No Other The Story
Chapter 28
RYEOWOOK’S DIARY
CHAPTER 28
THE GIRL IS MINE
SUB-DIARY: DONGHAE’S
Kenapa… kenapa Yifang tidak mengucapkan apapun
padaku, setelah apa yang kulakukan padanya selama ini? Memang sih aku bukan
Cuma memasak untuknya, tapi kenapa dia tidak mengucapkan, walau kata terima
kasih yang sangat sederhana? Bukannya aku menuntut balas budi, hanya saja aku
merasa ada yang aneh pada hubungan kami. Bukannya kami berdua dulu sangat
akrab? Tapi sekarang kami berdua tak pernah lagi keluar bersama. Dan yang lebih
penting, dia dan Yesungie hyung, sekarang mereka begitu dekat. Apakah Yesungie
hyung… menyukai Yifang? Dan aku tersentak ketika mendengar ponsel yang
kuletakkan di mejaku berbunyi dan bergetar hebat. Aku melihatnya: wajah
tersenyum Yifang yang manis.
“Yoboseyo, Yifang… hah, apa? Ooh, baiklah… ne. aku
akan kesana,” kataku menjawab teleponnya.
Ah, Yifang sekarang membutuhkanku. Baru saja aku
merasa pesimis, tapi betapa bodohnya aku. Lihat, dia masih juga mengandalkanku.
Aku harus ke apartemennya sekarang, lagipula aku sedang santai nih. Aku membawa
ponsel dan dompetku saja, itu sudah cukup. Dalam sekejap saja, aku sudah sampai
di apartemen 402 dan menekan belnya.
“Wookie, gomawo mau datang. Tapi kau memang sedang
santai kan yah?” Tanya Yifang, tersenyum padaku.
“Aku memang sedang santai. Ada apa, Yifang?”
Aku masuk ke apartemennya yang tertata rapi. Aku tau
selama ini yang membereskan apartemen adalah Yifang, dari cerita Xili. Setiap
kali Xili ingin membantunya, dia pasti tak mengizinkan. Dia terlalu sayang
Xili, dan aku suka itu, berarti hatinya lemah lembut.
“Eng… Wookie, Xili sakit. Kau bisa menjaganya kan?
Kau tau, aku tidak bisa apa-apa, bahkan memasak bubur saja tak bisa. Lagipula
aku harus pergi sampai malam.”
“Tentu, tak masalah. Tapi kau mau kemana?”
“Siaran radio, lalu err… aku ada kegiatan lain.
Tolong yah, Wookie.”
“Oh… baiklah. Bagaimana kalau kau bawa bekal? Aku
buatkan sandwich? Hanya butuh waktu 10 menit koq untuk membuatnya.”
“Boleh, Wookie. Gomawo. Xili ada di kamarnya. Aku
siap-siap dulu yah.”
Aku melihat sosok Yifang yang memasuki kamarnya,
sementara aku ke dapur yang juga bersih, dapur yang sudah sangat kukenal.
Kulihat juga pintu kamar Xili yang di seberang dapur terbuka. Aku segera
mempersiapkan sandwich dengan terampil, karena aku sudah terbiasa membuat ini.
Setiap kali ada teman satu apartemen yang terburu-buru dan tak sempat makan,
aku pasti buatkan sandwich. Kebetulan, untuk persiapan dalam keadaan darurat,
aku juga menyimpan bahannya di tempatnya Yifang. Begitu dia sudah siap, dia mampir ke dapur
menemuiku. Aku memasukkan lima potong sandwich sekaligus ke dalam kotak makanan
berwarna hijau, yang, aku berani bertaruh, pasti punya Yifang.
“Wookie, gomawo…” katanya sambil tersenyum.
“Jangan bilang kata itu lagi. Aku kan sudah
ingatkan.”
“Hahaha… mian. Aku pergi dulu yah. Ah ya, kalau kau
memang ada kesibukan lain kau boleh pergi koq. Aku tak mau ini membebanimu.”
“Gwaenchana, aku tau, Yifang.”
“Nah… aku pergi dulu ya. Sampai jumpa.”
