No Other The Story
Chapter 32
MANSHI’S DIARY
CHAPTER 32
OFF MY MIND
“Aku pulang.”
Begitu aku membuka pintu, aku
melihat Yifang dan Yesung, keduanya duduk di sofa. Yesung merangkul Yifang dan
Yifang tiduran di dadanya Yesung. Aku tidak tahan lagi dengan pemandangan ini.
Aku ingin Yesung kembali ke apartemennya saja.
“Lho, Yifang, kau tidak ke bar?”
tanyaku heran.
Otomatis keduanya langsung
menempelkan jari telunjuk di bibir masing-masing. Aku jadi bingung.
“Mwo?”
“Ada Siwonnie di dalam sana,”
jawab Yesung, menunjuk ke belakang dengan jempolnya.
Ah, aku lupa. Aqian baru saja
jadian dengan Siwon. Sekarang lengkap sudah penderitaanku. Aku ingin pacaran
juga, jadi panas juga melihat mereka mesra-mesraan. Harusnya aku Tanya Xili apa
dia keberatan dengan semua ini.
“Eh, bukannya kau pergi syuting
ya, Yifang?”
“Syutingnya baru selesai satu
jam yang lalu. Ngomong-ngomong aku mau pinjam catatan kuliahmu hari ini ya,”
jawab Yifang.
“Aku tadi pinjam punya Xander.
Taulah aku juga malas mencatat. Punya dia lengkap koq.”
“Kau sendiri lembur hari ini?”
“Ne. aku nanti kasih kau
catatannya. Aku ke kamar dulu.”
Asyiknya Yifang, sepertinya
keberuntungan datang berturut-turut dalam hidupnya, setelah sempat menderita.
Dia sudah mendapat peran figuran di salah satu drama yang akan tayang dua bulan
lagi, dan dia akan muncul di Sembilan episode. Untuk itu dia mendapat bayaran
cukup tinggi. Katanya sih, dia mulai bisa menyisihkan untuk mencicil utang.
Selain beruntung disitu, dia juga mendapat Yesung. Aku? Yah… keadaanku masih
begini juga. Dietku belum terlalu berhasil, masih perlu 4 kg lagi, tapi entah
mengapa yang 4 kg ini susah dicapai. Tapi kata Kangin, kekuatanku dalam main
taekwondo jadi menurun, malah sekarang Yifang lebih kuat dariku. Ya ampun, mau
jadi apa aku. Aih, aku lupa mengembalikan pelembap wajahnya Aqian, pasti dia
mau pakai nih. Aku ke kamarnya saja, jangan menoleh-noleh lagi ke ruang tamu, jangan-jangan
nanti aku melihat adegan yang… lha, pintu kamar Aqian tidak ditutup? Koq tak
ada suara? Apa mereka mengerjaiku dengan bilang Siwon ada disini? Ah!!! Tak
seharusnya aku mengintip! Aku kembali ke kamar dengan sedikit terengah. Aku…
tadi… melihat… Aqian... dan… Siwon… ciuman… ya ampun!!! Mau menghindari malah
melihat adegan yang tidak-tidak. Hhh… nasibku bagaimana, coba? Kibum… Kibum…
lho, kenapa aku jadi memikirkan dia? Bukannya aku sendiri yang… huh… kemana sih
si pabho Shindong itu? Apa tidak tau aku merindukannya? Harusnya aku tidak
boleh menganggapnya teman lagi!
“Manshi, kau mau kupecat ya?
Jangan pikir karena kau Make Over Leader disini aku tak berani memecatmu ya.”
Aku kaget mendengar komentar
pedas Heechul. Aih, apa yang kulakukan? Bengong saat bekerja? Aku bisa
menurunkan reputasi salon nih!
“Sini, ke kantorku,” perintah si
dictator Heechul.
Aku mencibir dan mengikutinya.
Apa lagi maunya dia? Terakhir kali dia menyuruhku ke kantor adalah karena dia
ingin aku mendaftar kuliah. Sekarang ada keanehan apa lagi? Dia menunjuk kursi
dan aku langsung duduk.
“Mwo, oppa?” tanyaku dengan nada
malas yang kurang ajar.
