No Other The Story
Chapter 19
XILI’S DIARY
CHAPTER 19
BEAUTY
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke kampus yang begini besar dan elite. Aku, Yifang jie, Manshi dan Aqian sama-sama berdiri mematung di gerbang kampus. Areal parkir yang ada di sebelah kanan gerbang kampus nyaris penuh oleh mobil-mobil mewah. Mahasiswanya semuanya keren dan modis.
“Kampus atau tempat fashion show ini,” keluh Manshi.
Padahal Manshi sudah cukup modis. Kalau aku dan Yifang jie? Kami mungkin akan jadi bahan tertawaan.
“Sudahlah, meratap disini tak ada gunanya. Yuk masuk ke dalam,” ajak Aqian pede.
“Benar juga sih. Tapi kurasa kita pisah jalan semuanya?” tanyaku mengingat kami terpisah dalam tiga fakultas berbeda.
“Ah, gedung fakultasmu itu yang paling depan, jalan lurus tak jauh lagi kau sampai. Gedung kami agak ke belakang di sebelah kiri, dan gedung piano yang paling belakang. Kau bisa cukup olahraga, Aqian,” ledek Manshi.
“Aigo… sudahlah. Yuk ah. Sampai ketemu lagi nanti di apartemen,” kata Aqian, berjalan meninggalkan kami.
“Semoga sukses.”
Manshi dan Yifang jie yang daritadi tidak berkata-kata meninggalkanku sendirian. SENDIRIAN! Aku mungkin jadi terlalu manja karena kemana-mana selalu ditemani minimal salah satu dari mereka, atau kadang Donghae oppa, atau Ryeowook oppa yang baik hati, tapi sekarang aku sendirian. SENDIRIAN! Bagaimana ini? Ini di Negara orang!
“Huang Xili!!! Kenapa kau bengong begitu?”
Aku menoleh kaget ketika merasakan tepukan di bahuku. Aku mengerutkan wajahku sesaat ketika melihat wajah pria yang putih mulus menggemaskan dengan senyumnya yang makin membuatnya imut. Ah, aku baru ingat dia siapa. Henry Lau, teman Donghae oppa dan yang lainnya, dan dia tinggal satu apartemen dengan Shindong oppa.
“Ah, kau, Henry. Mengagetkanku saja,” protesku.
“Kau sih ngapain bengong disini. Tidak ingat jalan? Ayo kita bareng. Aku sih berharap aku sekelas denganmu. Aku tak punya teman disini,” katanya panjang.
Sebelum aku sempat bicara, dia sudah menarik tanganku. Tapi setidaknya aku lega. Aku lupa aku punya dia, punya teman. Tapi aku risih karena semua orang jadi memandangi kami. Kenapa, coba? Ah… mungkin gara-gara si Henry ini imut? Memang sih, kulit putihnya membuatnya terlihat seperti mochi. Membuatku iri.
“Bagus sekali, kita memang satu kelas. Dan semua mahasiswa kelas kita berkumpul di ruangan 709. Ayolah, jalannya yang cepat sedikit, Xili.”
Kami memasuki gedung Bahasa dan Sastra Korea, dimana sepanjang jalan kami bertemu banyak mahasiswa. Aku jadi berpikir ada berapa ribu mahasiswa disini. Kami naik lift yang nyaris penuh menuju lantai tujuh, lalu aku mengikuti Henry yang hanya tinggi sekepala dariku menuju ruangan 709. Rupanya ruangan itu juga sudah nyaris penuh.
“Ng… duduk disana saja.”
Aku jadi tampak seperti penguntit Henry kalau begini. Dia memilih meja untuk bertiga dimana di ujung meja itu sudah duduk seorang gadis berambut panjang sepinggang, rambutnya sangat lurus dan hitam. Henry mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahnya, jadi aku duduk di antara si gadis dan dia. Si gadis menoleh begitu kami sudah duduk.
“Hai. Disini tidak ada orang, kan?” Tanya Henry dengan nada sangat santai.
“Ani,” jawabnya singkat.
Kesan pertamaku: aigo, gadis ini cool sekali. Melihat gaya berpakaiannya yang Cuma kaos dan jeans, sepertinya dia tidak peduli apakah ini kampus elit atau bukan. Tapi itu membuatku menyukainya, toh aku juga pakai kaos dan jeans.
“Aku Henry Lau, ini Huang Xili. Salam kenal.”
Dasar si Henry sok akrab. Memangnya si gadis cool ini akan memperhatikannya?
“Aku Lin Suxuan.”
Aku membelalakkan mataku.
“Kau Chinesse?” tanyaku heran, tidak menyangka di balik wajahnya yang terlihat Korea itu ternyata dia sama sepertiku.