Aku melihat sosoknya yang manis itu pergi. Rasanya
ingin sekali tanganku menggapainya, tapi aku tak sanggup. Kenapa aku tak berani
ungkapkan padanya apa yang ada dalam hatiku? Tapi… kedekatannya dengan Yesungie
hyung, apalagi Yesungie hyung kelihatan bahagia… apa yang kupikirkan? Aku
segera menuju kamar Xili, melihatnya tertidur di ranjangnya. Aku mengecek suhu
tubuhnya dengan meletakkan tangan kananku di dahinya. Ah, dia demam cukup
tinggi. Tak lama kemudian aku mulai sibuk mengompresnya dan memasak bubur yang
penuh gizi. Mungkin karena perubahan musim, Xili jadi sakit. Tapi… kalau
dipikir-pikir… aneh juga ya kalau aku Cuma berduaan dengan Xili begini. Ada
yang tak beres. Apa aku ajak seseorang… eng… Yesungie hyung? Ah ani… Donghae
hyung? Ah ya, benar.
“Yoboseyo, hyung, dimana sekarang? Sudah mau pulang?
Ng… aku di apartemennya Yifang, hyung bisa kesini menemaniku? Xili sakit, aku
menjaganya dan Yifang pergi… baiklah. Aku tunggu,” ucapku pada Donghae hyung
lewat telepon.
Syukurlah syuting untuk variety show yang diikuti
Donghae hyung sudah selesai, jadi dia bisa kesini. Aku merasa tak enak berduaan
begini dengan Xili. Kalau dengan Yifang yah… kesibukanku terpotong ketika bel
berbunyi. Takut membuat Xili bangun, aku bergegas membuka pintu dan melihat
orang yang kutunggu sudah datang.
“Wookie ya~ mana Xili?” Tanya Donghae hyung,
kedengaran terburu-buru.
“Dia di kamarnya. Dia demam cukup tinggi, aku jadi
agak khawatir.”
“Mana, sini aku lihat.”
Donghae hyung masuk melewatiku dan aku mengikutinya
menuju kamar Xili. Xili masih tertidur, tapi tampak gelisah dan terus
berkeringat dingin. Donghae hyung memandangnya dengan wajah khawatir yang… hmm…
mungkinkah?? Setelah itu kami sibuk mengompres Xili dalam diam, takut dia
terbangun. Ketika jam makan siang tiba, aku dan Donghae hyung duduk di ruang tamu,
makan siang sambil menonton tivi.
“Hyung, sebenarnya aku bingung. Kenapa ya Yifang
meninggalkanku berdua saja dengan Xili?”
“Karena dia khawatir Xili sendirian saja dalam
keadaan sakit?”
“Tapi kenapa harus aku?”
“Karena kau yang paling dekat dengan Yifang,” jawab
Donghae hyung setelah menelan setumpuk nasi.
“Bukannya dia dekat dengan Yesungie hyung?”
“Ng… salah juga. Kalau dibilang dekat denganmu,
Yifang juga dekat denganku koq. Agak aneh ya memang…”
Kami mengunyah makan siang kami sambil berpikir…
“Hyung, sebenarnya… apa kau tau aku suka kesini untuk
memasak makan siang dan makan malam? Yifang kan belakangan sering tidak di
apartemen, yang ada Cuma Xili. Aku pernah juga pinjam kunci ID Xili ketika Xili
waktu itu bilang besok dia tak ada di apartemen.”
“Kau seperti koki saja sekarang, Wookie. Tapi apa
Yifang tau kau melakukan ini untuknya?”
“Ng… harusnya tau, kan? Kupikir Xili memberitaunya.
Kemarin aku meninggalkan pesan di meja makan, semacam ucapan selamat makan
begitulah, tapi… ketika tadi kami bertemu, dia tidak bilang apa-apa.”
“Aneh… ah, tunggu! Kau bilang tadi, kau pinjam ID
Xili, dan kebanyakan… kau kesini tak ada Yifang? Itu mungkin… Wookie ya~”
Donghae hyung meletakkan mangkuknya di meja, “Yifang salah paham padamu. Dia
pikir kau suka Xili, kau lakukan itu untuk Xili, bukan dia.”