“Mulai besok harus bisa bagi
waktu dengan baik di tiga tempat: kampus, salon dan pekerjaan yang baru. Aku
tak mengizinkan kau sampai bolos bekerja disini.”
Tiga bagaimana? Apa dia mabuk?
Jelas-jelas sekarang aku Cuma beraktivitas di kampus dan salon koq.
“Tiga? Kan Cuma dua.”
“Aku bilang mulai besok! Nih!”
Dia melempar selembar kertas
yang kutangkap dengan tangkas. Surat pemberitahuan apa yang ribet dalam Hangul
ini? Hah… HAH?
“Oppa, ini… tidak bercanda? Aku…
jadi kepala stylish untuk drama ini? Dramanya Kibum oppa?”
“Memangnya Hangul-mu bermasalah
ya? Nah, ada selembar lagi nih untuk jam kerjamu disana. Di luar jam itu dan
jam kuliah, kau harus di salon. Jadi kemungkinan besar kau harus di salon
sampai malam setiap harinya,” katanya, memberi selembar kertas lagi padaku.
Aku memandangi kertas pertama
lagi. Bayarannya… bayarannya tinggi! Dan aku bertanggungjawab atas make-up
pemeran utama (dalam hal ini Kibum) dan pemeran utama wanitanya.
“Tapi oppa, kenapa bisa begini
tiba-tiba?”
“Banyak alasan kupikir. Bisa
jadi karena popularitas Siwonnie sebagai CEO, karena salon kita maju dan
dinobatkan sebagai salon terbaik se-Seoul tahun kemarin, atau karena
popularitasmu juga meningkat. Aku sudah bilang pada mereka kalau kau terima
kerja ini.”
Akan kumakan dia kalau dia tidak
kurus. Seenaknya saja bilang aku mau terima. Tapi angkanya menggiurkan sih…
“Baiklah. Aku akan bagi waktu.”
Dan begitulah kesibukanku
dimulai keesokan harinya. Jam 10 pagi aku kuliah sampai jam 2, lalu buru-buru
ke salon, dan jam 5 aku sudah berada di lokasi syuting. Disana aku bertemu
dengan Suxuan dan Kibum. Semenjak kejadian yang waktu itu, inilah pertemuan
pertamaku dengan sunbae-ku ini.
“Manshi, selamat datang,”
sapanya ramah.
Melihat senyum di wajahnya, aku
merasa sedikit lega. Aku tak ingin ada cekcok dengan siapapun, ingin hidupku
tenang.
“Sepertinya kita semua memang
tidak jauh dari dunia hiburan ya. Mulai dari Suxuan, Yifang, dan berikutnya
kau.”
“Kibum oppa yang mengusulkanmu
ke produser lho,” lapor Suxuan.
“Aih, kau Suxuan, untuk apa
dikasihtau yang itu?”
Aku memandang Kibum dengan
pandangan penuh rasa terima kasih.
“Ng… Kibum oppa, gomawo,”
ucapku.
“Ani, jangan berterimakasih. Aku
hanya mengusulkan namamu saja koq. Lagipula mereka langsung setuju karena
mereka tau popularitasmu dan percaya pada hasil kerjamu. Berikutnya kan
tergantung pada skill-mu juga?”
Aku tersenyum. Tapi setidaknya,
aku mendapatkan pekerjaan dan sumber penghasilan baru sekarang. Dan aku
benar-benar sibuk, tak kalah sibuknya dengan Yifang. Pernah pada suatu hari
Xili benar-benar ditinggal sendirian di apartemen (sendirian atau dengan
Donghae, aku tak tau, soalnya mereka dekat belakangan ini), Aqian dan aku
pulang jam 9 malam, sedangkan Yifang jam 4 subuh. Ternyata mencari uang memang
tak mudah. Aku makin kesulitan menahan rasa laparku, soalnya kegiatanku sangat
banyak dan Seoul mulai panas. Di hari Kamis, aku mendapat cuti dari salon dan
jadwal kuliahku kosong, baru akan ke tempat syuting jam 12 siang. Aku akan ke
mall untuk menambah koleksi bajuku, karena baju lama sudah banyak yang
kebesaran. Aku sedang mempertimbangkan apa perlu beli bikini. Aigo… cuacanya
panas sekali. Melihat orang-orang yang makan es krim, aku jadi kepingin dan
haus… tapi aku berhasil menahan godaan itu. Aku berbelanja dengan puas dan
bekerja dengan semangat siang harinya.
