Just You
Chapter 15
Heechul memandangi Hyomi yang tampak terlalu bahagia setelah
dramanya dan Siwan mencapai rating 21,8% hari ini. Itu jelas adalah pencapaian
yang tinggi untuk drama yang baru tayang 6 episode saja. Masih ada sisa 12
episode dan drama itu diperkirakan akan memperoleh angka yang lebih tinggi lagi
setelahnya. Semuanya makan-makan dan minum soju. Heechul berada disini karena
Hyomi minta ditemani. Ujung-ujungnya Heechul hanya berdiam diri di samping
Siwan, merasa terasing. Yang ada di pikiran Heechul hanya Minna saat ini, dia
tidak berminat pada hal lainnya.
“Heechul,” panggil Siwan sambil menyenggol Heechul.
“Eh, ya, hyung?”
balas Heechul, mengerjapkan matanya.
“Hyomi sepertinya mabuk. Kau mau mengantarkannya pulang?”
Heechul melihat Hyomi yang duduk di seberang mejanya sudah
tertidur di atas meja. Wajahnya merah sekali tapi dia sesekali masih tersenyum
dan menggumam sendiri.
“Baiklah, hyung,
aku yang akan mengantarnya.”
“Hati-hati ya.”
Heechul memapah Hyomi yang masih bergumam sendiri sepanjang
perjalanan menuju mobil. Heechul mendudukkan Hyomi di kursi depan, memakaikan
seat belt padanya sebelum Heechul menjalankan mobilnya. Heechul tengah
berpikir… bagaimana kalau dia sekalian menemui Minna? Sekadar mencari alasan
untuk melihat Minna? Heechul melihat Hyomi, lalu teringat dia bisa punya alasan
bagus malam ini. Heechul akan sengaja meminta Minna untuk merawat Hyomi yang
mabuk. Memuji otak briliannya, dia tersenyum sendiri.
“Hyomi, kita sudah sampai. Bertahanlah sebentar ya,” pinta
Heechul sambil menurunkan Hyomi dari mobil.
Namun tubuh Hyomi terasa makin berat, kakinya tampaknya tidak
sanggup menjejak lagi. Heechul mempertimbangkan sejenak sebelum menggendong
Hyomi ala bridal style. Si gadis, entah sadar atau tidak, mengalungkan
tangannya di leher Heechul dan menempelkan ujung kepalanya di bawah dagu
Heechul. Heechul merasa tidak enak dan ingin semuanya cepat berakhir. Dia hanya
berharap tidak ada yang melihat mereka dalam keadaan begini, dia takut akan
digosipkan yang tidak-tidak dengan Hyomi. Heechul segera naik lift menuju
lantai enam, sementara Hyomi di pelukannya masih tertawa sesekali. Heechul
berjalan menuju apartemen 607, menekan bel dengan susah payah. Sekali, dua
kali, tiga kali… Heechul bingung. Kemana Minna? Lalu yang membuat Heechul kaget
adalah yang membuka pintu apartemen bukannya Minna, melainkan Minwoo.
“Minwoo?” tanya Heechul.
“Stt, hyung, jangan
keras-keras, Minna sedang…” Minwoo menempelkan jarinya ke bibir, lalu kaget
melihat keadaan Hyomi, “Hyomi kenapa?”
“Dia mabuk. Apakah Minna bisa merawatnya sebentar?”
“Tidak bisa, hyung.
Akan kujelaskan nanti. Nanti hyung
datang kesini lagi saja. Rawat saja Hyomi duluan,” usul Minwoo.
Heechul makin penasaran dengan isyarat-isyarat Minwoo. Dia
segera menuju apartemen 608, mengarahkan jari Hyomi untuk dicocokkan dengan
mesin finger scan dan masuk ke dalam apartemen. Heechul langsung membawa Hyomi
untuk direbahkan di ranjang. Keadaannya terlihat mengenaskan, terlalu mabuk.