“Eh, tapi… kemarin aku tinggalkan pesan, kutulis
namanya koq.”
“Tapi kemungkinannya ya itu, dia salah paham. Kau
harus jelaskan ini padanya kalau tidak mau ke depannya jadi berantakan.”
“Ne. tapi Hyung… ng… Yifang sekarang… sepertinya
dekat dengan Yesungie hyung…”
Donghae hyung menatapku lekat. Dia adalah salah satu
hyung favoritku selain Yesungie hyung, Leeteuk hyung dan Hangeng hyung. Aku
bisa curhat padanya bila perlu, seperti sekarang misalnya.
“Wookie, aku tau posisimu sulit, tapi kau tau, kau
harus hormati keputusan Yifang. Kalau memang dia memilih Yesung hyung… yah,
sekarang sih belum bisa dibilang dia sudah benar-benar memilih, tapi lebih baik
kau jelaskan dulu kesalahpahaman yang ada, supaya kalau dia memilih, dia bisa
memilih dengan lebih objektif. Apapun hasilnya, meski berat, kau harus
menerimanya, Wookie ah~”
Aku mengangguk dalam diam. Membayangkan Yifang dan
Yesungie hyung bersama, ada perasaan aneh bergolak dalam dadaku. Senang? Bisa
jadi, karena aku sayang mereka berdua. Wanita mana yang pantas untuk Yesungie
hyung daripada Yifang yang manis dan lemah lembut, juga mandiri itu? Dan pria
mana yang pantas untuk Yifang daripada Yesungie hyung yang berkepribadian
menarik, romantic dan dewasa itu? Apalagi kalau mereka saling mencintai, pasti
akan terasa lebih indah… tapi mungkin juga aku sedih. Kupikir akhirnya aku
menemukan wanita yang benar-benar kucintai, yang untuknya akan kuberikan
segalanya, tapi… Donghae hyung menepuk bahuku.
“Semuanya belum pasti, oke? Kau harus jelaskan pada
Yifang, itu langkah pertama. Wookie, hwaiting!” kata Donghae hyung sambil
tersenyum.
“Ne, hyung. Gomawo.”
“Sebenarnya kalau soal saing-bersaing begini, aku
juga mengalaminya, mungkin sama beratnya juga denganmu. Wookie, aku suka Xili.”
Sebelum aku bisa menanggapinya, ponselku bergetar
hebat. Aku melihat ID Heechul hyung muncul.
“Yoboseyo, hyung… aku tidak bisa keluar sekarang, aku
sedang bersama Donghae hyung di apartemen Yifang… Xili sakit, kami menjaganya…
bagaimana kalau hyung yang kesini? Sekarang jam makan siang, kan? Ani, tak ada
siapa-siapa selain kami berdua dan Xili yang tidur. Baiklah, kami tunggu.”
“Waeyo? Heechul hyung mau bergabung dalam keramaian?”
“Ne. suaranya lesu sekali, mungkin dia mau
cerita-cerita. Tunggu dulu, tadi hyung bilang hyung suka Xili? Aku tau soal
itu, hyung, kelihatan koq.”
“Tapi apa kau tau kalau sainganku itu Hangeng hyung?”
tanyanya misterius.
“MWORAGO?”
“Ne. makanya aku bilang, sainganku berat. Xili suka
sekali main ke restonya hyung, kau tau? Bukan hanya untuk mengunjungi Pipi sih,
tapi lebih ke mengunjungi majikannya. Hangeng hyung juga semenjak menolong Xili
hari itu, sepertinya jadi jauh memperhatikan dia.”
“Ah, aku jadi ingat, hyung. Pada malam tahun baru
yang kemarin, sepertinya aku melihat Xili berduaan dengan Hangeng hyung di
balkon. Kalau tidak salah waktu itu hyung lagi main game dengan yang lain.”
“Ng… Donghae oppa, Ryeowook oppa…” panggil Xili
dengan suara lesu, membuat kami kaget.