“Manshi, kau pulang sendirian
ya?” Tanya Kibum saat kami sudah mulai beres-beres.
Aku melihat arlojiku, jam 9
malam.
“Ne.”
“Bareng saja yuk.”
“Ani, oppa. Aku akan jalan kaki
saja, lagian baru jam 9 malam nih. Bagus untuk diet.”
“Tapi… kalau pulang kan harus
jalan kaki lama sekali. Kau yakin, Manshi?”
“Yakin. Jangan khawatir, oppa.”
“Ya sudah. Kalau ada apa-apa,
telepon aku ya.”
“Aigo, Manshi!”
Aku kaget melihat Leeteuk
berlarian ke arahku dan langsung mengguncang-guncang tubuhku. Aku jadi nyaris
roboh dalam guncangannya. Hei, Leeteuk, aku rapuh sekarang, jangan perlakukan
aku begitu.
“KENAPA KAU BISA SEKURUS INI?
TAK ADA YANG MEMBERIMU MAKAN, YA?” Tanya Leeteuk dengan suara yang besar
sekali.
Aku jadi malu.
“Oppa, aku diberi makan di
salon, disini dan di apartemen. Aku tak ada masalah, koq,” jawabku.
Aku mengedipkan mata pada Kibum,
yang dibalas Kibum dengan anggukan cepat. Untunglah, itu berarti Kibum tau aku
menyuruhnya tutup mulut soal dietku. Tapi Leeteuk memandangku curiga.
“Jangan bilang kau lagi diet
ya.”
“Ani, oppa. Aku sibuk begini,
kalau masih diet bisa-bisa aku mati nih.”
“Ya sudah kalau begitu. Kalau
kau sakit, periksa padaku ya. Aku pulang dulu.”
“Bye oppa, Manshi…” lambai
Suxuan, tangan kirinya menggandeng tangan Leeteuk.
Aku dan Kibum menghela nafas
lega. Leeteuk memang dokter hebat, dia langsung curiga aku diet hanya dari
melihat tampangku saja. Maaf, pak dokter, aku bohong padamu.
“Kibum, bisa kesini?”
Sutradara memanggil Kibum, jadi
aku langsung pamitan pada mereka berdua sekaligus. Aku merenggangkan badanku
ketika keluar dari lokasi syuting yang berupa halaman belakang hotel bintang
lima. Tulangku berderak semua. Aku pasti terlalu capek. Aku menguatkan diriku
yang membawa tas backpack besar berisi peralatan make-up-ku, dan mulai
berjalan. Yang paling aku benci, pulang ke apartemen aku harus melewati satu jalanan
yang di kanan-kirinya penuh restoran atau makanan kaki lima. Aku tergiur dengan
bau cumi-cumi bakar (aku harus menyalahkan Yifang, gara-gara dia aku suka makan
cumi-cumi), tapi terpaksa menelan liurku dan terus berjalan. Dan harusnya
Valentine sudah lewat, Cuma yang membuatku sebal adalah aku melihat banyak
orang berpacaran. Dasar sial. Tidak di luar, tidak di apartemen, melihat orang
pacaran. Harusnya aku juga sudah berpacaran, tau, dengan actor terkenal! Tapi
aku sudah menolaknya. Andaikan yang kuinginkan adalah popularitas, aku pasti
menerimanya. Tapi aku tak bisa lupa orang-orang yang memberi komentar itu…
mereka bilang aku gemuk… kalau memang aku jadian dengan Kibum, bukannya akan
makin banyak komentar jelek, atau anti-fans? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
ngeri. Bau ramen… bau nasi goreng… bau sushi… bau hotpot… ya ampun, aku memang
pintar mengenali bau-bau itu. Aku jadi teringat pada Shindong lagi. Semenjak
mengenalnya, aku jadi tau lebih banyak tempat yang makanannya enak-enak dan
murah. Kami juga punya kebiasaan untuk mencobai tempat makan baru, yang akan
langsung kami masukkan dalam dua kategori: oke atau tidak oke. Kalau oke (dari
segi menu, harga dan kebersihan) kami akan datangi lagi lain kali, tapi kalau
tidak oke, jangan harap kami datang lagi. Tapi… aku menggelengkan kepalaku
lagi. Itu semua rasanya seperti masa lalu. Shindong… kau dimana sekarang? Aku
merindukan masa-masa itu… dan aku melihat pintu sebuah resto yang jauhnya empat
blok dariku menjeblak terbuka (untung aku bukan di depannya, pasti aku bisa
melayang), dan keluarlah dua pria yang sempoyongan dan sambil berangkulan. Ya
ampun, mereka pasti mabuk. Aku harus jaga jarak dari mereka supaya aku tidak
diganggu atau apalah. Aku berjalan di belakang mereka saja. Ya ampun, kombinasi
mereka juga aneh. Yang satu sangat gemuk, yang satu lagi kurus. Dunia ini
memang aneh. Mereka berjalan lambat sedangkan aku sudah sedikit lebih cepat,
hanya enam langkah di belakang mereka sekarang. Bahkan aku bisa mendengar
mereka bernyanyi sekarang: yang gemuk suaranya sumbang, yang kurus suaranya
bagus.