Heechul berpikir, andaikan ada Minna, dia bisa menggantikan baju Hyomi. Tapi
yang bisa dilakukan Heechul saat ini hanyalah membasuh bagian tubuh Hyomi yang
terlihat untuk mengurangi rasa kepanasan Hyomi. Heechul menuju kamar mandi dan
keluar dengan ember berisi air dan handuk kecil. Heechul meletakkan ember itu
di meja kecil di samping ranjang.
“Hyomi, aku akan membasuhmu.”
Heechul mengambil handuk dan mulai membasuh wajah Hyomi, lalu
turun ke lehernya. Heechul mendesahkan nafas melihat Hyomi memakai pakaian yang
begitu terbuka di musim gugur begini: t-shirt tanpa lengan Hyomi memiliki leher
rendah yang terbuka hingga ke dadanya. Heechul memalingkan wajahnya ketika
melihat belahan dada Hyomi yang sedikit terlihat. Setelah beberapa waktu lewat,
Heechul pura-pura tidak melihat daerah itu lagi dan membasuh tangan Hyomi.
Terakhir adalah kaki Hyomi. Heechul membukakan sepatu high heels Hyomi, lalu
membasuh kakinya sampai batas lutut. Heechul makin tidak nyaman melihat
hotpants yang begitu pendek yang melekat di paha Hyomi.
“Hyomi, aku pulang sekarang ya,” pamit Heechul.
Baru saja Heechul akan beranjak, Hyomi menarik tangannya dan
membuatnya kaget.
“Hee oppa…” panggil
Hyomi lemah.
“Apa kau ingin minum, Hyomi? Aku akan mengambilkannya sebelum
aku pulang.”
“Oppa jangan
pulang. Aku… sekarang aku takut sendirian.”
Hyomi bangkit dan memeluk Heechul, sekarang jelas dengan
sengaja menempelkan tubuhnya pada Heechul. Heechul bahkan bisa mendengar detak
jantung Hyomi yang berdetak tidak normal, lalu jantung Heechul juga begitu. Dia
masih terpaku ketika nafas hangat Hyomi (yang sedikit berbau soju) menggelitik
lehernya. Batin Heechul meneriakkan alarm bahaya, bahwa ada sesuatu yang salah
yang terjadi sekarang.
“Hee oppa… neomu saranghae…” bisik Hyomi.
Hyomi menempelkan bibirnya pada bibir Heechul dan Heechul
langsung tersentak. Heechul menjauhkan tubuh Hyomi dengan perlahan agar dia
tidak tersinggung, lalu segera berdiri dan menjauhi ranjang.
“Mianhae, Hyomi.
Aku pulang sekarang,” pamit Heechul, nyaris berlarian ke luar apartemen.
Hyomi memukuli bantal dengan marah. Nafasnya memburu,
wajahnya merah bukan karena mabuk namun marah dan malu.
“Kim Minna… apakah karena dia, Hee oppa? Kau terlihat begitu mengkhawatirkannya. Kau bahkan tidak
tergoda olehku, padahal aku sudah merencanakan semua ini… Kenapa kau tidak
jatuh ke dalam perangkapku?” tanya Hyomi marah, “jadi sekarang kau menemui
Minna? Kau… masih mencintainya, iya kan?”
Heechul masih terengah ketika dia menekan bel apartemen
Minna. Belum sempat dia menekan untuk yang kedua kalinya, Minwoo sudah membuka
pintu, menariknya untuk masuk sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya
lagi.
“Sebenarnya ada apa?”
Minwoo memberi isyarat untuk mengikutinya. Heechul bisa
melihat Minna terbaring gelisah di ranjangnya. Minwoo mengambil handuk dan
mengusap peluh yang memenuhi wajah Minna. Hati Heechul makin teriris melihat
keadaan Minna… dia tidak tau kenapa Minna terlihat begitu pucat.