Kami menoleh dan melihat Xili dalam keadaan
berantakan dan pucat bersandar di tembok menuju ruang tamu. Aku berharap dia
tidak mendengar apa yang barusan kami bicarakan. Atau dia dari tadi sudah
disitu? Kami kan membelakangi arah itu! Ani… jangan sampai…
“Ah, Xili, sudah bangun?” Tanya Donghae hyung sambil
tersenyum.
“Yifang onnie dimana? Koq kalian ada disini?”
“Yifang menyuruh kami menjagamu. Kau lapar tidak,
Xili? Kau harus makan bubur. Aku siapkan ya,” ucapku sambil menarik tangan
Donghae hyung.
“Boleh, oppa. Gomawo…”
“Kau istirahat dulu di kamarmu, nanti kami bawakan
kesana.”
Xili kembali masuk ke kamarnya, tampaknya masih
setengah sadar, sedangkan aku dan Donghae hyung ke dapur. Aku kembali
memanaskan bubur yang kumasak, sedangkan hyung sengaja menempel dekat padaku.
Kami bertukar pandang, tapi kami berbicara lewat lirikan mata kami. Kami
sama-sama bertanya, apa Xili mendengar pembicaraan kami? Kamipun berharap yang
sama, supaya dia tidak mendengar apapun. Aku menyerahkan semangkuk bubur yang
panas ke tangan hyung.
“Hyung, suapi Xili. Aku akan mempersiapkan makanan
untuk Heechul hyung. Siapa tau dia belum makan.”
“Ne,” ujar Donghae hyung tanpa banyak bicara.
Dia menghilang ke dalam kamar Xili, sedangkan aku
sekali lagi sibuk di dapur. Aku, bersaing dengan Yesungie hyung, Donghae hyung
bersaing dengan Hangeng hyung. Kenapa bisa begini? Kenapa kami yang bersahabat
belasan tahun, sekarang harus mencintai wanita yang sama? Terkadang aku
berpikir, ini pastilah takdir. Hanya saja… apa Yifang itu takdir cintaku atau
Yesungie hyung, aku tak berani menebak. Ah, itu pasti Heechul hyung di luar.
Untunglah aku berhasil membuat dua lauk untuknya. Betapa kagetnya aku melihat
tampang Heechul hyung yang lesu di depan pintu.
“Hyung, apa yang terjadi denganmu?”
“Ingin cerita-cerita. Mana Hae?” tanyanya, masuk ke
dalam.
“Hyung sedang menyuapi Xili. Hyung belum makan?
Bagaimana kalau kita ngobrol sambil makan?”
“Kau selalu tau situasi, Wookie. Okelah.”
“Duduk di ruang tamu tunggu aku, hyung.”
Aku mengambil semangkuk nasi dan kedua lauk tadi dan
menatanya di meja ruang tamu. Pertamanya Heechul hyung makan dalam diam, tapi
akhirnya dia bicara juga.
“Wookie, menurutmu… apa ada wanita yang bisa menolak
pesonaku?”
“Mana mungkin ada.”
“Menurutmu apakah aku benar-benar tampan dan keren,
idola para wanita?”
“Masih perlu Tanya, hyung? Meski hyung bukan artis,
hyung punya banyak fans. Hyung luar biasa keren koq,” jawabku jujur.
“Tapi… taukah kau… aku baru ditolak!”
“Mwo? Tidak mungkin… mana ada wanita yang berani
menolak hyung. Siapa sih dia?”
“Itu memang terjadi, Wookie. Yang menolakku itu Meifen.”
“TIDAK MUNGKIN!”
“Wookie, suaramu kedengaran sampai kamar. Untung Xili
sudah tidur. Kenapa sih kau heboh begitu?” sergah Donghae hyung resah, keluar
dari kamar Xili.
Akupun menceritakan apa yang terjadi pada Heechul
hyung, dan sama saja, Donghae hyung juga berteriak, tapi dia menahan volume
suaranya.
“Tapi… tapi… hyung suka Meifen? Bukannya hyung selama
ini bertengkar dengannya?”