“Hyung, lupakanlah wanita, hik,
itu… Masih banyak wanita yang lain, kan?” Tanya si kurus.
“Tapi bagiku hanya dialah yang
kucintai… hik… bagaimana ini… Hyunjoong?” Tanya yang gemuk.
“Nanti aku kenalkan pada hyung
wanita-wanita… hik… yang lain. Akan kucarikan yang seperti wanita itu. Setuju?”
Hyunjoong? Koq rasanya nama itu
tidak asing, ya? Pernah dengar atau lihat dimana, ya? Tiba-tiba wajah Yifang
terlintas di benakku. Ah… aku ingat. Katanya Yesung pernah mengenalkannya pada
Hyunjoong, penyanyi dari grup boyband juga… yang aku tak ingat nama grupnya. Ya
ampun, dia sampai mabuk begitu?
“Gomawo, Hyunjoong… tapi aku…
tidak berminat… lagi… hik…”
“Jadi kata hyung tadi, si wanita
itu sekarang berpacaran dengan… hik… siapa namanya? Si actor?”
“Kim Kibum…”
“Ah ya, aku lupa lagi namanya.
Soalnya namanya sama dengan dongsaengnya… hik… teman grupku…”
“Aku ingin membencinya, tapi tak
bisa… aku sudah bersahabat lama sekali dengannya… tak… hik… enak kan kalau ada
cekcok?”
Tunggu. Sekarang aku mengenal
suaranya juga, yang gemuk. Kibum? Nama Kibum disebut? Berpacaran dengan Kibum?
Bersahabat lama dengan Kibum? Apakah dia… jadi lebih gemuk lagi sekarang?
“Hyung, hik, berteriaklah.
Lepaskan saja emosimu. Setelah itu, jangan mabuk-mabukan lagi,” usul Hyunjoong.
“Ne, kau memang, hik, pintar,
Hyunjoong. Kita hari ini minum banyak sekali. Baiklah, akan kuteriakkan dan
lupakan wanita itu… hik… CAI MANSHI, SARANGHAEYO!!!”
Dan aku membeku di tempatku
berdiri. Dia… itu memang dia… bagaimana mungkin, ketika aku ingin bertemu
dengannya, ternyata dia memang muncul di hadapanku? Dan apakah yang
diucapkannya tadi benar, kalau dia mencintaiku? Dan… dan… aku harus berpikir…
dia pikir aku pacaran dengan Kibum, begitu?
“Shindong,” panggilku, setengah
berbisik.
Dan mereka berdua menghentikan
langkahnya.
“Tadi kau memanggilku tanpa
sebutan… hik… hyung, Hyunjoong?”
“Ani… aku tidak memanggil hyung
koq…” jawab Hyunjoong.
“Ah, mungkin aku berhalusinasi.
Dimana kau memarkir… hik… mobilmu yang keren itu sih?”
Dasar pabho. Memangnya kau pikir
suaraku ini suara pria ya? Kau memang pantas mati!
“YA! SHIN DONGHAE! BERHENTI
DISANA!” teriakku membahana.