“Ne. samalah seperti kalian.”
Pasti pertemuan kami juga termasuk jodoh. Acara pagi itu adalah berkenalan dengan wali kelas kami, lalu setiap dua orang diberikan satu kakak tingkat sebagai pembimbing hingga kami lulus. Dan yang membuatku semakin yakin kami berjodoh, aku dan Suxuan mendapat sunbae yang sama. Henry terpisah.
“Curang sekali kalian, jadi menyisihkan aku,” keluhnya sepanjang perjalanan kami menuju kantin.
“Sudahlah. Dengan demikian kan kau dapat teman baru juga, teman yang bersama-sama denganmu dapat satu sunbae itu,” ujarku sambil tertawa.
Suxuan mendengus, ikut tertawa. Rupanya Suxuan di kampus ini juga sendirian, jadi kami bertiga tiba-tiba cepat akrab.
“Lagipula kan bukan salah kami kau terpisah.”
“Sudahlah, jangan tertawakan aku lagi,” protesnya sambil mencibir.
Akhirnya kami masuk ke kantin. Aku ternganga melihat ukuran kantin yang segitu luasnya, apalagi kantin ini hingga lantai empat dan dilengkapi escalator. Makanan apa saja ada disini, bisa kulihat dari kejauhan nama-nama counternya. Tapi masalahnya, kantinnya penuh sekali.
“Aigo… aku sudah lapar. Kalian tunggu sebentar disini, aku lihat apa di atas ada tempat. Nanti aku telepon.”
Kami melihat punggung Henry menghilang dalam kerumunan mahasiswa yang lebih tinggi darinya.
“Dia ada gunanya juga,” ucap Suxuan tepat sasaran.
Aku tertawa keras. Tak lama kemudian aku merasakan ponselku bergetar. Nama dan wajah Henry muncul di layarnya. Aku baru menyimpan foto dan nomornya tadi pagi sih. Kami bertiga bertukar nomor kontak.
“Yoboseyo. Lantai satu ujung? Bawa makanan kesana? Arasso,” ujarku, memutus sambungan telepon.
“Sudah ketemu tempatnya?”
“Ne. katanya dia menjagakannya dulu untuk kita. Dia bilang kita bisa bawa makanan kita kesana.”
Suxuan mengangguk. Kami berdua sama-sama menuju counter fast food yang antriannya panjang, tapi jenis makanannya luar biasa banyak. Di ujung antrian, aku melihat punggung sosok yang sangat kukenal.
“Manshi?”
Manshi menoleh setelah kutepuk bahunya.
“Oi, kau, Xili. Makan juga? Ini di depanku ada yang lainnya, juga ada Kibum oppa,” katanya, menepuk bahu Yifang jie yang ada di depannya.
Seketika Yifang jie, di depannya Aqian, dan di depannya lagi ada Kibum oppa, semuanya menoleh dan menyapaku.
“Whoa, kita semua bisa ketemu disini. Kalian sudah dapat tempat duduk memangnya?”
“Belum. Tapi kami lapar, jadi kami kepingin ambil makanan,” jawab Yifang jie.
“Ada tempat di belakang. Henry menjagakan untuk kami. Mudah-mudahan muat untuk semuanya.”
“Aih… kau sekelas sama Henry ya?” Tanya Kibum oppa, sudah sampai gilirannya untuk memilih makanan.
“Ne. oh ya, ini aku kenalkan teman baruku, Lin Suxuan. Suxuan, ini teman apartemenku, Cai Manshi, Mai Yifang dan Qian Meifen, dan yang itu teman kami, Kim Kibum oppa.”
“Hai,” sapa Manshi.
Dan mata Suxuan membulat, jarinya menunjuk wajah Kibum oppa, mulutnya juga membulat membentuk huruf O.
“Ne. dia memang actor terkenal itu.”
Kibum oppa tersenyum, membuatnya terlihat manis. Kami mempercepat langkah kami mengambil makanan apapun yang menurut kami muat dalam perut kami (Manshi mengambil lima lauk sekaligus, kalau Yifang jie mengambil kue kecil yang kelihatannya sangat enak) lalu kami berjalan ke arah belakang kantin, mencari Henry.
“Aku disini,” Henry melambai di sudut ruangan.
Kami menghampirinya, yang ternyata di meja itu ada Sepuluh kursi kosong. Beruntung sekali, semuanya bisa duduk.
“Halo Henry,” sapa Aqian.
Henry tersenyum pada Aqian, tapi matanya melirik Yifang jie, dan mata itu langsung berbinar.
“Aih… Yifang noona! Duduk disini!”