“Untung aku berada di dekatnya saat dia mau pulang dari Star
Empire tadi. Katanya kepalanya sangat pusing dan itu mengganggu penglihatannya.
Dia terpaksa minta bantuanku. Dan keadaannya sudah setengah sadar waktu aku
membawanya ke apartemen.”
“Oppa… Ryeowook oppa…” gumam Minna dalam tidurnya.
Heechul tersentak.
“Ryeowook oppa? Nuguseyo?”
“Hyung, ayo kita
bicara di luar saja. Kita akan kembali kesini lagi setelah selesai bicara. Ada
banyak hal yang ingin kuceritakan pada hyung,”
ajak Minwoo, berbisik.
Heechul mengangguk. Mereka meninggalkan apartemen setelah
Minwoo mengambil kunci apartemen yang diletakkan Minna di belakang pintu
apartemennya. Keduanya hanya berjalan dalam diam menuju taman di belakang
apartemen. Minwoo duduk di rerumputan, lalu Heechul menyusulnya di sampingnya,
duduk bersila. Minwoo memandangi langit yang cerah, berbintang banyak dan bulan
sabit ikut menghiasi pemandangan langit malam. Minwoo mendesahkan nafas lelah.
“Ada banyak hal yang perlu hyung ketahui. Namun sebelumnya ada satu hal yang perlu kutanyakan.
Apakah hyung mencintai Minna?
Mencintai Minna lebih dari Junyoung hyung?”
“Tentu saja! Aku hanya… terlambat selangkah dari Junyoung.
Tidak, mungkin sekarang… sudah terlambat terlalu jauh,” sesal Heechul.
“Ani, hyung. Hubungan Minna dan Junyoung hyung belum berkembang sejauh itu.
Walaupun Minna tidak mengatakannya, aku tau dia memikirkan hyung lebih daripada Junyoung hyung.”
Heechul memandangi Minwoo. Matanya masih tetap menatap
langit.
“Tapi dia tidak pernah menyebutku oppa,” sanggah Heechul.
“Sangat sulit berharap Minna mengucapkan kata ‘oppa’ lagi.”
“Waeyo? Apakah
karena Ryeowook ‘oppa’-nya?”
Minwoo kembali mendesahkan nafas panjang.
“Kini aku ingin hyung
mengetahui semuanya karena aku tau hyung
berhak tau. Tentang kedekatan aku dan Minna, apa yang menyebabkan kami begitu
akrab dan… apa yang terjadi pada Minna sekarang,” ujar Minwoo panjang.
Cerita Minwoo berawal dari dirinya yang bertemu Minna di
taman Star Empire. Itulah kali pertama Minwoo merasa dekat dengan Minna, juga
kali pertama dia menyebut nama Ryeowook. Heechul diam dan mendengarkan tanpa
menyela cerita Minwoo. Dan cerita berikutnya adalah ketika Minwoo dan Minna
bertemu kembali di tepian sungai Han.
“Minna, mianhae aku baru datang. Apa kau terlalu lama
menungguku?”
Minwoo duduk di samping
Minna, menjilati batangan permen lollipop. Dia tertawa, tidak percaya kalau
Minwoo ini setahun lebih tua darinya.
“Gwaenchana, aku baru sampai koq,” jawab Minna.
“Jadi… kau memanggilku
kesini untuk menemanimu memandangi sungai Han?” tanya Minwoo polos.
“Tentu saja bukan!
Minwoo-sshi, aku ingin menepati
janjiku padamu,” ucap Minna.
Mata Minwoo melebar.
“Janji? Maksudmu…
cerita tentang Ryeowook?”
“Ne. Dan aku mengizinkan Minwoo-sshi memanggilnya Ryeowook hyung untuk ke depannya.”
“Ryeowook… hyung?”
“Kim Ryeowook adalah oppa-ku. Usianya empat tahun lebih tua dariku.
