Their Birthday Wishes
Chapter 1
Happy birthday to you
Zhu ni sheng ri kuai le
Happy birthday to you
Xi wang yong yuan kuai le
Happy Birthday by 4 Seasons
***
Lima bulan sudah sejak kedatangan May
yang terakhir kali ke Jakarta. Seperti yang terakhir kali May ingat, jalanan
kota Jakarta sangat macet, dan sekarang lebih macet lagi.
“May… May…”
“May, liat… itu Julie dan Amelz,”
Annie menyenggol lengan May, “Julie! Amelz!”
“Hai… semuanya lengkap? Dalam keadaan
yang baik?” Tanya Amelz setelah lebih dekat dengan rombongan yang baru keluar
dari lingkungan airport.
May menoleh ke sampingnya: Jeje, Rin
dan Annie ada; berarti rombongannya masih lengkap dengan jumlah koper yang
masih sama banyaknya. Keenam cewek ini tersenyum senang. Maklum, beberapa dari
mereka baru saja menang kuis untuk ke Negara nun jauh di sana bertemu dengan
idola mereka. Annie, Rin dan Jeje memenangkan kuis untuk ke Seoul dan bertemu
dengan Lee Jun Ki. Beda lagi dengan May, Julie, Amelz, Maila, Clara, Fennie,
Finda, Lisa, Stella dan Thia yang menang kuis untuk ketemu dengan Fahrenheit di
Taipei.
Akhirnya… aku akan ketemu Da Dong lagi! Mudah-mudahan kali ini
perjalananku tidak dihalangi sesuatu yang aneh-aneh lagi!
“Eh, kalian berangkat ke Seoul-nya
kapan?” Tanya Amelz sambil bantu mengangkat tas sandang May.
“Lusa jam 12 siang. Kalian besok kan?
Berarti kalian duluan,” jawab Jeje.
“Iyah, kami duluan. Tapi kalian gak
apa-apa koq klo tetap nginep di rumah aku sampe kalian berangkat besok,” kata
Julie, “di rumah Cuma ada jie-jie-ku dan dia gak keberatan kalian semua
nginep.”
“OK deh Jul,” sahut Annie.
“By the way, koq Cuma kalian yang
jemput kami?” Tanya May.
“Finda, Lisa dan Thia udah ke Taipei
dari kemarin. Mereka lagi mengusahakan supaya kita dapet tempat nginep gratis,”
jawab Julie, “dan Thia udah berhasil menyisihkan tempat di rumah shu-shu-nya
yang cukup buat kita semua!”
“Aaah… syukurlah… jadi kita bisa
menghemat pengeluaran…”
***
Inilah dia kota Taipei. May belum
pernah kesini sebelumya. Fennie yang belum pernah ke Taipei juga sama kagumnya
seperti May terhadap ibukota Taiwan ini. May merasa sedikit capek karena selama
dua hari harus naik pesawat.
“Ayo, yang lainnya menunggu kita
dengan taksi di luar,” ajak Stella pada yang lainnya.
Karena terlalu capek dan banyak
bawaan, May jadi berjalan sangat lambat.
“Hei… tungguin,” pinta May.
Beberapa orang menoleh mendengar May
mengucapkan bahasa asing. Terseok-seok dengan bawaannya, May tidak melihat jalanan
di depannya dan akhirnya… menabrak seseorang dengan telak!
“Aduh!!!” keluh keduanya.
May jatuh: sekantong pernak-pernik
Fahrenheit yang dipegangnya berhamburan keluar. Dengan panik May berlari
kesana-kemari untuk mengambil barang-barangnya, tanpa mempedulikan siapa yang
ditabraknya tadi.
“Ini,” ucap seorang cowok dalam
bahasa Mandarin, menyerahkan salah satu poster Fahrenheit yang tercecer.
May mendongak untuk melihat siapa
yang menolongnya. Cowok yang tampan; matanya besar berwarna biru laut, alisnya
tebal, hidungnya mancung, kulitnya putih, tubuhnya kekar dan tinggi. May merasa
tidak enak saat dia mengambil topinya yang terjatuh. Tampaknya cowok inilah
yang baru saja ditabrak May. May segera mengambil poster yang diserahkannya.
“Ehm… pernahkah kita bertemu?” May
bertanya dengan bahasa Mandarinnya yang lancar.
“Eh, apa? Kurasa belum pernah,” jawab
si cowok, “tapi tadi kamu menabrakku.”
“Oh, dui bu qi…”
“Mei guan xi… kenalkan, aku Fabian
Liu.”
“Ah… aku… Michelle Mai. Semuanya
memanggilku May.”
“May!!! Kami kira kamu hilang!”
teriak Finda menggema di seluruh airport.
“Ah… aku datang.”
“Ehm… kurasa kita akan bertemu lagi.
Sampai nanti,” pamit Fabian.
May memandang punggung Fabian yang
menjauh.
“May… jangan buat kami khawatir
dung,” protes Clara.
“Dui bu qi la… tadi aku tabrakan
dengan seseorang… dan rasanya aku kenal sama cowok itu,” jelas May.
“Emang dia siapa, May? Artis?”