“Itu kejadian lama, Wookie. Kau taulah yang seperti
Meifen itu tipe yang kusuka. Dia modis, cantik, cukup terkenal, tapi tidak
manja dan masih suka kerja,” jawab Heechul hyung.
“Omo… jadi tadi hyung menembaknya di resto?”
“Aku mengajaknya keluar resto sebentar dan aku
langsung bilang: ayo pacaran denganku. Dan dia tanpa menunggu lama langsung
bilang: tidak bisa. Aku tak menyangka… ternyata begini rasanya sakit hati…”
“Yang sabar hyung. Mungkin Meifen punya alasan
sendiri,” ujar Donghae hyung.
“Ne. setelah itu aku baru tau apa alasannya. Matanya
tidak lepas dari Hangeng. Dia begitu cekatan kalau membantu Hangeng, bahkan mereka
sering ngobrol berdua. Aku curiga Hangeng sudah sampai tahap curhat padanya.”
Aku dan Donghae hyung bertukar pandang. Hangeng hyung
LAGI? Bagaimana mungkin semuanya bisa menjadi benang kusut begini? Hanya karena
kedatangan mereka ke Seoul…
“Hyung, begini. Tadi kami baru saja bertukar pikiran
soal ini. Yifang… aku menyukainya, dan Yesungie hyung juga menyukainya. Nah,
Yifang menduga aku suka pada Xili. Sekarang masalahnya Donghae hyung menyukai
Xili. Dan… Xili dan Hangeng hyung hubungannya dekat. Tadi barusan hyung bilang
Meifen juga dekat dengan Hangeng hyung sementara hyung suka pada Meifen? Ini
namanya…” jelasku ragu, tak tau kata mana yang tepat menggambarkan ini semua.
“Berantakan,” kedua hyungku menjawabnya bersamaan.
“Sekarang masalahnya, siapa yang Yifang sukai: kau,
atau Yesung hyung? Dan siapa yang Xili sukai: aku atau Hangeng hyung? Juga
siapa yang Hangeng hyung suka: Xili atau Meifen? Omona… kenapa urusannya jadi
begini sih?” Tanya Donghae hyung bingung, mengacak-acak rambutnya.
“Wanita-wanita ini memang hebat, eh… rata-rata
diperebutkan dua pria… yang hebatnya juga Hangeng diperebutkan dua wanita.
Wuah… aku kalah ya sama Hangeng?” Tanya Heechul hyung, kedengaran down.
“Bukannya kalah soal penampilan sih hyung, kurasa
lebih ke selera mereka saja,” jawabku, masih juga kedengaran tak yakin.
Akhirnya kami lebih banyak diam, sepertinya sibuk
dengan pikiran masing-masing. Akupun bingung… apa yang harus kulakukan pada
cintaku? Melerakan Yifang? Tapi… sanggupkah aku…?
“Kurasa kita harus menghubungi Leeteuk hyung. Keadaan
Xili tambah parah nih,” usul Donghae hyung, untuk kesekian kalinya bolak-balik
kamar itu.
Aku melirik jam dinding, tak menyangka sudah jam 6
malam sekarang.
“Tadi pagi hyung sudah ke rumah sakit jam tujuh pagi
kan? Harusnya sekarang dia sudah pulang.”
“Ng, aku coba telepon dia saja,” putus Heechul hyung,
mengambil ponselnya.
Dia menempelkan ponselnya ke telinganya, tapi
wajahnya berkerut, lalu menekan nomor lain.
“Yoboseyo, apa Dokter Park Jungsu ada? Ne, ini dari Kim.
Ne… oh? Baiklah. Kamsahamnida.”
“Leeteuk hyung ada?” tanyaku begitu Heechul hyung
menutup ponselnya.
“Ani. Tadi ponselnya tidak aktif, dan ketika aku
telepon rumah sakit, katanya dia sudah pulang.”
“Bagaimana kalau aku mengecek ke atas? Kalau hyung
ada aku langsung mengajaknya ke bawah?”
“Boleh juga sih. Tolong ya, Wookie,” pinta Donghae
hyung.
