No Other The Story
Chapter 17
YIFANG’S DIARY
CHAPTER 17
JUST LIKE NOW
Aku memandangi diriku dengan pasrah di depan cermin. Demi hari ini, Manshi sudah bangun jam enam pagi dan mendandaniku, lalu terburu-buru ke kampus bersama Aqian. Mereka berdua hari ini mengikuti ujian masuk gelombang kedua di Inha University. Aku masih tidak terbiasa berdandan, dan Manshi sudah sangat pasrah melihat tampangku yang berantakan setiap hari. Tapi hari ini, sekali lagi, hari yang special, dia tidak akan membiarkanku berantakan.
“Jie… berhentilah merapikan dress-mu. Itu sudah rapi,” keluh Xili.
Hari ini aku pakai baju tank top berwarna putih lengkap dengan rok terusan selutut, lalu Manshi menambahkan salah satu koleksi rompi imutnya yang berwarna putih transparan untuk menutupi lenganku yang masih juga gendut.
“Ini tidak berlebihan ya Cuma untuk pergi mencari apartemen?” tanyaku bego.
“Jelas tidak berlebihan. Bagaimanapun kan jie-jie harus cantik. Sudahlah, berhentilah protes begitu. Harusnya sebentar lagi Ryeowook oppa datang.”
“Itu dia. Jie tegang nih.”
“Jalani saja dengan tenang, jie. Kita harus bersyukur dia sudah memaafkan kita. Rasanya senang ya melihatnya hampir setiap hari datang dan memasakkan makanan untuk kita. Hari ini aku terancam makan mie instant pagi dan malam deh,” kata Xili, “tidak tau Aqian pulang jam berapa dan apa dia masih mau memasak kalau sudah capek.”
“Jangan makan mie instant, pesan saja pizza atau ayam McD.”
“Lihat sajalah nanti. Jie jangan khawatirkan aku, yang penting jie senang-senang saja hari ini.”
“Kami Cuma cari apartemen, bukan kencan, mei.”
“Sama sajalah. Jie… mudah-mudahan jie menemukan apartemen yang lumayan yah. Meskipun apartemen Manshi sudah bersih, tetap saja… aku merasa apartemennya agak gelap. Aku kalau pulang malam pasti merinding lewat lorong-lorong di apartemen ini,” keluh Xili.
Aku paham apa yang dimaksud Xili. Memang apartemen ini terlalu gelap. Jangan-jangan memang ada penunggunya di lorong-lorong sana. Hiiiiiiiiiiii… Ketika suasana sunyi senyap, bel yang berbunyi membuatku dan Xili terlonjak.
“Mei, kau yang buka pintunya!”
Xili geleng-geleng kepala dan beranjak ke pintu. Aku masih tak berani menoleh ketika pintu dibuka. Aku berlebihan sekali!!!
“Eh? Ryeowook oppa dan… Donghae oppa?”
Kali ini aku menoleh dan benar-benar melihat Hae! Ya ampun, itu Hae! Aku sudah lama sekali tidak melihatnya… semenjak aku ribut dengan Yesungie oppa. Tiap mengingat Yesungie oppa, rasanya hatiku perih.
“Err… Xili. Aku boleh masuk?” tanyanya, terdengar ragu.
“Boleh saja. Silakan.”
Keduanya duduk di sampingku, sedangkan Xili menatapku bingung. Wookie yang duduk di sebelahku, membuatku berdebar-debar.
“Yifang, aku… mianhae. Aku sama sekali tidak bisa membelamu waktu kau diusir Yesung hyung. Lalu aku baru bisa menemuimu sekarang.”
“Ani!! Harusnya aku yang minta maaf karena membuat semuanya kena marah. Semuanya karena ide isengku,” sesalku.
“Gwaenchana. Kami kan sudah bilang kau tidak perlu minta maaf lagi, Yifang,” kata Wookie.
“Aku… boleh datang ke apartemen kalian kapan saja, kan?” Tanya Hae.
“Tentu saja, Hae. Gomawo untuk… menerima kami lagi,” jawabku sambil tersenyum.
Hae tersenyum juga, tampak sangat manis. Wookie menepuk bahu kami berdua.
“Nah, begini kan enak juga,” ucapnya senang.
“Kalian hari ini mau mencari apartemen ya?” Tanya Hae.
“Ya. Kau mau menemani kami?” tanyaku setengah berharap, setengah tidak berharap.