Henry menarik salah satu kursi untuk ditempati Yifang jie, dan dia langsung duduk di sebelahnya. Aku mendengus. Henry sudah begitu semenjak dia bertemu Yifang jie di acara panjat gunung. Kurasa dia tertarik pada Yifang jie. Tertarik pada gadis yang lebih tua darinya. Gila. Henry duduk di paling ujung, Yifang jie di sampingnya, Aqian di samping satunya Yifang jie, lalu Manshi dan Kibum oppa di ujung lainnya meja. Sudah jelas aku dan Suxuan harus duduk di seberang mereka. Aku duduk di seberang Yifang jie, sedangkan Suxuan di seberang Henry.
“Sekarang giliranku mengambil makanan. Aku lapar…”
Yifang jie menyodorkan sebatang sosis ke mulut Henry, “mau?”
Henry melahapnya dengan penuh rasa syukur. Hubungan mereka aneh. Kenapa juga Yifang jie suka main-main dengannya?
“Oiiii! Kyuhyun hyung! Duduk sini!”
Aku menoleh dan melihat sosok Kyuhyun oppa yang tadinya kebingungan dan ketika melihat kami, malah berbalik menjauh. Henry melompati meja makan dengan lincah, tidak menyentuhku ataupun menyentuh Suxuan, dan merangkul leher Kyuhyun oppa.
“Kyuhyun oppa juga kuliah disini?” tanyaku heran.
“Ne. dia jurusan science, juga baru masuk koq,” jawab Kibum oppa.
“Mau kemana, hyung? Sudah tidak ada tempat duduk lagi lho,” aku mendengar suara Henry.
“Aku tidak mau…”
“Duduk dengan kami sajalah.”
Henry sudah menyeret Kyuhyun oppa duduk di sebelahku, sementara Henry, tangannya masih merangkul lehernya, duduk di kursi satunya. Suasana hening karena disebabkan banyak hal. Pertama, kalau tidak salah Kyuhyun oppa masih marah pada kami soal kejadian yang lama itu, dan kedua, Suxuan bisa kena serangan jantung karena dia bertemu satu lagi artis hari ini.
“Jangan bilang hyung masih marah dengan Yifang noona.”
Kyuhyun oppa diam, tapi melotot pada Henry. Henry cuek, malah mengambil kentang goreng di piringnya dan mengunyahnya.
“Kyu ah~ jangan keras kepala seperti hyungku,” hardik Kibum oppa santai.
“Ne, Kibum hyung benar. Ayolah, lupakan saja. Itu kejadian lama.”
Kyuhyun oppa mendesahkan nafasnya panjang, lalu memandangi Yifang jie. Yifang jie seketika kaget, matanya memancarkan sinar ketakutan.
“Kau… pertama kali kita bertemu itu… apakah kau benar-benar pingsan?” tanyanya, jelas pada Yifang jie.
“Mwo? A… aku memang pingsan waktu itu. Memangnya kenapa?” Yifang jie balik bertanya.
“Oh. Ya sudah.”
Kami semua saling berpandangan bingung.
“Ah… jangan bilang kau membenci Yifang karena mengira dia pingsan itu hanya acting,” tebak Kibum oppa.
Kyuhyun oppa diam saja. Diam yang berarti… iya, kan?
“Aigo, hyung!!! Hyung ini aneh sekali!” seru Henry heboh, tertawa keras.
Kami semua ikut tertawa, tapi tak ada yang tawanya sekeras Henry, malahan Henry menjatuhkan kepalanya ke meja.
“Kau sih boleh tertawa begitu, Henry, tapi kan aku juga ikut kaget melihat orang pingsan begitu,” tukas Kyuhyun oppa dingin.
“Ne… mianhae. Aku tidak akan tertawa lagi.”
“Ngomong-ngomong, kalau kau terus mengambil kentangku, kau yang akan kugoreng, dan kalau tanganmu masih di leherku begini, aku tidak bisa makan.”
“Aih… mianhae. Aku sekarang pergi mengambil makan siangku sendiri.”
Kami semua memandangi Henry yang pergi dengan tatapan heran. Orang seperti itu… memangnya benar-benar hidup di dunia ini?
“Dasar si berisik Henry,” kutukku.
Kyuhyun oppa, untuk pertama kalinya, tersenyum. Syukurlah, aku lega melihat senyum itu.
“Kalian sudah dapat sunbae pembimbing?” Tanya Manshi, mulai makan.
“Sudah. Aku dan Suxuan dapat yang sama, Henry tersisih. Sepanjang jalan tadi dia terus mengeluh. Oh ya ngomong-ngomong, Kyuhyun oppa, kenalkan ini teman sekelasku, Lin Suxuan. Suxuan, ini Cho Kyuhyun… kurasa kau sudah kenal?” tanyaku.
Suxuan mengangguk-angguk dan kelihatan bingung waktu menyambut uluran tangan Kyuhyun oppa.