“Eh, ngomong-ngomong sudah semalam ini. Aku pulang
saja dulu daripada nanti bertemu Meifen. Aku untuk sementara tak mau
melihatnya. Oh ya, kalian jangan bahas masalah ini ya, malu aku,” wanti Heechul
hyung.
“Lho, tidak mau makan dulu?” tanyaku.
“Ani. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi. Bye…”
Dan Heechul hyung pergi mendahuluiku. Setelah
memanaskan sisa lauk tadi siang dan memasak sedikit lagi untuk persiapan
Yifang, Manshi dan Meifen pulang, aku keluar apartemen dan meninggalkan Donghae
hyung yang masuk lagi ke kamar Xili. Kalau aku bertemu dengan Yesungie hyung,
apakah lebih baik aku tanyakan padanya apakah dia dan Yifang… ah, itu nanti
sajalah. Ketika membuka pintu apartemenku, aku langsung keluar lagi dengan
kaget. Aku melihat Yifang, sedang duduk di sofa ruang tamu kami. Kenapa dia
tidak pulang ke apartemen, malahan kesini? Apa yang dia lakukan?
“Aduh, pakai acara jatuh lagi,” keluh Yifang.
Aku bersembunyi di balik tembok dan mengintip lewat
pintu yang kubiarkan sedikit terbuka. Kenapa aku sembunyi-sembunyi begini sih?
Bukannya ini apartemenku? Aku melihat Yifang menunduk mencari-cari sesuatu. Tak
lama kemudian badannya sepenuhnya menghilang di depan sofa, aku hanya bisa
melihat punggungnya. Yang membuatku kaget, aku mendengarnya berteriak keras
sekali. Aku melihatnya menjulurkan jari tengahnya yang berdarah, dan baru akan
berlari ke dalam ketika aku mendengar ada suara yang lain di dalam.
“Yifang, waeyo? Aku bilang tunggu sebentar, aku lagi
menyiapkan ramen tadi, tapi kau…” Yesungie hyung, masuk ke ruang tamu dengan
membawa nampan yang berisi dua mangkuk besar sesuatu yang berasap, “kenapa kau
bisa berdarah?”
Dia meletakkan nampan itu di meja ruang tamu lalu
beranjak mendekati Yifang, membantunya berdiri. Sekarang Yesungie hyung
memegangi tangan kanan Yifang, jari tengahnya masih berdarah.
“Kau ini bagaimana sih? Bagaimana kau bisa membiarkan
jarimu terluka? Jarimu ini penting untukmu!”
“Mianhae, oppa, habis tadi aku menjatuhkan suratnya
ke bawah sofa, jadi aku mau mengambilnya, tak taunya sofanya berat dan aku
menjatuhkannya ke tanganku.”
“Pabho! Kau kan bisa minta aku yang ambilkan. Omona,
Yifang…”
Yesungie hyung mulai meniupi luka itu, mengambil
tissue untuk membersihkan darah yang mengalir.
“Sakit?”
“Perih, oppa.”
Dan tiba-tiba, Yesungie hyung memasukkan jari yang
terluka itu ke mulutnya, dia menghisap darahnya. Dan pada saat itu pikiranku
macet. Apa yang kulihat? Apa yang sebaiknya kulakukan? Yifang, kumohon… kalau
kau tidak mencintainya, tariklah jarimu, tolaklah dia… kumohon…
“Op… oppa…” kata Yifang, matanya terbelalak, wajahnya
memerah sepenuhnya.
Wajah seperti itu, yang begitu manis, aku tak pernah
melihatnya, tapi mengapa… dia berwajah begitu pada Yesungie hyung? Yesungie
hyung mengeluarkan jari itu, lalu menggenggam tangan Yifang.
“Sekarang darahnya sudah berhenti. Aku akan mengambil
kotak P3K dan mengobatimu.”
“Oppa… tak perlu melakukan itu semua, ini Cuma luka
kecil.”
“Karena aku tak ingin kau disakiti, walau itu luka
yang sangat kecil sekalipun, Yifang.”