Dan mereka berhenti berjalan
lagi. Kali ini keduanya menoleh, dan aku memang melihat wajanya yang bulat itu,
yang pernah menghempaskanku dalam mimpi burukku.
“Manshi?”
Aku merasa badanku lemas,
terlalu senang, atau bagaimana… aku tak tau sebabnya. Tapi aku suka melihatnya
tersenyum padaku. Aku merasa… takdirlah yang membuat kami bertemu disini tanpa
disengaja.
“Manshi… itukah kau, Manshi…?”
“Ini aku, oppa, ini aku…”
Dan dia berjalan sempoyongan ke
arahku, mataku mulai kabur, apa karena air mata? Tapi aku melihatnya tersandung
sesuatu dan terjatuh, lalu detik berikutnya Hyunjoong juga terjatuh. Shindong
jatuh ke jalanan, ditumpuk badan Hyunjoong. Aku kaget setengah mati, tapi
suaraku untuk berteriak tak keluar. Aku langsung berlarian menghampiri mereka
berdua dan mengguncang mereka.
“Oppa… Hyunjoong… kalian
kenapa?”
Tapi tak ada reaksi dari keduanya.
Yang ada hanyalah dengkuran. Sial, mereka tidur di saat begini? Aku berusaha
mengangkat Hyunjoong, tapi dia berat, aku tak sanggup… apalagi si Shindong? Aku
berlari ke tepian jalan dan berusaha memanggil taxi, tapi tak ada taxi yang
lewat. Peluh memenuhi wajah dan tubuhku, aku kepanasan, dan kepalaku pusing.
Aku harus menolong mereka… ah, Kibum! Itu mobil Kibum, kan? Aku melambai-lambai
ke mobil baru Kibum, Mazda seri terbaru berwarna biru. Dia… harus melihatku…
“Kibum oppa!” teriakku.
Dan rupanya itu kata terakhir
yang keluar dari mulutku, karena setelah itu aku merasakan sakit karena aku
jatuh ke aspal…
Gelap… semuanya gelap… panas…
sirami aku dengan air, kumohon! Kerongkonganku kering, kepalaku pusing…
perutku… lapar… aku dimana? Aku dimana?
“Hhh… akhirnya kau bangun juga,
Manshi.”
Wajah di hadapanku perlahan jadi
jelas. Leeteuk, stetoskop masih menggantung di lehernya. Dia terlihat lega.
“Kupikir terjadi sesuatu yang
parah denganmu, rupanya kau kurang gizi. Kau masih berani bohong padaku,” sergahnya
resah.
Aku tak bisa bicara, aku tak
kuat bicara. Leeteuk membelai kepalaku sekali dan tersenyum, tak lagi marah.
“Kau sudah di kamarmu. Tunggu
sebentar ya, aku panggilkan yang lain. Semuanya resah karena keadaanmu ini.”
Aku menolehkan kepalaku dengan
lemah begitu dia sudah pergi. Oh ya, aku memang di kamarku. Aku bisa melihat
ranjang di atasku, lalu perabotan kamarku.
“Manshi sudah bangun.”
“Kalau begitu aku bisa pulang
sekarang.”
Jantungku bereaksi ketika
mendengar suaranya. Dia ada di luar. Dia tidak apa-apa.
“Ngomong apa hyung? Kan daritadi
hyung bolak-balik disini seperti bapak yang menunggui istrinya melahirkan,”
ucap sebuah suara yang lembut, tak lain tak bukan suara Sungmin.
Sungmin yang baik hati ada
disini juga.
“Sana temui dia dulu, Shindong,”
tegas Yesung.
“Dan tak boleh pulang malam ini.
Kalau oppa sampai pingsan lagi di jalan, apa yang bisa kami pertanggungjawabkan
pada orangtua oppa?” Tanya Yifang marah.
Dan berturut-turut aku mendengar
ceramah Xili dan Aqian juga. Akhirnya pintu kamarku dibuka, dan aku melihat
Sungmin mendorongnya masuk. Mendorong Shindong.
“Manshi, aku senang kau sudah
sadar. Tidak ada yang sakit, kan?” Tanya Sungmin perhatian.
“Tidak ada. Gomawo, oppa,”
jawabku lemah.
“Nah, aku tinggal ya.”