“Oh, ani… aku… mau mengajak Xili jalan, kalau boleh?”
Aku memandangi Hae lalu memandangi Xili bergantian. Cuma jalan, kan? Aku tau sebenarnya Xili pasti senang sekali diajak jalan oleh Hae, tapi kalau boleh jujur, aku lihat Xili sama sekali belum siap untuk hubungan yang lebih jauh. Xili masih kecil, dan aku disini untuk menjaganya. Apa kata orangtua Xili kalau tau anak mereka malah datang ke Seoul untuk pacaran dengan artis? Kurasa kami akan sama-sama kena marah.
“Kau ini aneh sekali, Hae, rasanya aku jadi omma-nya Xili. Boleh saja koq, daripada Xili hari ini terancam makan mie instant, kalian bisa makan di luar.”
“Gomawo, Yifang.”
“Sana, Xili, apa yang kau tunggu? Kau mau pergi dengan memakai baju rumah begitu?”
Xili terlonjak dan buru-buru berlari ke lemari untuk mengambil bajunya. Kami menunggu Xili bersiap-siap dalam diam, dan 15 menit kemudian kami sudah di luar apartemen.
“Err… kami duluan, Yifang, Wookie.”
Aku melihatnya membawa Xili masuk ke mobil mini van berwarna hitam dan mereka pergi.
“Mobil siapa itu?”
“Mobil Zhoumi hyung yang dikasih perusahaan. Itu sih digunakan untuk transportasi kami. Zhoumi hyung hari ini bakal di perusahaan seharian, jadi setelah kami mengantarnya tadi dia meminjamkan mobil pada kami,” jawab Wookie, “tapi kupikir Donghae hyung lebih membutuhkannya dari kita, jadi aku biarkan dia yang bawa. Kau tidak keberatan kan, kalau kita naik bus, Yifang?”
“Ani… tapi mereka mau kemana?”
Melihatku yang khawatir, Wookie malah tersenyum, “ke pantai sepertinya. Jangan khawatir, Donghae hyung bukan orang yang sembarangan koq.”
“Apa Hae suka sama Xili?”
“Hmm… entahlah, tapi mungkin saja dia tertarik. Dia sudah tidak pernah pergi berdua dengan gadis selama setahun terakhir.”
Wow… itu dia. Bagaimana ini? Tentunya Xili akan senang kalau memang bisa bersama dengan Hae, tapi… orangtuanya tidak akan setuju, kan? Dan apa peranku disini? Sebagai wali Xili, atau sebagai jie-jie yang merestuinya? Aku mengikuti Wookie yang berjalan menuju bus stop terdekat, lalu melihatnya memakai kacamata dengan gagang super tebal berwarna pink. PINK?
“Wookie, kacamata itu…”
“Oh, kau jangan salah sangka. Ini hanya untuk keperluan penyamaran. Aku tidak akan suka kacamata berwarna pink. Ini punya Sungminnie hyung.”
Aku tertawa, “kau membuatku kaget. Kukira kau sekarang juga suka warna pink.”
Dia ikutan tertawa.
“Dress-mu bagus. Manshi mendandanimu lagi, ya?”
“Ketahuan ya? Kalau aku sendirian pasti tidak bisa berdandan, pasti jelek.”
“Tidak juga koq. Yifang yang biasa saja juga kelihatan manis.”
Aku yakin wajahku sekarang sudah semerah tomat.
“Bukannya hari ini penampilanku berlebihan, ya?”
“Ani.”
Wookie menggandengku dan membantuku naik ke bus. Ya ampun, aku pasti masih setengah bermimpi duduk berdua dengan Wookie seperti ini. Andaikan orang-orang tau, pria yang duduk di sampingku ini Wookie, pasti aku bangga sekali. Eh, salah sih, kalau mereka tau, aku pasti bakal dipandang sinis. Aku mana pantas dengan Wookie yang manis, penyanyi terkenal seperti ini. Mimpi apa aku.
“Oh ya, rencana kita dari mengunjungi dua alamat apartemen berubah jadi tiga. Tadi pagi Donghae hyung menemukan beberapa alamat baru. Setelah kuteliti, tiga alamat ini berdekatan, jadi langsung kita coba saja ketiga-tiganya,” ucap Wookie, “tapi kalau kau capek kau harus kasih tau aku ya.”