Yifang dan Yesungie hyung kini bertukar pandang,
bahkan mata Yifang mulai berbinar. Aku membalikkan badanku dan kembali ke
apartemen Yifang dengan jantung berdetak kencang. Aku menekan bel apartemen,
dan merasa kepalaku pusing. Meifen membukakan pintu untukku.
“Lho, Ryeowook oppa? Mana Leeteuk oppa-nya?” Tanya
Meifen.
“Ani, dia… belum pulang,” jawabku dengan suara yang
serak.
Aku mencari sosok Donghae hyung, tapi yang kulihat
hanya Manshi yang wajahnya pucat duduk di ruang tamu, memandangku.
“Anyong, Ryeowook oppa,” sapanya.
“Anyong, Manshi. Dimana Donghae hyung?”
“Dia di kamar Xili.”
Aku langsung bergegas ke kamar paling belakang itu.
Aku membuka pintunya dengan agak keras dan Donghae hyung yang sedang duduk di
tepian ranjang Xili melonjak kaget. Dia menempelkan jari telunjuknya ke
bibirnya, memperingati aku untuk diam. Aku melembutkan langkahku sementara
menutup pintu. Aku duduk perlahan di tepian ranjang itu.
“Mana Leeteuk hyung? Dia belum pulang?” tanyanya
dengan suara berbisik.
Aku menggelengkan kepalaku. Donghae hyung meletakkan
kedua tangannya di bahuku.
“Wae, Wookie? Ada masalah? Tatap mataku, bicara
padaku. Siapa yang menyakitimu? Aku akan membalasnya.”
Air mataku menetes begitu aku mendongakkan wajahku,
padahal aku tak ingin dia mengalir. Tapi menangis di hadapan Donghae hyung
bukan hal yang memalukan untukku, toh aku juga sering menangis begini ketika
merindukan keluargaku. Hyung langsung menarikku ke pelukannya, sementara aku
masih menangis, berusaha menahan isakanku.
“Wookie ya… kau kenapa? Menangis… menangislah kalau
ini bisa membuatmu bahagia kembali… aku ada disini untukmu, kau tak sendirian,
Wookie ya…”
Aku melepaskan tangisku di bahunya. Aku ingin
melepaskan semua bebanku, andai aku mau. Andaikan saja ketika aku selesai
menangis, aku bisa melupakan Yifang, alangkah baiknya… dan dua jam kemudian aku
memutuskan untuk mengecek Leeteuk hyung lagi, soalnya keadaan Xili sepertinya
semakin parah. Aku perlahan-lahan mengintip apartemen kami, untunglah tak ada
siapa-siapa. Tapi dari dalam tiba-tiba Sungminnie hyung keluar.
“Lho, kau darimana, Wookie? Aku terpaksa makan ramen
nih,” keluhnya, mengangkat semangkuk ramen yang berasap.
“Mian, hyung, aku menjaga Xili. Ada Donghae hyung
juga disana. Xili sakit. Leeteuk hyung sudah pulang?” tanyaku.
“Ah, baru saja pulang. Cepat suruh hyung kesana,
siapa tau Xili kena penyakit apa.”
Aku segera mengetuk pintu kamar Leeteuk hyung.
Leeteuk hyung kelihatan lelah, tapi sudah selesai mandi, dan bagaimanapun dia
tetap tersenyum ramah, matanya berbinar.
“Wookie? Aku mendengar ada yang sakit? Tadi kau
bicara pada Sungminnie?” tanyanya.
“Ne, Xili. Hyung bisa periksa dia? Ng… sekalian
titipkan pesan kalau aku tidak kesana lagi pada Donghae hyung. Aku… mau
istirahat,” jawabku.
“Aku langsung kesana. Baiklah. Kau istirahatlah,
Wookie, jangan sampai berikutnya kau yang sakit.”
Ketika Leeteuk hyung sudah pergi, aku masuk ke
kamarku dan termenung disana. Mataku terpaku pada ranjang di seberang
ranjangku. Ranjang Yesungie hyung, hyung yang paling kusayangi. Tapi kenapa
saat ini aku begitu ingin membencinya? Apakah aku cemburu? Kenapa aku tidak
bisa merelakan mereka saja? Dan entah sudah berapa lama aku seperti itu sampai
aku melihat Yesungie hyung. Dia kelihatan sangat bahagia, dan itu membuat
hatiku semakin panas.