Sekarang aku hanya berdua saja
dengan Shindong. Dia kelihatan bingung. Wajanya masih kemerah-merahan karena
mabuk, tapi kulihat dia sudah berganti pakaian yang agak kekecilan untuknya,
entah pakaiannya siapa. Dia benar-benar makin gemuk, seolah-olah dagingku yang
hilang pindah ke tubuhnya. Dia menoleh kesana-kemari, sepertinya bingung mau
duduk dimana. Aku menepuk tepi ranjangku, dan aku merasa ranjangku sedikit
berderak ketika dia duduk. Lalu dia menggaruk-garuk kepalanya bingung.
“Oppa kenapa mabuk-mabukan
begitu? Lihatlah, bahaya sekali.”
“Aku… ng… kenapa kau ada disana,
Manshi?” tanyanya.
“Aku pulang dari lokasi syuting.
Aku jadi kepala make-up artis di dramanya Kibum oppa.”
“Oh… ng… kau tidak pulang dengan
Kibummie? Kau malah berjalan kaki di belakang kami?”
“Aku tidak ingin merepotkannya.
Lagian aku pikir jalan kaki bisa membantu dietku.”
“Merepotkan bagaimana? Dia kan
pacarmu.”
Aku mendengus. Rupanya ini
masalahnya.
“Dia bukan pacarku.”
“Tapi…”
“Sekarang aku mau Tanya. Sibuk
apa oppa selama ini sampai tidak menemuiku? Mau bermusuhan denganku?”
“Aku… kenapa kau membalas SMSku
dengan begitu ketus? Padahal aku perhatian padamu?” dia balas bertanya.
“Kenapa oppa baru SMS hari itu?
Kan harusnya oppa sudah cukup lama tau aku berdiet, dari Aqian?”
Dan dia tak berani menjawab.
Rasanya aku ingin marah sekarang.
“Dan jangan sembarangan bilang
aku dan Kibum oppa pacaran.”
“Aku tidak sembarangan bilang,
karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Melihat Kibummie
memelukmu!”
Mataku terbelalak. Dia melihatku
dan Kibum berpelukan? Apa di malam itu?
“Kenapa… oppa bisa melihatnya?”
“Karena malam itu tadinya aku
datang untuk minta maaf padamu dan… dan…”
“Dan?” pancingku.
Tapi dia malah diam dan
menundukkan kepalanya.
“Dia memelukku memang… tapi aku
menolaknya. Aku tak pantas untuknya, dan tak ada dia di dalam hatiku.”
“Kau… tidak pacaran dengannya?”
“Aku sudah bilang tidak, jangan
membuatku marah.”
Dia diam lagi.
“Dan oppa mencariku untuk minta
maaf, lalu untuk apa?”
“Aku… tak ada koq. Hanya untuk
minta maaf saja.”
“Apa yang kudengar tadi benar?
Yang oppa teriakkan? Dengan nama lengkapku?”
Wajahnya terlihat bingung ketika
menatapku, tapi sinar paham muncul di matanya dan wajahnya kini semakin merah.
Aku merasa wajahku juga merah.
“Apa itu benar, oppa?” tanyaku
sekali lagi.
“Mian, mengganggu.”
Pandangan kami teralih ke pintu.
Yesung membawa dua piring besar nasi goreng. Baunya enak dan menggugah selera.
“Kalian berdua harus makan untuk
memulihkan kondisi kalian. Leeteuk hyung menunggu di depan. Manshi, kau harus
menghabiskan jatahmu atau katanya kau akan disuntik vitamin penambah selera
makan,” ucap Yesung, meletakkan nampan itu di meja belajarku.
“Ya… ya…”
“Aku keluar.”
Dan begitu Yesung keluar,
Shindong mengambil sepiring nasi.
“Manshi, ayo makan,” bujuknya.
Dia membantuku duduk bersandar
di tembok, sementara dia mulai menyuapiku makan. Aku agak tak terbiasa seperti
ini, apalagi dia begitu dekat.
“Bagaimana kita bisa pulang?”
tanyaku heran.
“Kibummie bilang dia melihatmu
melambai dan pingsan setelahnya. Dia menggotong kita bertiga ke dalam mobil.