Meskipun begitu, dia bukanlah oppa
kandungku. Dia adalah anak dari sahabat dekat appa dan eomma. Pada usianya yang
ketiga tahun, appa dan eommanya Ryeowook oppa mengalami kecelakaan pesawat ketika keduanya berlibur ke Taiwan. Sejak
saat itu, Ryeowook oppa yatim piatu.
Mendengar hal ini, eomma dan appaku yang sudah menikah lima tahun lamanya
namun belum memiliki anak, bersedia merawat Ryeowook oppa dan menganggapnya seperti anak sendiri.
Akupun lahir setahun kemudian. Aku tidak pernah tau oppa adalah anak angkat karena dia begitu
perhatian padaku.”
Minna berhenti
bercerita sebentar, berdeham beberapa kali hingga suaranya tidak terdengar
serak lagi, baru melanjutkan ceritanya.
“Aku mengenal oppa sebagai sosok yang sempurna. Dia selalu
bernyanyi dengan suara malaikatnya ketika aku menangis; dia selalu memainkan
piano bermelodi indah ketika aku kesepian; dia selalu memasak untukku ketika
aku marah. Dialah yang selalu menemukanku ketika aku tersesat, entah dimanapun
aku berada, entah bagaimanapun caranya, ketika aku meneriakkan namanya, dia
pasti akan bisa menemuiku,” cerita Minna, tersenyum tipis mengingat kenangan
itu, “ajaib, kan? Dia mengajariku bernyanyi dan main piano, berharap aku bisa
berbakat music seperti dirinya. Aku mulai mencintai music dan nyanyian. Suatu
hari, oppa mendapat tawaran untuk
menjadi trainee di SM Entertainment, namun oppa menolaknya. Keadaan ekonomi keluarga kami tidaklah begitu baik saat
itu dan oppa menggunakan suara dan
jarinya untuk membantu appa mencari
uang. Namun, utusan dari SM Entertainment itu tetap menunggu, berharap oppa akan mengubah pikirannya dan bergabung dengan
mereka.”
Minwoo membelalakkan
matanya.
“SME… pastilah Ryeowook
hyung sangat berbakat. Aku saja dulu
bermimpi untuk bergabung dengan mereka,” gumam Minwoo.
Minna tersenyum tipis.
“Aku masih bisa
mengingat nyanyiannya dengan jelas di kepalaku. Kalau Minwoo-sshi bisa mendengarnya… Minwoo-sshi pasti akan setuju denganku, bahwa suaranya
seindah malaikat,” ucap Minna, matanya berbinar, “dia memang malaikatku. Ketika
oppa berusia 16 tahun dan aku 12
tahun, appa meninggal karena kanker
lambung yang parah. Kami tidak pernah tau appa sakit, appa menutupinya dari
kami hingga dia mencapai stadium akhir. Aku begitu terpuruk kehilangan appa, tapi oppa-lah yang berusaha selalu tegar dan menghiburku. Semua beban sekarang
ada di pundak oppa dan dia melupakan
impiannya menjadi artis… sekarang makin tidak mungkin. Dia bekerja
kesana-kemari, aku nyaris tidak melihatnya di rumah kecuali malam hari. Di
malam hari itulah dia mengajariku bernyanyi dan main piano, terkadang
mengajakku menikmati pemandangan Incheon di malam hari. Oppa ingin aku menjadi artis, meneruskan
mimpinya yang sirna. Aku berusaha semakin keras lalu mengikuti audisi dua tahun
kemudian. Aku gagal, merasa terpuruk, namun Ryeowook oppa masih tidak menyerah, masih percaya bahwa
aku bisa.”
Minna terdiam lagi,
membiarkan Minwoo meresapi ceritanya.
“Aku berjanji untuk
terus berusaha, hingga suatu hari… Ryeowook oppa pergi dari sisiku. Dia pulang malam itu dari pekerjaannya ketika
seorang pengendara mobil yang mabuk menerobos lampu merah dan menabrak oppa-ku. Dia…” suara Minna tercekat, “dia… mati
di tempat. Ketika tim medis datang, oppa
sudah tidak ada. Minwoo-sshi, bisakah
kau menebak apa yang kulakukan setelahnya?”