“Bukan… tadi dia bilang namanya
Fabian. Aneh… rasanya pernah liat dimana gitu wajahnya.”
“Mungkin kamu lagi ngebayangin Da
Dong jadi cowok itu serasa mirip Da Dong.”
May bingung tapi juga sudah malas
berpikir.
“Ying gai shi ba…”
“Ya udah, yuk kita ke rumah
shu-shu-nya Thia… shu-shu-nya baek banget loh May… rumahnya juga gak jauh dari
bandara…”
***
“Aaaah… hao ri ah…”
“Nah… xian he shui ba…”
Fahrenheit sedang berada di lokasi
syuting CF terbaru mereka. Lokasi syuting kali ini di lapangan rumput terbuka,
sedangkan matahari sedang riang-riangnya bersinar di siang hari ini. Da Dong
baru saja duduk di sudut lapangan, bernaung di bawah pohon saat Yi Ru
menyusulnya dan menyodorkan minuman dingin.
“Siap untuk acara jumpa fans special
besok?” Tanya Yi Ru.
Da Dong menoleh dengan cepat sekali
pada Yi Ru, rasanya lehernya berderak.
“Ah, soal itu! Benarkah kalau ada
beberapa fans Indonesia yang juga ikutan acara itu?” Tanya Da Dong.
“Hmm… iyah, aku dengar ada. Apa kamu
masih berharap bertemu dengannya?”
“Tentu! Aku nggak akan pernah
melupakan May. Tidak sedikitpun. Aku akan terus menunggunya.”
“Kamu tahu, Da Dong, aku juga
mendoakan supaya kamu bisa bertemu dengannya… aku gak mau melihat kamu kecewa
seperti Valentine yang lalu.”
“Kali ini aku pasti bertemu dengan
May. Pasti…”
***
Ctar!!! Ctar!!!
Apa itu?
Da Dong terbangun karena mendengar
suara yang keras. Dia menyingkirkan selimutnya dan melirik jam dinding. Jam
sebelas malam. Da Dong segera menuju jendela dan melihat kilat menyambar dari
langit. Langit kelam, awan rendah berwarna merah dan angin menerpa jendelanya.
Ini badai atau hujan sih?
“Da Dong… kamu terbangun juga?”
Ya Lun dengan tampang agak kusut
masuk ke kamar Da Dong. Dia tampak imut dengan piyama warna putih.
“Iyah… ini mau badai ya?”
“Entah… tadi aku nonton TV, katanya
seluruh Taiwan cuacanya begini,” jawab Ya Lun.
“Jangan bilang kalau acara kita besok
batal,” gerutu Da Dong.
“Nah… mudah-mudahan cuaca jelek ini
Cuma untuk malam ini.”
Da Dong terpaku menatap kilat yang
menyambar seluruh permukaan Taipei yang bisa dilihatnya dari lantai dua
kamarnya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang bersinar di kejauhan. Da Dong
mengedipkan matanya tak percaya.
“Ya Lun… coba deh liat itu.”
“Hah? Apa?” Ya Lun beranjak menuju
jendela.
“Itu… cahaya putih yang di atas
pohon-pohon itu…”
“Aaaah… ah iya… apa yah itu?”
Da Dong berhadap-hadapan dengan Ya
Lun dan mata mereka berdua berbinar antusias.
“Tapi… Tapi Da Dong, di luar hujan…”
“Aku tau, tapi aku penasaran sekali…”
“Itu juga agak jauh…”
“Kita naik mobil… beres kan?”
Ya Lun tampak mempertimbangkan ajakan
Da Dong.
“Aaah… oke-oke.”
Akhirnya keduanya kalah oleh rasa
penasaran luar biasa yang mereka rasakan. Keduanya menyambar jaket tebal dari
masing-masing kamar mereka.
“Jangan sampai Chun dan Yi Ru tau klo
kita keluar yah,” wanti Ya Lun.
Betapa terkejutnya mereka berdua saat
mereka membuka pintu rumah mereka. Ada seorang cowok yang tampak basah,
sepertinya tengah menunggu mereka.
“Siapa kamu?” Tanya Ya Lun shock.
“Gak ada waktu… gak ada waktu… kalian
berdua harus segera ke spot cahaya itu sebelum May sampai kesana!” serunya
mendesak.
Berbagai pikiran berkecamuk di otak
Da Dong dan Ya Lun. Cowok ini tidak mereka kenali, meskipun dia tampak tampan.
Tampaknya umurnya tak berbeda jauh dengan Ya Lun.
“May? Apa hubungan May dengan semua
ini? Dan cahaya apa itu?” Tanya Da Dong penuh kecurigaan.
“Aku akan jelaskan saat kita jalan
kesana. Ayo cepat,” desak si cowok, menjulurkan tangannya pada Ya Lun.
“Apa?” Tanya Ya Lun.
“Kunci mobil. Apa kalian tau spot
yang kita tuju?”
Dalam keragu-raguan sesaat karena
takut ditipu, akhirnya Ya Lun menyerahkan kunci mobilnya.
“Cepat!!!”
***
No comments:
Post a Comment