Dia kuat sekali, aku heran badannya begitu kecil. Ah ya, bertiga, karena ada
Hyunjoong. Kau tau dia, kan, Kim Hyunjoong, leader SS501?”
“Ne, aku tau dia, oppa.”
“Nah, dia sekarang tidur di
tempatnya Leeteuk hyung, masih belum sadar. Kasihan juga bocah itu, menemaniku
minum sampai mabuk.”
Aku memakan sesuap nasi itu, dan
merasakan ciri khas masakan Aqian di nasinya. Nasi goreng vegetarian.
“Jangan mengkritik orang deh,
oppa sendiri mabuk.”
“Aku mabuk karena memikirkanmu.”
“Kenapa memikirkanku lantas
menjadikan soju sebagai pelarian? Kalau memikirkanku ya temui aku dong,
gampang, kan?”
“Aku… menyesal menghindarimu,”
ucapnya tiba-tiba.
Aku kaget. Dia ternyata
benar-benar menghindariku? Jadi dugaanku benar?
“Kenapa… menghindariku?”
“Karena kupikir aku tak pantas
untukmu. Kau mana mau dengan pria gemuk dan jelek sepertiku. Kau yang begini
keren, lebih baik dengan orang-orang seperti Kibummie.”
“Jangan bercanda. Aku malah
bermimpi oppa mencampakkanku di mimpi karena aku gemuk. Karena itulah aku
berdiet.”
“Karena mimpi? Pabho!”
“Bukan hanya karena mimpi! Tapi
video yang diposting Siwon oppa di Twitter… aku melihat komentar mereka…”
“Untuk apa sih kau peduli pada
komentar orang lain? Kan yang penting posisimu di hatiku.”
“Memangnya kenapa posisiku di
hati oppa?” tanyaku memancing.
“Kau selalu nomor satu untukku.”
Dia sudah mengatakannya. Aku
yakin wajah kami sama merahnya sekarang.
“Jangan diet lagi, itu semua tak
perlu. Untuk apa aku mencintai Manshi yang kurus tapi tak sehat? Lebih baik aku
mencintai Manshi apa adanya, karena memang Manshi yang apa adanya itulah yang
membuatku jatuh cinta… sejak dulu… hingga sekarang…”
Aku membatu. Aku berhenti
mengunyah nasi yang enak ini. Dia menjulurkan jempolnya dan membersihkan nasi
dari sudut bibirku. Jarinya yang menyentuh bibirku sangat lembut dan hangat.
Aku tak menyangka dia bisa begitu lembut pada wanita.
“Manshi… jangan hindari aku
lagi… aku tak ingin berpisah darimu lagi…”
Dan dia maju, sedikit demi
sedikit, wajahnya… sementara aku tak berani bergerak. Dan aku merasakannya…
kehangatan bibirnya di bibirku… meski aku tak berani bergerak, belum berani
membalas ciuman yang tiba-tiba itu…
我的愛,全都給你
My love, I give it all to you
我就在這裡
I am here
我的心,不會放棄
My heart, will not give up
你是我唯一
You are my only
Girl 這不是意外, 你是我的女孩
Girl this is not an accident, you are my girl
I can’t get my mind off ya, off ya
我的愛,全都給你
My love, I give it all to you
我就在這裡
I am here
我的心,不會放棄
My heart, will not give up
你是我唯一
You are my only
Girl 這不是意外, 你是我的女孩
Girl this is not an accident, you are my girl
I can’t get my mind off ya, off ya (off my mind)
Bunyi gedubrakan apa itu? Aku merasakan Shindong mundur
dariku cepat-cepat dan kami melihat ada sesuatu yang bergelimpangan di pintu.
Salah. Sesuatu-sesuatu.
“Manshi… eh… oppa… eh… mianhae…” ucap Yifang, nyengir sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Dia terjatuh paling bawah, disusul Yesung menumpuknya,
Sungmin, Aqian, Xili, dan Leeteuk paling atas. Yifang menyenggol Yesung dan
mereka bangun dengan geragapan. Leeteuk dan Aqian langsung menghilang dari
pandangan. Aku memandang marah Yifang.
“YIFANG!!! KAU MERUSAK MIMPI INDAHKU!” teriakku, yakin itu
teriakan terkuatku sepanjang hidup.