“Manshi dan Yifang malah kebetulan jadi adik bimbinganku. Beruntung sekali mereka,” kata Kibum oppa.
“Whoa, asyik sekali. Aku tidak kenal sunbae-ku.”
“Aku dapat Sungmin oppa,” ucap Aqian, tersenyum penuh kemenangan.
“Asyiknya… aku jadi iri.”
“Eh, Kyu, kau belum pergi? Bukannya hari ini kalian berangkat?” Tanya Kibum oppa pada Kyuhyun oppa.
“Jam empat berangkatnya. Aku sengaja mau menghadiri hari pertama kuliahku dulu, jadi aku tau kondisi disini,” jawab Kyuhyun oppa.
“Kau memang rajin, daebak!”
Aku jadi sibuk berpikir. Untuk tiga minggu kami tidak akan bertemu KRYSD. Aku tidak akan bertemu Donghae oppa, Yifang jie juga tidak akan bertemu Ryeowook oppa. Aku agak kehilangan mereka, soalnya mereka sering mampir ke apartemen untuk memasakkan makanan, tapi sekarang kami terpaksa mengandalkan Aqian, atau tidak, membeli makanan dari luar.
Aku pulang ke apartemen bersama Kyuhyun oppa. Kebetulan jadwal kuliahnya hari ini sudah selesai. Manshi, Aqian dan Yifang jie langsung ke tempat kerja mereka masing-masing.
“Err… tidak perlu mengantarku koq, oppa,” kataku merasa tak enak.
Kyuhyun oppa bahkan mengantarku sampai ke depan pintu.
“Gwaenchana. Baik-baik yah. Kalau ada apa-apa… kau bisa mencari Kibum hyung atau Leeteuk hyung. Walau mereka jarang di apartemen, kau sudah ada nomor mereka?”
“Ng… aku punya nomor Henry, Leeteuk oppa, Donghae oppa dan Ryeowook oppa.”
“Simpan juga nomorku, kalau-kalau kau butuh.”
Dia meminta ponselku, dan aku memberikannya padanya. Dia mengetikkan nomornya di dalam sana.
“Nah. Sampai ketemu… tiga minggu lagi.”
Aku melambai padanya.
“Ng… oppa!” Kyuhyun oppa menoleh, “semoga sukses.”
Dia tersenyum dan membalas lambaianku, lalu menghilang ke dalam lift. Aku akan merindukan mereka. Aku masuk ke dalam apartemen baruku, apartemen yang persis sama seperti apartemen KRYSD, membuatku dejavu serasa tinggal bersama mereka lagi. Kamar yang paling depan yang letaknya sama seperti kamar Leeteuk oppa dan Donghae oppa ditempati Yifang jie; sedangkan di seberangnya yang kalau di atas kamarnya Yesung oppa dan Ryeowook oppa ditempati Manshi; yang di dalam yang sama dengan kamarnya Zhoumi oppa dan Kibum oppa ditempati Aqian; sedangkan aku dapat kamar paling belakang, yang sama dengan kamarnya Kyuhyun oppa dan Sungmin oppa, yang berseberangan dengan dapur. Tidak apa sih meski kamarnya di dalam, soalnya kamarkulah satu-satunya yang memiliki jendela. Apartemen kami tadinya tidak banyak isinya. Kami mengambil tivi Manshi yang kami letakkan di ruang tamu. Tapi kemudian semakin hari barang kami semakin banyak. Ada satu set sofa sederhana berwarna pink tua yang dibelikan Leeteuk oppa; ranjangku, Aqian dan Yifang jie dibelikan Heechul oppa; meja makan dan perlengkapan dapur kami dibelikan Hangeng oppa; semuanya merupakan hadiah pindahan. Isi kamar Yifang jie yang banyak sekali barang imut-imutnya dibelikan Shindong oppa; kalau peralatan baru di kamar Manshi diberikan Donghae oppa dan Zhoumi oppa (Manshi masih mempertahankan ranjang bertingkatnya); perabotan Aqian dibelikan Siwon oppa (kalau menurut Donghae oppa sih, ini dia yang bujuk supaya Siwon oppa mau berpartisipasi); sedangkan isi kamarku dibelikan Eunhyuk oppa. Mereka semua baik sekali, bahkan di sudut ruang tamu, ada keyboard yang dibelikan Sungmin oppa dan Ryeowook oppa. Kibum oppa juga membelikan semua barang elektronik seperti DVD Player hingga rice cooker. Henry bilang dia tidak bisa banyak berpartisipasi, tapi menghadiahi kami arloji kembar empat yang Cuma beda warnanya sebagai hadiah pindahan. Mereka baik sekali, apalagi Leeteuk oppa dan Hangeng oppa. Kalau tidak ada mereka berdua, mungkin kami tidak akan pindah kesini. Semuanya juga membantu kami pindahan waktu itu, rasanya ramai, seru dan membahagiakan, tidak capek sama sekali. Aku sayang mereka semua. Dan sekarang… kami tak perlu takut kalau mama dan babaku datang. Kami sudah siap.