Aku mengangguk. Setelah duduk cukup lama di bus, rasanya setengah jam berlalu, kami akhirnya turun dan mencoba apartemen pertama. Dari luar sih penampilannya masih oke, tapi ternyata di dalamnya… apartemennya gelap dan suram, sama saja seperti apartemen Manshi di bagian lorong-lorongnya itu. Aku menggeleng. Dan apartemen kedua, kami berjalan maju beberapa blok, dan mata kami terbelalak begitu melihat penampilan apartemen itu.
“Kurasa kita tak perlu masuk,” ujar Wookie, terpana.
“Aku setuju. Kita ke alamat ketiga saja,” tukasku.
“Ani. Kita pergi makan siang dulu di sekitar sini yuk.”
Beberapa menit kemudian kami terdampar di sebuah resto Jepang dan asyik makan sushi.
“Padahal aku yang cari alamat apartemen itu. Di internet tidak sebobrok itu koq fotonya.”
“Ya, namanya juga foto, Wookie, pastilah mereka memasang foto beberapa tahun yang lalu waktu apartemen itu baru dipugar.”
“Salah. Mungkin itu foto waktu apartemennya baru jadi.”
Kami berdua tertawa, lalu melanjutkan makan kami. Aha, sushi guritanya masih tersisa satu! Tep! Eits… sumpit kami berdua sama-sama menancap di sushi itu.
“Punyaku. Aku duluan.”
“Ani. Punyaku. Aku paling suka sushi gurita.”
“Ani. Itu masih ada sushi udang, kau ambil yang itu saja. Yang ini untukku,” protes Wookie.
“Ani… pokoknya ini punyaku! Kenapa bukan kau saja yang makan sushi udangnya?”
Rupanya Wookie cukup gesit, karena waktu aku menarik sushi-nya, dia juga menariknya. Sejak dulu ada yang bilang cara pakai sumpitku salah sehingga sering menjatuhkan makanan, dan ternyata memang benar. Wookie jauh lebih kuat menarik sushi itu, dan alhasil, dia berhasil menarik lepas sushi itu dari jepitan sumpitku.
“Ucapkan selamat tinggal pada sushi gurita, Yifang.”
“Yaaaaaa~ Kim Ryeowook!!! Kembalikan sushi-ku!”
Wookie malah tertawa, malah tampak semakin imut. Tapi sushi-ku… T.T Dia mengarahkan sushi itu ke wajahku.
“Nah. Aaaaaaa…”
Wow, Wookie baik sekali. Aku membuka mulutku lebar-lebar… hap! Dan dalam sedetik, dia memutar haluan sumpitnya dan menelan sushi gurita itu bulat-bulat, ke dalam MULUTNYA!
“KIM RYEOWOOK!” teriakku gemas.
“Kalau kau teriak-teriak begitu sekali lagi, kita akan dikerumuni fans loh.”
“Emangnya aku peduli. Yang dikerumuni kan kau, bukan aku.”
“Dan kau akan masuk ke majalah gossip karena jalan denganku, lalu diburu fansku yang cemburu…”
“Ara… ara… kau menang.”
Aku manyun dan menyantap sisa sushi udangnya. Wookie tertawa, dan aku suka mendengar suara tawanya.
“Tenang saja. Lain kali aku buatkan kau sushi. Sushi disini tentu kalah enak dibanding sushi buatanku.”
“Oh ya? Kalau buatannya Geng oppa?”
“Hangeng hyung tidak bisa membuat sushi. Dia lemah kalau memasak makanan Jepang, hahaha,” katanya bangga.
“Oh, ternyata begitu… tapi kau janji yah. Kau harus buatkan aku banyak sushi gurita!”
“Aku janji.”
Dia menyilangkan sumpitnya. Aku tertawa. Dengan perut kenyang (sushi-nya dia yang traktir), kami menuju alamat ketiga yang ada di seberang jalan, lalu agak masuk ke lorong yang sempit. Dan tampaklah gedung itu di hadapan kami.
“Tidak sebobrok yang tadi sih. Setidaknya temboknya tidak kelihatan retak-retak,” ucap Wookie, menyampaikan opininya.
“Ayolah kita coba.”
Kami masuk dan menemui seorang halmoni yang sudah sangat tua, yang punya apartemen.
“Kalian mau melihat apartemennya? Boleh saja. Ayo ikuti aku,” ujarnya dengan nada misterius.
Kami mengikuti halmoni itu berjalan dengan langkah hati-hati.
“Halmoni-nya seram.”