Minwoo menegang,
menggelengkan kepalanya ketakutan.
“Aku menolak pergi ke
pemakaman Ryeowook oppa. Aku tidak
pernah mengunjungi makamnya. Kupotong rambutku dan aku berubah dari sosok yang
ceria menjadi lebih pendiam. Aku memutuskan mengambil beasiswa sebagai manager
artis yang diajukan sekolahku, bertolak belakang dari impian yang dia harapkan
kucapai. Aku baru mengetahui kenyataan kalau dia bukan oppa kandungku di hari dia meninggal. Hatiku
hancur, tidak percaya bahwa dia mampu memberiku kasih sayang yang begitu tulus
walaupun aku bukan yeodongsaeng
kandungnya. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini, semuanya terlalu berat
bagiku. Aku bahkan tidak pernah kembali ke rumahku lagi selama empat tahun aku
tinggal di Seoul. Menginjakkan kaki di rumahku hanya akan membuatku teringat
padanya. Piano membuatku ingat padanya. Menjadi artis membuatku ingat padanya.
Aku ingin melupakan bahwa dia pernah hadir di hidupku, aku ingin luka hatiku
sembuh,” cerita Minna dengan suaranya yang bergetar.
Air mata Minwoo menetes
tanpa dia bersusah payah menghapusnya. Cerita Minna sulit diterima oleh akal
sehat. Minna kasihan sekali. Minwoo bahkan bisa merasakan keputusasaan dan
sakit hati Minna. Minwoo makin menangis…
“Siapa yang pernah tau…
siapa yang pernah tau apa yang ada di pikirannya? Apakah oppa memang menganggapku yeodongsaengnya atau… dia menganggapku gadisnya?” tanya
Minna, tanpa bisa Minwoo jawab, “aku tidak pernah tau, Minwoo-sshi, dia tidak pernah mengatakannya. Sejak saat
itu… aku… berjanji tidak akan memanggil siapapun dengan sebutan oppa lagi. Bagiku, oppaku hanya Kim Ryeowook seorang.”
Minwoo menahan isakannya,
berusaha menelan tangisannya sendiri.
“Aku sering memimpikan
Ryeowook oppa pada awal aku pindah ke
Seoul. Aku mengenal Hyomi yang sama sepertiku, berpetualang di Seoul, maka aku
sudah menganggapnya dongsaengku
sendiri. Hidupku sedikit lebih ceria karena sikap Hyomi yang selalu berpikiran
positif. Aku perlahan makin jarang memimpikan oppa. Namun… ingatan akan oppa
bangkit begitu saja ketika aku tersesat di Star Empire dan ditolong Heechul-sshi. Dia yang muncul dan menolongku membuatku
berpikir Ryeowook oppa baru saja
kembali ke sisiku. Tapi… Heechul adalah Heechul dan Ryeowook adalah Ryeowook.”
Minna menghela nafas,
merasa tercekat, tapi jelas merasa bebannya selama empat tahun ini telah terangkat
sepenuhnya.
“Jadi sekarang, Minwoo-sshi sudah tau segalanya tentang Ryeowook oppa. Hanya Minwoo-sshi seorang yang tau,” ujar Minna, mengakhiri ceritanya.
Kini Heechul tau siapakah yang Minna pikirkan ketika dia
memainkan piano dan menyanyikan “Just You”; diapun tau kenapa Minna tidak
memanggilnya oppa hingga saat ini.
“Hyung, gwaenchana? Perlu kulanjutkan ceritaku
ketika aku dan Minna mengunjungi Incheon?” tanya Minwoo.
“Gwaenchana.
Lanjutkan saja, Minwoo,” pinta Heechul.