Aku gigit jari. Aku kelaparan dan mau memesan ayam di McD, tapi ternyata telepon mereka selalu sibuk selama 10 menit terakhir. Apartemen sunyi. Aku sendirian. Perutku berbunyi.
“Aih, aku kesana saja langsung kalau begitu!” putusku.
Aku langsung menyambar dompetku dan keluar apartemen. Cabang McD terdekat ada di seberang jalan dan harus berjalan 4 blok lagi ke arah kiri. Resto itu memang sangat ramai hari ini. Aku terpaksa mengantri entah berapa lama, pokoknya ketika aku keluar, langit sudah gelap sepenuhnya. Aku mendongak menatap langit yang hitam, tak ada bintang, tak ada bulan.
“Baru tau seperti ini yang namanya sendirian.”
Aku menyeret kakiku untuk berjalan maju, namun sebuah pemandangan menarik perhatianku: lima pria yang membawa empat anjing; dua dari anjing itu masih anak anjing, dan semuanya anjing-anjing yang manis.
“Eh… anjing…”
Tanpa terasa aku mengikuti mereka. Aku dari dulu kepingin punya anjing, tapi apartemenku melarang orang untuk memelihara anjing. Aku jadi bertanya apa apartemen baru kami mengizinkan kami untuk punya anjing. Tapi aku semakin heran ketika mereka membawa anjing-anjing itu ke lorong-lorong yang gelap, yang belum pernah aku hampiri sebelumnya. Dan ketika kulihat apa yang ada di ujung lorong itu, mataku terbelalak. Resto yang menjual daging anjing! Lalu dari dalam sana kudengar dengkingan anjing dan gonggongan mereka, sepertinya banyak sekali anjing di dalam sana. Hatiku seketika perih. Apa yang akan Yifang jie lakukan jika dia melihat semua ini? Kami sama-sama penggemar anjing, kami tak akan membiarkan… tapi aku bukan dia. Aku tidak senekad dia dalam bertindak. Tapi setidaknya aku bisa menelepon… mana ponselku? Aku lupa bawa ponsel? Oh tidak… naluriku berkata lebih baik aku tidak campur tangan dalam urusan ini, tapi…
“Siapa kau? Mau membeli makanan di resto kami?”
Salah satu dari pria yang kuikuti tadi keluar resto dan melihat keberadaanku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Eng… aniyo…” gagapku.
Dan tanpa aba-aba, aku langsung berlari menjauh. Si pria tadi berteriak memanggil teman-temannya. Habislah aku. Dan jalan-jalan yang gelap ini membuatku lupa pada jalan keluar. Bagaimana ini? Sial! Aku memilih jalan buntu! Berbalik… berbalik… andwae! Di hadapanku ada empat pria… menghadangku…
“Wah, ada nona cantik yang mau ikut campur urusan kita.”
“Ani…”
“Lalu kenapa kau berlari? Mau melaporkan kami pada polisi, hah?”
“Aku…”
“Sudahlah. Kita selesaikan saja dia disini. Lagipula dia cantik.”
Salah satu pria mendekatiku. Aku mulai ketakutan. Pandanganku gelap. Aku panic. Aku berlari, tapi di balikku hanyalah tembok yang begitu keras, menghalangi langkahku.
“Donghae oppa!!!” teriakku putus asa.
“Dia tidak akan datang, sayang… dia tidak akan tau kau disini.”
Sayangnya dia benar. Donghae oppa-ku, mungkin saat ini masih dalam perjalanan ke Beijing, tidak akan datang menolongku. Aku sendirian dan aku akan dihabisi. Ini semua karena aku banyak ikut campur…
“Menyingkir kalian dari sana!”
Sebelum aku sempat mencerna apa yang terjadi, aku sudah melihat perkelahian ala film action. Ada yang menolongku, tapi dalam keremangan begini aku tak bisa melihat siapa, yang pasti dia bertarung dengan sangat tangguh. Satu persatu lawannya terjatuh, dan akhirnya aku melihat wajahnya…
“Hangeng oppa!”
“Xili, kau tak apa-apa?” tanyanya, kini menedekatiku.
“Gwaenchana, oppa… gomawo…”
“Sudahlah, Xili, jangan… jangan menangis begitu. Ayo kita pulang…”
“Kalau tidak ada Hangeng oppa, aku pasti… aku pasti sudah…”
“Argh!”
