saja, aku ingat,” ujar Aqian, agak sebal diingatkan Yifang jie terus-menerus sepanjang di pesawat tadi.
Kami melanjutkan perjalanan kami, kali ini dengan kecepatan yang semakin berkurang. Kakiku sepertinya sudah menolak untuk berjalan. Tapi kupaksakan berjalan selangkah demi selangkah. Yang lebih kukhawatirkan adalah keadaan Yifang jie. Selama kami berteman, aku tidak pernah melihatnya sakit, tapi mungkin hari ini pengecualian. Perjalanan pesawat pertama untuknya, berlarian, keberatan dengan bawaan, kena marah, tegang, mungkin bisa membuatnya sakit…
“Xili, kesini.”
Aku baru sadar Aqian memanggilku, Yifang jie dan dia tak ada di depanku. Mereka ada di sebelah kananku, tepat di depan sebuah gedung yang tampaknya juga lumayan mewah. Kita sudah sampai!
“Aku lihat di depan meja resepsionis ada seorang ahjussi yang tertidur. Kita harus pelan-pelan, langsung ke lantai tujuh, lewat lift, oke?” atur Yifang jie.
Kami bertiga sekarang mengintip lewat pintu masuk yang terbuka. Benar, di balik meja resepsionis ada seorang paman yang tertidur, tapi aku yakin dia hanya tidur ayam. Yifang jie maju duluan, menarik kedua kopernya, mengendap dan menundukkan badannya. Dia mulai berjalan perlahan, sambil matanya terpancang pada si paman. Setelah setengah perjalanan menuju lorong, dia memberi isyarat lewat tangannya supaya aku dan Aqian maju. Kamipun mengikuti gerak-geriknya untuk ikut maju, aku duluan, disusul Aqian. Aku melihat Yifang jie akhirnya sudah menegakkan badannya setelah sampai di lorong panjang, berbalik dan memberi tanda “OK” dengan jarinya. Aku tersenyum dan membalas isyaratnya. Aku masih memperhatikannya, sekarang menekan dua lift di kanan dan kirinya. Berarti kami tinggal menunggu lift datang dan perjuangan kami usai… hah? Apa itu? Suara keras berderak apa itu dari belakangku? Aku menoleh dengan ngeri, mendapatkan Aqian sedang kesusahan mengurusi kopernya.
“Aqian, kenapa sih?” tanyaku mendesak.
“Rodanya patah,” jawab Aqian setengah berbisik.
Aku sekarang berdiri dan berusaha menarik koper Aqian, dan kami kesusahan.
“Siapa kalian? Kalian tinggal di kamar berapa?” aku mendengar suara si paman yang sudah terbangun.
Mataku terpancang kaku pada si paman. Aku yakin Aqian dan Yifang jie juga kaget. Si paman masih di balik meja resepsionis, memandang kami heran. Aku menarik ujung kaos Aqian, memberinya isyarat kalut. Aqian langsung berbalik, sekarang punggung kami berdua membelakangi lorong, dan kami masih memandangi si paman.
“Eng…” gumamku tak jelas.
Sekarang giliran Aqian yang menyikut tanganku. Aku meliriknya dan melihatnya berjalan mundur dengan sangat perlahan. Aku tau dia ingin aku mengikutinya. Dari belakangku, aku mendengar suara “tit-tit” kalut, sepertinya Yifang jie sedang menekan tombol lift dengan sangat kalut. Aku mulai mundur perlahan.
“Kami… penghuni kamar nomor… 707,” kata Aqian tanpa banyak berpikir.
“Oh, 707… kalian baru pulang? Dari luar negeri?” Tanya si paman sambil tersenyum.
“Iya,” jawab Aqian sambil tersenyum kaku.
“Cepat,” ujar Yifang jie setengah berbisik.
“Kami permisi dulu, ahjussi,” ucapku, ikut tersenyum kaku.
Kami membalikkan badan kami, dan aku melihat Yifang jie menunjuk kedua lift di kanan dan kirinya, menunjuk kalut. Kalau kami masuk ke lift itu, kami akan selamat…
“Tunggu! Kamar 707… tidak mungkin ada penghuni wanitanya! Kalian mau membohongiku, hah! Wanita-wanita muda… aku bukan hanya sekali pernah berjumpa dengan yang seperti kalian ini! Kembali kesini!” teriaknya membahana.
Tanpa melihat apa yang terjadi di belakang kami, aku berlari, masuk ke lift kanan dimana sudah ada Yifang jie disana, tapi lift sudah terlalu penuh untuk kami berdua. Aqian bagaimana?