Minwoo senang akhirnya
Minna menyetujui usulnya untuk mengunjungi Ryeowook dan kembali ke rumah Minna
di Incheon. Ketika sampai di Incheon, mereka langsung melepas lelah di rumah
Minna. Eomma Minna menyambut putrinya
itu dengan tangis haru dan Minna-pun menangis tidak kalah terharunya daripada
dia. Minna mengajak Minwoo mengunjungi kamar Ryeowook dan kamar itu masih
tampak rapi, bahkan barang-barangnya masih berada di tempat seharusnya, kalau
menurut perkataan Minna. Minna terus tampak sedih selagi menjelaskan banyak hal
pada Minwoo. Sore harinya, keduanya mengunjungi makam Ryeowook yang ada di
daerah perbukitan agak luar kota, berbekal denah dari eomma-nya Minna. Minwoo mulai merasa terenyuh
ketika melihat nisan putih berbentuk salib, bertuliskan tinta abu-abu dengan
nama Kim Ryeowook di bawah foto seorang anak muda yang tampan dan tersenyum
lebar. Namun Minwoo mulai menangis bahkan sebelum Minna menangis. Tangisan
Minwoo dimulai ketika Minna meletakkan sebuket bunga tulip kesukaan Ryeowook,
menyentuh nisannya seolah Minna bisa mengelus lengannya, lalu jatuh berlutut
tiba-tiba di depan nisan itu. Lama Minna terpaku dalam posisinya sambil
menangis deras. Minwoo sendiri tidak kuasa menghibur Minna, membiarkan diri
Minwoo dan gadis itu menangis. Setelah entah beberapa lama, akhirnya Minna
bicara juga.
“Ryeowook oppa… jeongmal mianhae. Masih mengenaliku kan dengan rambut pendek? Ini aku, yeodongsaeng kesayanganmu, Minna. Maafkan aku yang tidak
menemui oppa di saat terakhir, bahkan
tidak mengantar oppa kesini,” jelas
Minna, “aku tidak percaya aku tidak bisa bertemu oppa lagi… tidak bisa mendengar oppa
bernyanyi untukku lagi… Apa oppa tau?
Semenjak oppa tidak ada, aku selalu
berusaha sendiri ketika tersesat. Aku sekarang di Seoul, oppa. Ada orang-orang baik seperti Lee Hyomi dan
Jung Heechul yang menolongku ketika aku tersesat. Aku sekarang bekerja sebagai
manager artis dari Hyomi, dan ini… aku membawa sahabat dekatku, Ha Minwoo-sshi. Boleh kan dia memanggil oppa dengan sebutan hyung mulai dari sekarang?”
Minna menghapus air
matanya dengan punggung tangan, lalu melanjutkan percakapannya dengan nisan
Ryeowook.
“Aku juga mau minta
maaf aku menolak kesempatan menjadi artis, padahal itu impian oppa dan oppa berharap aku meneruskannya. Oppa pernah berkorban dan melindungiku agar aku memperoleh segala hal yang
baik,” ujar Minna, terisak, “akupun sekarang melakukan itu, oppa. Aku memilih jadi manager artis Hyomi
karena aku juga ingin berkorban dan melindungi orang yang kusayangi. Aku sudah
menganggap Hyomi dongsaengku sendiri…
dan aku yakin oppa akan mengerti
keputusanku ini. Oppa… mulai sekarang
aku akan sering mengunjungi oppa. Aku
janji akan datang lagi lain kali. Oh, aku lupa tanyakan kabar oppa di surga sana. Apakah surga itu indah, oppa? Apakah oppa bahagia? Apakah oppa sudah
tinggal bersama dengan appa sekarang?
Oppa jangan khawatir, aku akan
berusaha bahagia dan tidak cengeng lagi mulai sekarang. Demi oppa, aku akan jadi Kim Minna yang tidak
merepotkan orang lain lagi.”
Minna kini tersenyum
dan menyentuh foto Ryeowook.