Aku kaget melihat seorang pria dari belakang telah melukai tangan kiri Hangeng oppa sepanjang lengannya, dan lengan itu sekarang berdarah. Hangeng oppa marah dan menendangnya dengan tendangan kungfu hingga orang itu terjatuh. Darah segar masih menetes tak berhenti dari lukanya, membuat hatiku perih…
“Oppa… oppa mianhae…”
“Tidak perlu minta maaf, yang penting kau tidak apa-apa. Tunggu sebentar.”
Aku melihatnya mengeluarkan ponselnya dan menelepon ke polisi, melaporkan bahwa ada resto illegal di sebuah nama jalan, mungkin yang dimaksud nama jalan disini. Lalu seekor anjing pudel yang lucu berlari keluar resto ini, menghampiriku. Aku mengangkatnya dalam pelukanku. Anjing itu mendengking pelan, kasihan sekali…
“Xili, ayo, kita bawa dia pulang saja,” ajak Hangeng oppa.
Aku baru ingat kalau Hangeng oppa terluka, darah masih mengalir deras dari luka itu. Aku mengangguk dan berjalan pulang sambil memapahnya, rasanya seperti mimpi. Aku bisa lolos dari maut yang sudah nyaris merenggutku, bagaimana jadinya kalau aku… Hangeng oppa menolongku, menolongku hingga terluka…
“Xili, kalau kau menangis terus seperti itu, jelas lukaku tidak akan sembuh.”
Aku baru sadar sekarang kami sudah di apartemen, aku memegangi peralatan dari kotak P3K-nya Manshi, dan tanganku bergetar, sama sekali tidak bisa mengobati luka Hangeng oppa.
“O… oppa… mianhae…”
“Kan aku sudah bilang, Xili, jangan minta maaf lagi. Aku malah bersyukur bisa menolongmu. Jangan rusak perasaan bersyukurku. Ayo, senyum…”
Kalau memang senyumku yang diinginkan Hangeng oppa, aku akan tersenyum…
Bounce to you, Bounce to you
내 가슴은 널 향해 잡힐 수도 없을 만큼 뛰고 있는걸
My heart is running towards you till I can't catch you
내 가슴은 널 향해 잡힐 수도 없을 만큼 뛰고 있는걸
My heart is running towards you till I can't catch you
Break it Down to you, Down to you
내 가슴이 너, 널 갖지 못한다면 멈출 거란다 (날 바라봐라)
My heart will stop beating if I can't have you (Look at me)
볼까말까, 볼까말까, 볼까말까 나 같은 남자
Would she look or not, look or not, look or not, at a guy like me
내 가슴이 너, 널 갖지 못한다면 멈출 거란다 (날 바라봐라)
My heart will stop beating if I can't have you (Look at me)
볼까말까, 볼까말까, 볼까말까 나 같은 남자
Would she look or not, look or not, look or not, at a guy like me
본체만체, 본체만체, 본체만체 돌아서 봐도
Uninterested, uninterested, uninterested, although you look around
Uninterested, uninterested, uninterested, although you look around
보고봐도, 보고봐도, 보고봐도 나 밖에 없다
Even if you try to seek, try to seek, try to seek, there's no one like me
Even if you try to seek, try to seek, try to seek, there's no one like me
보나마나, 보나마나, 보나마나 (Baby, you turn it up now)
Obviously, obviously, obviously (Baby, you turn it up now)
“Cantik…” kata Hangeng oppa singkat.
Aku merasa wajahku panas, pasti wajahku merah. Aku tidak menyangka Hangeng oppa akan memujiku begitu. Anjing pudel yang dengan sembunyi-sembunyi tadi kubawa masuk ke apartemen kini berlari ceria mengelilingi kami. Aku dan Hangeng oppa masih bertukar pandang ketika ponselku yang ternyata tergeletak begitu saja di sofa berbunyi nyaring, lagu Bonamana milik KRYSD. Aku langsung mengambil dan menyambutnya dengan geragapan.
“Yoboseyo… jie? HAH? APA? Ani… aku bisa mengatasinya. Oke, jie, zai jian.”
“Waeyo?”
“Oppa, kita harus lakukan sesuatu. Orangtuaku sudah dalam perjalanan kesini. Kita… tidak boleh berdua begini, sedangkan yang lain tidak tau jam berapa mereka pulang… dan anjing ini juga tidak bisa disini,” jawabku geragapan, “sedangkan kalau aku sendirian juga, pasti orangtuaku mengira Yifang onnie menelantarkanku.”
“Tenang, Xili, tenang…”
Hangeng oppa meraih ponselnya dan menekan nomor, entah menghubungi siapa. Aku baru tau begitu Hangeng oppa menyebut namanya.