“Naik lift yang di seberang, langsung ke 707!” teriak Yifang jie dalam bahasa Mandarin.
Aqian langsung masuk ke lift di seberang, dan dia menekan tombol menutup pintu lift jauh lebih cepat dari kami. Yifang jie juga menutup pintu, tepat pada saat kami melihat si paman berlarian ke lift kami. Kami berhasil tepat pada waktunya, dia tidak bisa masuk. Belum merasa lega, Yifang jie menekan angka 7. Lift mulai naik perlahan… lantai 2… lantai 3… lantai 4… lantai 5…
“Jie… kita… nyaris saja,” keluhku dengan nafas tersendat dan jantung berdebar.
“Sekarang, perjuangan kita tinggal sebentar, kecuali si paman lari lewat tangga dan berhasil sampai sebelum kita ke kamarnya KRYSD.”
“Melihat keadaannya sih… harusnya dia tidak lebih cepat dari kita, jie.”
Kami sampai di lantai 7 dan pintu lift terbuka. Aku sempat kaget melihat sosok Aqian yang menunggu kami di depan lift, karena aku masih trauma pada si paman. Wajahnya pucat, dan dalam hati aku bertanya apakah wajahku sama pucatnya dengannya. Yifang jie mendorongku keluar, lalu berjalan ke arah kanan, mengecek nomor.
“Ya, benar, disini 701, 702, berarti kalau kita terus ke arah sini, kita akan sampai ke kamar mereka.”
Kami kembali mengikuti Yifang jie, setengah was-was bahwa si paman bisa saja mengejar di belakang kami. Akhirnya, ini dia. Kamar 707 di hadapan kami. Kami tau, kali ini kami tidak salah alamat lagi. Di tembok sebelah pintu kamar itu, banyak coretan dari para fans. Kami sudah sampai. Dengan jari-jari gemetar, aku menekan belnya.
“Siapa?” Tanya suara pria yang tidak kami kenal.
Kami bertiga bertukar pandang. Itu-bukan-suara-personel-KRYSD, tegasku. Salah lagi? Tapi coretan fans?
“Kami… kami… kami minta tolong.”
Aku sedikit merinding mendengar suara memohon Yifang jie yang sepertinya hasil aktingnya. Terlalu real, permohonan yang bisa membuat orang-orang yang tak tau dia sedang berakting, pasti kalut bukan kepalang. Aku sudah lama tau Yifang jie bisa berakting, tapi belum pernah melihat dia berakting total seperti ini, apalagi dalam keadaan gawat begini. Jantungku nyaris berhenti berdetak ketika pintu mendobrak terbuka, dan wajah seorang pria yang tidak kami kenal sedang memandangi kami.
“Kau kenapa?”
Dia manis. Itu kesan pertamaku saat melihat wajah si pria. Dia pasti tidak lebih tua dari 25 tahun, rambut hitam berponinya terlihat lembut, dan wajah berkulit putihnya memandang kami bergantian, khawatir. Yifang jie terbatuk, dan aku baru ingat kami semua perlu berakting.
“Kami… kami tersasar… dan kami… tidak tau harus kemana,” keluh Aqian, suaranya juga terdengar memelas.
“Tapi ini sudah malam, dan kalian hanya tiga gadis usia sekolah! Kalian mau kemana sebenarnya? Dan kau pucat!”
Si pria menunjuk Yifang jie. Aku kaget ketika Yifang jie sengaja menyandarkan badannya ke tubuhku. Untunglah aku cukup sigap sehingga kami tidak jatuh bersama. Bagian dari acting? Yifang jie benar-benar hebat! Dia harusnya bekerja jadi aktris saja! Sekarang wajah si pria makin cemas, ekspresi yang sepertinya tidak asing.
“Hei! Kalian!” teriak si paman membahana.
Aku terlonjak, berusaha mendorong bangun Yifang jie, tapi reaksinya lemah sekali. Aku sekarang memandang panic pada si paman, begitu juga Aqian, sorot matanya penuh ketakutan. Namun aku merasakan tubuh Yifang jie bergetar, lalu terdengar isakan. Aku kaget sekali, tak tau apa yang sebaiknya kulakukan.
“Ahjussi, jangan khawatir. Mereka… mereka temanku. Salah satunya… pasienku. Ya. Pasienku.”
Aku memandang si pria bingung. Pasien? Ah! Ekspresi cemas itu! Itu ekspresi cemas yang tampak di wajah dokter ketika melihat keadaan pasiennya! Pria muda ini seorang dokter? Wow, keren! Dan yang dia katakan barusan… dia berniat menolong kami? Dan tangisan Yifang jie ini disengaja, supaya dia mengasihani kami?