“Rupanya bukan Cuma aku yang berpikiran begitu. Aku jadi merinding nih.”
“Sama saja. Kalau bisa kita keluar dari sini.”
Lorong-lorong di apartemen ini sempit sekali, dan terkadang hidungku mencium bau lumut. Sepertinya aku tidak akan tinggal di apartemen ini. Si halmoni membuka salah satu pintu apartemen nomor 204. Gelap gulita.
“Silakan kalian melihat-lihat. Kalau tertarik, nanti kita bicarakan harganya. Aku menunggu kalian di bawah.”
Si halmoni meninggalkan kami. Wookie meraba-raba dinding dan menemukan lampunya. Meski lampu sudah dibuka, tetap saja ruangannya agak gelap.
“Lebih luas dari apartemen Manshi sih, dan ada satu ruangan disini yang bisa kalian jadikan kamar, jadi kalau kalian tinggal bertiga, satu ranjang bisa diletakkan di luar dan satu lagi di dalam,” kata Wookie yang memeriksa bagian dalam ruangan.
“Apa menurutmu kami bisa tinggal disini?”
“Ya, keputusan di tanganmu.”
Aku mendesahkan nafasku. Bagaimanapun, kami tidak bisa lagi tinggal di tempat Manshi. Kami mau tidak mau, sekarang atau nanti, harus pindah.
“Baiklah, ayo kita Tanya harganya.”
Dan pada saat itu, aku merasakan sesuatu yang merayapi kakiku dengan cepat. Aku menunduk dan melihat serangga yang paling kubenci di dunia ini.
“Andwae!!! Kecoa!!!”
Aku mengibaskan tanganku panic, si kecoa jatuh, dan aku berhamburan menuju Wookie. Jantungku masih tidak normal waktu aku memeluk Wookie.
“Kecoa? Mana? Mana?” Tanya Wookie.
Aku masih ketakutan ketika menunjuk si kecoa yang menempel di daun pintu. Wookie melepas sepatunya dan berjalan mantap menuju si kecoa… dan si kecoa yang tau bahaya malah terbang ke arahku.
“Gyaaaaaaaaaaa!”
Aku menunduk tepat pada waktunya, si kecoa sekarang entah kemana. Wookie mengejarnya dengan semangat tinggi dan beberapa detik kemudian aku mendengar bunyi: plok!
“Beres. Dia sudah mati. Nah, aku mau ke toilet dulu bersih-bersih.”
Aku masih merasa sakit jantung ketika Wookie keluar dari toilet dengan sedikit terengah.
“Mworago?”
“Lebih baik kau tidak tinggal disini. Ayo sekarang kita keluar.”
Wookie menarik tanganku keluar apartemen dan sekarang kami menuruni tangga.
“Waeyo?” tanyaku heran.
“Kecoanya banyak sekali di toilet. Kau tidak akan tahan.”
“Dan kau terengah gara-gara kecoa itu? Bukannya tadi kau berani bunuh?”
“Ya kalau Cuma satu sih tidak apa-apa, tapi itu banyak sekali.”
Wajah kami sekarang sama-sama pucat. Ketika kami menuruni tangga, kami kaget gara-gara si halmoni berdiri tepat di kaki tangga. Sosoknya gelap.
“Gyaaaaaaaaa!!!”
“Kalian jadi kan tinggal disini?” tanyanya, nadanya masih misterius.
“A… ani… tidak jadi.”
“Tapi kalian harus tinggal disini, karena kalian sudah melihat tempatnya. Dengar? Harus.”
Nadanya mengancam dan membuatku merinding.
“Yifang, dengarkan aku. Pada hitungan ketiga. Hana… dul… set!” hitung Wookie.
Kami berdua berlari tunggang-langgang keluar apartemen, dan masih tidak berhenti entah setelah sejauh apa berlari. Ketika berhenti, langit dengan cepat sudah berubah keunguan, dan kami sama-sama terengah-engah.
“Jelas aku tidak akan tinggal disana.”
“Tentu saja. Horror sekali. Eh, Yifang… kau tunggu aku sebentar disini.”
“Mwo? Kau mau kemana?”
Tanganku otomatis menarik tangan Wookie, menariknya erat. Wookie menoleh dan tersenyum.
“Tenang saja, aku tak akan meninggalkanmu. Tunggu aku sebentar saja.”