“Kenapa kau bengong begitu, Wookie?” tanyanya,
terdengar khawatir.
Tapi aku memandangnya dengan pandangan yang begitu
marah, yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bagaimana mungkin aku begitu?
Kenapa aku jadi begitu kejam?
“Hyung dan Yifang… apa hubungan kalian?” tanyaku, aku
tak bisa mengendalikan nada bicaraku.
“Mwo? Kami? Tak kenapa-kenapa koq. Tapi kami dekat.
Itu saja.”
“Kalian pacaran kan?”
Tiba-tiba Yesungie hyung menatapku tajam. Dia
menyunggingkan senyum tipis yang mengejek.
“Kalau iya memangnya kenapa? Kau cemburu? Wookie,
bersikaplah dewasa. Kalau kau memang mencintainya, sana kejar dia.”
“Aku…”
“Tapi posisimu pasti sulit. The girl is mine.”
Aku mematung di tempatku, tak mampu mengucapkan
apa-apa. Aku melihatnya mengambil tas yang cukup besar lalu menjejalkan
beberapa pakaian dari dalam lemari ke tas itu. Setelah mengepaknya, dia
mengangkat akuarium besar yang berisi ketiga kura-kuranya dengan tangannya. Dia
pergi begitu saja. Kemana?
“Lho, kau mau kemana, Yesung hyung?” aku mendengar
Sungminnie hyung di luar bertanya padanya.
“Pindah untuk sementara. Gampang koq kalau mau
menemuiku, aku di tempatnya Yifang. Sampai jumpa.”
Dan Sungminnie hyung juga hanya termangu melihat
Yesungie hyung pergi. Leeteuk hyung keluar dari kamarnya dan bertanya apa yang
terjadi. Akhirnya, akupun tak bisa menjawab apa-apa. Tapi Yesungie hyung benar…
aku… mungkin tak punya kesempatan lagi. Beranikah aku… bersaing dengannya?
여기까지야 그 쯤하면 됐어
This
is where it ends you've done enough
떠날 시간 눈물은 이해할께
I'll
understand your tears when it's time for you to leave
자 이제 남자답게 악수해
Now
let's shake hands like men
그녈 내 품에 안고서 웃고 있을테니
Because
she's gonna be in my embrace smiling
Dear Diary,
Cinta oh
cinta… kenapa begitu membingungkan? Di pagi hari aku terbangun, Xili tersenyum
padaku, dia bilang aku tertidur di tepi ranjangnya begitu saja, dan dia bahagia
aku begitu memperhatikannya. Mungkin saja pintu kebahagiaan bagiku sudah
terbuka lebar.
Tapi aku
menemukan Yesung hyung, keluar dari kamar Yifang. Menurutnya, Yifang jadi
pindah ke kamar Manshi, mereka tidur berdua, dan untuk waktu yang dia tidak
bisa perkirakan, dia akan terus ada disana. Apakah dia dan Wookie… akhirnya
mencapai puncaknya juga saat bertengkar? Aku tak ingin memihak siapapun, tapi
aku melihat Wookie-pun tak lagi menangis, sepertinya hatinya sudah sangat
sakit, pada tahap yang dia tak bisa terima. Leeteuk hyung sudah membujuk Yesung
hyung untuk kembali, tapi dia tak mau. Mimi hanya berharap ini tidak diketahui
perusahaan, sementara yang membuatnya pusing adalah sebentar lagi kami akan
merekam album baru lagi. Tapi dengan keadaan Wookie dan Yesung hyung yang
begini… apakah kami masih bisa berlanjut?
Aku tak
ingin mengalami hal yang sama seperti Wookie. Aku harus bergerak, aku harus
mendapatkan Xili sesegera mungkin. Jika aku merasakannya juga… apakah aku bisa
menahannya… rasa cemburu dan sakit hati itu?
Donghae
(January)
No comments:
Post a Comment