“Yoboseyo, Leeteuk hyung. Ada di apartemen? Kejadian gawat. Aku kesana sebentar lagi.”
“Leeteuk oppa?”
“Ne. tunggu sebentar, biar anjing itu kubawa.”
Hangeng oppa dengan tangan kanannya yang sehat menggendong anjing pudel itu. Aku menunggu dengan cemas, merapikan kotak P3K, tapi tak yakin apakah jadi menyimpannya, soalnya aku belum selesai mengobati Hangeng oppa. Ternyata orangtuaku menelepon barusan dan mengatakan sudah sampai di Seoul. Mereka langsung saja minta alamat apartemen pada Yifang jie dan bilang mereka akan langsung kesini. Kenapa tiba-tiba aku begini tegang? Bel pintu berbunyi dan aku terlonjak.
“Xili, ini kami. Buka pintunya,” kudengar suara Hangeng oppa.
Aku langsung membuka pintu dan melihatnya bersama Leeteuk oppa yang kelihatan kaget.
“Nah, kami akan bilang kami sahabatnya Yifang, jadi kau tidak sendirian.”
“Kenapa kau bisa terluka begini, Hangeng? Xili, mana kotak P3K-nya? Aku akan membalut lukanya,” pinta Leeteuk oppa.
Aku melihatnya dengan cekatan membalut luka Hangeng oppa, lalu menyuruhnya ke toilet untuk mengganti baju kokinya dengan baju kemeja yang dibawanya. Beberapa menit kemudian, kami sudah bisa duduk tenang.
“Apa oppa yakin… tidak masalah kalau orangtuaku melihat oppadeul?” tanyaku ragu.
“Tidak apa-apa. Tampang kami kan sudah dewasa. Mereka akan percaya. Apalagi Leeteuk hyung ini seorang dokter,” jawab Hangeng.
Belum sempat aku bicara lagi, bel pintu sudah kembali berbunyi. Aku tau, kali ini pastilah kedua orangtuaku. Aku membuka pintu, sementara kedua oppaku duduk tenang di sofa. Dan benar saja, kedua orangtuaku tersenyum padaku, mamaku memelukku.
“Xili… bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja disini, nak? Mama merindukanmu…” kata mamaku, membuatku terharu.
“Baik, ma, Xili baik-baik saja,” ucapku, “ma, ba, masuklah. Ini apartemen Xili.”
Begitu baba dan mamaku masuk, aku melihat Hangeng oppa dan Leeteuk oppa langsung berdiri dan membungkukkan badan mereka.
“Ni hao. Wo shi Lite, ta shi Hangeng,” ujar Leeteuk oppa, memperkenalkan diri menggunakan bahasa Mandarin.
“Oh… kalian?” Tanya mamaku.
“Ayi, kami adalah sahabat Yifang. Sekarang Yifang sedang bekerja, dia khawatir Xili menunggui apartemen sendirian, jadi dia menyuruh kami menemaninya,” jawab Hangeng oppa, bahasa Mandarin-nya mengalir indah.
“Kalian orang Chinesse juga?” Tanya baba.
“Aku. Lite orang Korea.”
“Wah… Yifang pintar dan bertanggungjawab sekali. Kelihatannya kehidupan kalian layak disini. Coba, mama mau lihat apartemen kalian,” kata mama, melihat ke bagian dalam apartemen.
“Ng… ma, ini kamar Yifang jie, yang ini kamar Manshi, sahabat baru kami di Seoul, kalau yang ini kamar Meifen, dan ini… kamarku,” ucapku sambil mengantar baba dan mama tur di dalam apartemen.
“Apartemen kalian juga bersih sekali.”
“Itu Yifang jie yang banyak bereskan.”
“Dan perabotan kalian lengkap. Apa Yifang sudah dapat pekerjaan?” Tanya baba.
“Perabotan kami dihadiahkan gege-gege tadi dan teman-temannya, Yifang jie, Manshi dan Meifen juga sudah kerja.”
Baba memandangi Hangeng oppa dan Leeteuk oppa yang tersenyum sopan.
“Terima kasih telah menjaga anakku ini. Kurasa dia manja pada kalian? Maklumlah dia anak tunggal yang selama ini selalu kami lindungi. Kami minta maaf kalau dia sampai merepotkan kalian,” ucap mama sungkan.
“Oh, tidak… ayi, Xili sama sekali tidak merepotkan kami. Malahan aku sudah menganggapnya mei-mei sendiri,” sanggah Leeteuk oppa, tak kusangka bahasa Mandarin-nya sangat lancar.