Aku heran melihatnya berbalik ke belakang, apa sepatunya ketinggalan? Tapi sepatunya lengkap itu. Aku tidak memperhatikannya lagi, aku hanya berusaha mengatur nafas dan membersihkan keringatku dengan tissue dalam tas miniku.
“Nih,” aku menoleh ketika melihat es krim disodorkan padaku dari balik bahuku.
Wookie, membawa dua buah es krim, dia tengah menjilati satu di tangan kanannya, sedangkan yang di tangan kirinya dia berikan padaku. Aku tersenyum dan mengambil es krim itu.
“Gomawo.”
“Ngomong-ngomong hari ini usaha kita gagal.”
“Iya yah… sayang sekali.”
“Tapi kita masih bisa berusaha lain kali. Aku masih bisa menemanimu pada jadwal kosongku koq. Mungkin minggu depan begitu.”
“Geuraeyo? Gomawo, Wookie ah~”
Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kau tidak kuliah juga seperti yang lainnya, Yifang?”
“Aku memang datang ke Seoul bukan untuk kuliah koq,” jawabku sambil menjilati es krim.
Kami sama-sama berjalan menuju bus stop.
“Tapi tak ada salahnya kalau kau kuliah juga. Sayang loh kau masih muda tapi tidak kuliah.”
“Aku tidak tau mau kuliah apa, dan juga tes gelombang kedua sudah berlalu, kan? Sudah terlambat untukku.”
“Tidak juga. Kalau kau memang mau kuliah, kita bisa minta tolong Siwonnie hyung membantu supaya kau ikut tes susulan. Dia bisa melakukan apapun kalau memang dia mau. Urusan minta tolong seperti itu sih Cuma masalah kecil untuknya,” ucap Wookie.
“Wah, Siwonnie oppa hebat dong. Tapi… kuliah apa ya? Aku tidak tau…”
“Piano sepertiku?”
“Ani… aku tidak pernah belajar piano sebelumnya, pasti kacau sekali.”
“Acting? Soalnya kulihat kau punya banyak ekspresi.”
Kami menaiki bus yang akan menuju apartemen Manshi.
“Apa kau pikir gadis segendut aku bisa jadi artis?”
“Yang penting bakat lho. Kalau aktingmu bagus, kenapa tidak? Lagipula tidak ada yang bilang kau gendut koq. Aku tidak menganggapmu begitu.”
Aku memandangi wajah Wookie yang tersenyum. Dia baik sekali. Dia membuatku tersentuh, dan membuatku makin jatuh cinta padanya.
“Besok aku akan menemui Siwonnie hyung. Aku yakin dia akan membantu,” ujar Wookie.
“Gomawo… Wookie.”
그대만 바라볼 수 있도록
So much that I can see only you
그대만 사랑할 수 있도록
So much that I can love only you
내 맘이 오직 너에게 오직 널 향해
Only you can make my heart
뛰고 있는걸 숨을 쉬는걸
Running toward you, breathing because of you
나를 바라본다면 그대만 나를 사랑한다면
When you look at me, when you love me
이 세상 무엇과도 널 바꿀 수 없어
I can’t give you for anything in this world
지금 이렇게 내 품에 있어줘
Now stay in my embrace like this
Aku tidak akan melupakan hari ini seumur hidupku. Walau apapun yang akan terjadi di masa mendatang, seperti apa hubunganku dengan Yesungie oppa, yang sebenarnya… sangat kusesalkan… aku memiliki Wookie. Wookie pasti akan selalu menemaniku. Dengan adanya dia, dengan senyumnya yang membuat hidupku lebih ceria, aku akan menghargainya, aku akan menjaganya. Gomawo, Wookie-ah… aku benar-benar menyukaimu.
Meskipun malam itu, ketika kami sampai ke apartemen Manshi; Manshi, Aqian, Xili dan Hae sudah ada di apartemen, mereka tengah makan malam, dengan menu yang dimasakkan Hae; aku juga tidak akan melupakan Hae yang tertawa hingga air matanya menetes. Dia memang ingin mengerjai kami dengan memilih alamat apartemen yang itu. Dia sudah tau apartemen itu angker dan ingin kami coba kesana. Rasanya aku ingin membunuhnya, tapi aku Cuma bisa menimpuk wajahnya dengan bantal. Syukurlah Wookie membalaskan dendamku dengan menggelitikinya habis-habisan dengan Manshi membantu memegangi kedua tangannya supaya tidak berontak. Aku… jelas tidak akan melupakan semuanya.
No comments:
Post a Comment