“Oppa… tolong jadi perantaraan doaku ya. Ketika oppa bertemu Tuhan, tolong mohon pada Tuhan
untuk melindungi eomma dan selalu
memberkati langkahku. Oppa, sampaikan
salamku untuk appa juga ya. Katakan
aku sangat mencintai dan merindukannya. Oppa jangan pernah lupakan aku ya… aku juga mencintai oppa. Ryeowook oppa saranghae… neomu… neomu saranghae…” kata
Minna, berusaha terdengar ceria.
Minna menoleh dan
memberi isyarat pada Minwoo untuk berbicara dengan Ryeowook juga. Minwoo
membungkukkan badannya di depan nisan Ryeowook.
“Anyeonghaseyo, Ryeowook hyung, aku Ha Minwoo, sahabat Minna. Hyung, aku sudah menganggap Minna sebagai yeodongsaengku sendiri. Kalau hyung izinkan, aku akan menggantikan posisi hyung untuk melindungi Minna mulai dari sekarang.
Hyung tidak keberatan kan? Mungkin
aku tidak bersuara indah, tidak bisa main piano dan tidak bisa memasak… tapi
setidaknya aku bisa menjadi tempat curhat Minna. Boleh ya, hyung? Jebal…” mohon Minwoo.
Minna mendengus, untuk
pertama kalinya hari ini merasa ingin tersenyum.
“Hyung, aku akan mengunjungi hyung lagi lain kali dengan Minna. Mudah-mudahan hyung bahagia di atas sana. Sekali lagi, jangan
khawatir,” pinta Minwoo, “aku akan bertanggungjawab atas keselamatan Minna.”
Minna berdiri dan
menggenggam tangan Minwoo. Perlahan, dia meletakkan kepalanya ke lengan Minwoo.
Keduanya diam, memandangi nisan Ryeowook, tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing.
“Sesungguhnya itulah yang terjadi hyung,” ujar Minwoo mengakhiri ceritanya.
Heechul menghela nafas panjang. Dia iri pada Minwoo.
Seandainya dia bisa menggantikan posisi Minwoo dan menjaga Minna saat ini… Tapi
Minwoo sudah menegaskan kalau dia menganggap Minna yeodongsaengnya. Heechul tidak boleh merasa resah lagi pada Minwoo.
“Tapi Minna sakit, hyung.”
“Mwoya?” tanya
Heechul, merasa perlu mengecek telinganya.
“Aku akan menceritakannya karena aku berharap hyung bisa menghabiskan waktu lebih
banyak dengan Minna, karena kalian… sesungguhnya saling mencintai,” kata
Minwoo, membuat Heechul terkesiap.
“Kau yakin soal itu, Minwoo? Kau yakin Minna mencintaiku?”
“Ne. Hanya nama hyung, Ryeowook hyung dan appa-nya yang
digumamkan Minna pada saat dia tidur tadi. Dan dia memanggil hyung dengan sebutan oppa.”
Heechul bersedia mengorbankan apapun dalam hidupnya jika dia
pernah sekali saja mendengarnya langsung dari mulut Minna… Mendengar Minna
memanggil Heechul dengan sebutan “oppa”.
“Tapi… tetaplah menganggap Minna sehat. Jangan pernah
menganggap dia sakit atau Minna akan tau bahwa aku juga sudah mengetahui
semuanya.”
“Sakit apa…?”
“Ablasio retina. Minna sudah menjalani satu bulan pengobatan,
namun keadaannya memburuk,” ujar Minwoo, suaranya dingin sekarang.
Heechul menutup mulutnya, memandangi Minwoo dengan tidak
percaya ketika mendengar penuturan Minwoo. Dibanding ingin menangis, Heechul
lebih merasa marah, namun tidak tau pada siapa dia seharusnya marah dan
bagaimana melampiaskan kemarahannya.