“Pasienmu, Jungsu?”
“Iya. Maaf kalau mengagetkan ahjussi. Aku akan mengajak mereka masuk.”
Si pria membungkuk sopan. Si paman balas menunduk, dan sambil menggelengkan kepalanya, dia berbalik pergi. Si pria kembali memandangi kami.
“Maaf… kami… benar-benar tidak tau harus kemana… terima kasih… sudah menolong kami,” desah Yifang jie.
Kali ini dia benar-benar membuatku khawatir. Aku setengah tidak yakin dia berakting sekarang.
“Tidak apa-apa. Kalian masuk saja dulu, soalnya…”
Aku merasakan berat tubuh Yifang jie jadi dua kali lipat, dan karena kaget, tubuhnya merosot begitu saja. Matanya terpejam.
“Yifang onnie!!!” teriakku kaget.
“Kyu! Hae! Kesini, cepat!”
Harusnya aku bereaksi ketika mendengar dua nama itu disebut, tapi yang ada di pikiranku sekarang hanyalah keadaan Yifang jie. Apa ini masih bagian dari aktingnya? Tapi wajahnya begitu pucat, bibirnya berubah warna…
“Hyung! Ada apa?” aku mendengar suara kedua, suara yang jernih, berada begitu dekat.
“Bantu angkat dia! Ada yang tidak beres padanya!”
“Baik. Permisi, biarkan aku membawanya ke dalam. Hyung kami bisa memeriksanya.”
Kali ini aku mendongak, dan aku tau aku benar-benar telah bertemu dengannya, sekarang, disini, bukan lagi khayalan, bukan lagi di TV, internet, majalah… Lee Donghae.
You are my everything, nothing your love won't bring
My life is yours alone, the only love I've ever known
Your spirit pulls me through, when nothing else will do
Every night I pray, on bended knee
That you will always be… my everything
Aku masih terpaku melihatnya, ketika mata kami bertemu pandang. Matanya sempat membulat kaget, begitu juga mataku, kupikir. Tapi dia berdeham dan segera mengangkat tubuh Yifang jie, membopongnya. Aku mengikuti naluriku untuk berjalan masuk mengikutinya. Ketika sesosok pria lagi berjalan melewatiku, aku tidak memperhatikannya, bahkan ketika matanyapun sempat terpancang padaku selama satu atau dua menit. Aku melihat Yifang jie dibaringkan di sofa panjang berwarna oranye yang tampak bersih, dan seketika itu aku baru sadar Aqian sudah mengikutiku. Kami berdiri mematung, memandangi sosok Yifang jie. Kalau memang ini hanya acting… jie… bangunlah. Semuanya sudah cukup. Kita sekarang sudah ada di asrama mereka. Aku sudah melihat Donghae. Bangunlah, jie.
“Kyu, ambilkan peralatanku!” perintah pria dokter tadi.
Aku menoleh ketika mendengar suara pintu depan menutup, dan aku melihat juga, sosok Cho Kyuhyun. Dia tampak menjulang tinggi, dan dia telah membawa semua koper kami masuk. Diapun berjalan menghilang ke salah satu ruangan di sebelah ruang tamu ini. Pandanganku kembali kepada Yifang jie. Donghae sekarang sedang melepaskan tas backpack dari punggungnya. Seketika mataku panas, dan tanpa terasa, air mata mulai mengalir dari mataku. Kyuhyun sudah kembali untuk memberikan sekotak peralatan, mungkin peralatan kedokteran, pada si pria dokter.
“Xili…” panggil Aqian.
Aku tidak bisa menghentikan air mataku. Aku khawatir pada keadaan Yifang jie. Aku tidak pernah melihatnya begini. Pria dokter itu mulai mengeluarkan peralatan kedokterannya, memeriksa keadaan Yifang jie. Donghae mendongak menatapku, dan betapa malunya aku menyadari aku masih menangis. Aku berusaha menghapus air mataku sendiri, tapi aku masih setengah terisak. Tanpa aku sadari, Donghae bangkit dan berdiri di depanku.
“Jangan khawatir, Leeteuk hyung akan menyembuhkannya. Dia dokter yang hebat, kau tau,” ujarnya sambil meletakkan tangannya di kedua bahuku.
Aku mendengar bahasa hangul-nya yang lembut, lalu memandang matanya. Sorot matanya lembut dan dia mengangguk, berusaha meyakinkanku. Aku berhenti terisak, berharap aku bisa percaya padanya, untuk kali pertama dalam hidupku, percaya pada Lee Donghae.
Eonni... keren banget FF ini dan aku baru nyadar kerennya XD
ReplyDelete