Akhirnya kami ngobrol bersama. Mama dan baba menanyakan kuliahku, juga kehidupan Yifang jie, Manshi dan Aqian, termasuk kegiatan Hangeng oppa dan Leeteuk oppa. Mendengar pekerjaan mereka yang dokter dan pemilik resto, mama dan baba terlihat lega aku berteman dengan mereka. Hangeng oppa ke dapur untuk unjuk kepiawaian memasak, tapi sudah lama sekali dia disana dan belum selesai memasak satu laukpun. Biasanya dia sangat cekatan. Aku jadi khawatir dan menemuinya di dapur.
“Oppa, kenapa begitu lama?” tanyaku.
“Ng… Xili, apa kau bisa membantuku?” tanyanya.
Aku melihatnya tidak bisa menggerakkan tangan kirinya sama sekali. Aku berusaha membantunya memasak sesuai instruksinya, tapi malah gagal. Aku memang tidak berguna. Aku mengutuk diriku sendiri. Dan gara-gara aku, tangan Hangeng oppa yang biasa dipakai untuk memasak, kini tak bisa lagi… siapa aku ini, merusak masa depannya?
“Xili, kenapa kau menangis lagi? Berhentilah menangis, di depan ada orangtuamu…”
“Aku tidak berguna. Aku sama sekali tidak bisa membantu oppa, padahal oppa sudah menolongku, sudah mempertaruhkan nyawa oppa untukku, tapi aku tidak bisa membalas kebaikan oppa. Aku benci diriku sendiri,” kutukku, masih menangis.
“Ani… tidak ada orang yang tidak berguna di dunia ini, Xili, dan kalau kau tidak bisa memasak itu bukan salahmu.”
“Sudahlah, kalian berhenti berdebat. Mana, beri aku petunjuknya, tuan koki, aku akan membantu.”
Aku kaget karena tau-tau Aqian sudah menghampiri kami dengan memakai celemek kedua di dapur kami, menggeserku dan sekarang sudah memegang wajan.
“Aqian!!! Kau pulang tepat waktu!”
“Aku heran saja Hangeng oppa tidak pulang lagi ke resto, tapi sepertinya terjadi sesuatu, kan? Ya sudah, nanti saja ceritanya. Mau masak apa sekarang?” Tanya Aqian panjang.
Hangeng oppa tersenyum dan menginstruksi Aqian untuk memasak sosis lada hitam yang baunya menggoda. Sayang sekali bukan Hangeng oppa yang memasak, karena hasil masakan Aqian tidak seenak masakannya, tapi sama saja, semuanya tetap makan dengan lahap. Mama dan baba bilang mereka akan ada di Seoul selama satu minggu dan menolak tidur bersama kami, memilih pulang ke hotel. Kami semua mendesahkan nafas lega begitu mereka sudah pulang.
“Sebenarnya bagaimana ceritanya kau bisa terluka begitu, Geng?” Tanya Leeteuk oppa, sepertinya sudah tidak bisa menahan pertanyaannya dari tadi.
Aqian kaget dan beberapa kali berteriak tertahan ketika mendengar ceritaku dan Hangeng oppa.
“Kau… besok ke rumah sakit saja. Peralatanku lebih lengkap disana. Kau tau, tanganmu itu masa depanmu. Itu harus dirawat baik-baik sampai sembuh.”
“Beres, hyung,” ujar Hangeng oppa.
“Ngomong-ngomong kata kalian tadi kalian menyelamatkan satu anjing. Mana anjingnya? Koq tak ada disini?” Tanya Aqian.
“Aih, anjingnya. Ada di apartemenku,” jawab Leeteuk oppa.
“Ayo pindahkan dia lagi kesini. Aku mau main dengannya,” pintaku.
“Tapi kalian harus ingat, apartemen ini juga dilarang memelihara anjing. Dia besok sudah harus dipindahkan atau kita semua akan kena denda dan segala macamnya.”
Aku cemberut. Mau dikemanakan anjing lucu itu?
“Bawa saja ke tempatku. Aku akan memeliharanya,” putus Hangeng oppa.
“Oppa… gomawo…” kataku.
Kami akhirnya bersama-sama naik ke lantai tujuh untuk menjemput si anjing, tapi dia tidak ada di ruang tamu.
“Aigo… ayo kita cari dia,” ajak Leeteuk oppa.
Kamipun berpencar dan mencari si pudel. Aku melihatnya di bawah sofa, di balik meja, di sela-sela lemari…
“Dia disini,” lapor Aqian, berdiri di ambang pintu kamar Leeteuk oppa dan Donghae oppa.
Kami segera menghampiri Aqian dan melihat si pudel tengah kencing di ranjangnya Donghae oppa.
“Aigo… andwae!!! Matilah aku, Hae pasti akan membunuhku. Aku lupa menutup pintu kamar kami tadi.”
=.=” kacau kan…
No comments:
Post a Comment