“Kalau keadaannya semakin memburuk dan obat-obatan tidak bisa
mencegahnya… hanya operasi solusi terakhirnya. Itupun masih tergantung apakah
operasinya akan berhasil atau tidak. Minna akan mengalami kebutaan perlahan,”
ujar Minwoo, seolah baru saja memberikan vonis hukuman mati pada Heechul.
“Minna… kehilangan appa-nya…
kehilangan Ryeowook… lalu dia juga akan kehilangan penglihatannya? KENAPA BISA
BEGITU? KENAPA TUHAN TEGA MEMBERIKAN MINNA BEGITU BANYAK COBAAN?”
“Hyung, tenanglah…
kita harus banyak berdoa sekarang, sambil menguatkan Minna. Obat-obat masih
bisa diusahakan demi kesembuhan Minna. Aku tau para dokter kepercayaanku sedang
melakukan apapun yang terbaik untuknya,” yakin Minwoo, “hyung, kita harus membuat Minna ceria kembali, entah apapun
caranya. Hanya itu yang bisa membuat Minna kembali bersemangat. Ah, bukan.
Hanya hyung yang bisa membuat Minna
memiliki harapan tinggi untuk sembuh.”
Heechul mengepalkan tangannya. Dia tidak akan berhenti
walaupun Minna menolaknya. Dia akan membuat Minna mengakui bahwa Minna
mencintainya juga. Heechul tidak peduli lagi pada apapun, termasuk Junyoung.
Heechul hanya menginginkan Minna yang bahagia. Dan dia tau, dialah yang mampu
memberikan Minna kebahagiaan itu sekarang.
“Tapi… hyung tidak
akan meninggalkan Minna kan, seandainya dia tidak sembuh?” tanya Minwoo
takut-takut.
Heechul memandangi Minwoo dengan sorot mata tajamnya, “tidak
akan, Minwoo. Kau boleh menghajarku sampai mati kalau aku mengingkarinya.”
Minwoo kembali melayangkan pandangannya ke langit, menekuk
kakinya dan memeluk lututnya. Heechul menepuk pundak Minwoo.
“Gomawo, Minwoo-ya.”
hyomi lama2 ngeselin nie -___- malu2in (?) lg lol u__u
ReplyDeleteudh pake mabok, outfit'a minim (?), melakukan hal aneh (?) lg iiih D:
iiih tuh khan hyomi jd ngeselin abis, nyebut nama minna dgn penuh sinis gtu, memasang perangkap kek cwek nggak bener lg :|
"Dialah yang selalu menemukanku ketika aku tersesat, entah dimanapun aku berada, entah bagaimanapun caranya, ketika aku meneriakkan namanya, dia pasti akan bisa menemuiku,”
[*] AAAAH SOOOOO SWEEET ;_________________;
"Menginjakkan kaki di rumahku hanya akan membuatku teringat padanya. Piano membuatku ingat padanya. Menjadi artis membuatku ingat padanya. Aku ingin melupakan bahwa dia pernah hadir di hidupku, aku ingin luka hatiku sembuh,”
[*] SEDIH BGD BAGIAN INI OMG T______________T
Semenjak oppa tidak ada, aku selalu berusaha sendiri ketika tersesat. Aku sekarang di Seoul, oppa. Ada orang-orang baik seperti Lee Hyomi dan Jung Heechul yang menolongku ketika aku tersesat.
[*] OMG KATA-KATA INI SAYA JUGA SUKA ;A;
Mungkin aku tidak bersuara indah, tidak bisa main piano dan tidak bisa memasak… tapi setidaknya aku bisa menjadi tempat curhat Minna. Boleh ya, hyung? Jebal…” mohon Minwoo.
[*] HIYAAAA MINWOO KATA2NYA POLOS BGD, BKIN TAMBAH SEDIH T^T
untung ada minwoo *>_<* akhirnya semua'a jelas di heechul syukurlah *>_<*
minna sembuh donk ;A;
~Stella.