No Other The Story
Chapter 34
YESUNG’S DIARY
CHAPTER 34
SHINING STAR
SUB-DIARY: HANGENG’S
Untuk sebagian orang, mungkin
dunia ini terasa mengerikan, tapi untukku, dunia ini terasa indah. Bagaimana
tidak? Hari-hariku yang dihiasi senyum Yifang adalah hari terindah dalam
hidupku. Aku senang mendengar suara manjanya ketika dia memohon sesuatu, aku
juga senang kalau dia sekarang sudah berani bergelantungan padaku. Ya,
bergelantungan. Mungkin itu karena berat badannya yang berkurang dan badannya
yang kecil itu. Aku semakin hari semakin mencintainya, aku tak ingin
melepasnya. Dan hubungan kami sudah diketahui banyak orang meski kami belum
membuat pernyataan resmi. Tak apalah, kami menikmatinya koq. Dan aku masih ragu
apakah aku harus pulang ke apartemenku. Berada di kamar pasti sudah tak nyaman
lagi, mengingat aku dan Wookie… ahh… aku kehilangan Wookie, sebenarnya.
“Oppa, yuhuuuuuu~”
Aku baru sadar Yifang
mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. Kenapa aku jadi termenung
begini?
“Aigo, oppa… nanti ada yang
masuk ke tubuh oppa kalau termenung begitu terus,” hardik Yifang sambil
nyengir.
“Dasar kau…” balasku, menepuk
kepalanya perlahan.
Aku menggandengnya menuju bus
stop terdekat. Seperti biasa ketika aku tak ada jadwal, aku akan menjemputnya
pulang dari bar.
“Kapan kau mau berhenti kerja
disini?”
“Kalau aku dapat tawaran acting
yang lebih menggiurkan?”
Aku geleng-geleng kepala.
“Aku benar-benar berharap kau
dilirik proyek serial yang lain selain yang ini. Untungnya rating drama yang
ini lumayan, tembus 10%. Kurasa kau ada kesempatan diperhatikan lebih.”
Aku membalas senyum Yifang. Ya,
kekasihku ini punya bakat acting di atas rata-rata. Suatu hari, dia akan jadi
artis terkenal. Kami menoleh ketika ada yang berhenti di depan tempat kami
duduk. Kukira bus kami sudah datang, tapi yang ada malahan sebuah mobil putih
yang sangat kami kenal. Ford-nya Leeteuk hyung. Aku termangu ketika kedua pintu
mobil itu terbuka. Leeteuk hyung menghampiri kami, tapi di belakangnya, omma-ku
mengikutinya. MWORAGO?
“O… omma?” tanyaku kaget, sudah
sebulan lebih tak menjumpainya.
Ommaku yang keren, sekarang
memakai kacamata hitam, melepaskan kacamatanya. Dia tersenyum padaku.
“Kau tak kangen pada omma, yah?”
tanyanya, tersenyum tipis.
Aku langsung berdiri dan memeluk
erat ommaku. Dia, selain Yifang, adalah satu lagi sosok yang sangat kucintai.
Tanpa dirinya, aku tak akan menjadi Yesung KRYSD sekarang. Aku kangen padanya.
“Ahh… sekarang omma tau kenapa
kau tak pulang ke rumah ketika ada waktu luang. Diakah alasannya?”
Aku dan Yifang kaget pada waktu
yang bersamaan. Dia langsung berdiri dan membungkuk sedalam-dalamnya di hadapan
ommaku.
“Ah… ahjumma…
annyeonghashimnikka…” ucap Yifang tergagap.
Pandangan ommaku beralih ke
pakaian Yifang. Gawat… pakaian bar kan…
“Seksi sekali kau.”
Wajah Yifang sekarang pucat
pasi. Leeteuk hyung menyenggol lenganku pelan.
“Omma… yuk pulang. Mau tidur
denganku kan?” tanyaku manja.
“Lihat dulu kamarmu seperti apa.
Omma sudah tau kau tidak sekamar dengan Wookie lagi.”
Aku melirik Leeteuk hyung, dan
si hyung angkat bahu. Gawat ini.
“Pulang.”
Si omma berjalan ke mobil lagi,
Leeteuk hyung menyusul secepatnya. Aku menggenggam tangan Yifang, dan melalui
lirikan mataku, kuingin dia tenang. Tapi wajahnya hanya makin pucat. Sepanjang
perjalanan pulang ke apartemen, tak satupun dari kami berani bicara. Biasanya
omma tak akan ketat begini kan? Masa sih dia tidak menyukai Yifang? Apa karena
dia belum melihat sikap Yifang yang manis? Kalau sampai omma tak setuju… itu
pasti mimpi buruk.
“Leeteuk, kau boleh pulang.
Besok kau masih harus kerja kan?”
Kami kini sudah berada di depan
apartemen nomor 402, sementara Leeteuk hyung dengan tampang cemas mengikuti
langkah kami. Dia bertukar pandang denganku. Aku mengangguk, mengisyaratkan dia
untuk pulang saja, toh dia tak akan bisa membantu apapun.
“Ne, omma. Aku pulang dulu.
Sampai bertemu lagi besok,” pamit Leeteuk hyung.
“Bye,” ujarku, melambai padanya.
Aku melihatnya kembali ke lift. Sudah
biasa bagi sahabat-sahabatku untuk memanggil ommaku dengan sebutan omma juga,
soalnya ommaku sangat dekat dan sayang pada mereka semua. Yifang yang sempat
bengong sebentar akhirnya membuka pintu juga.
“Yifang jie, Yesung oppa,
akhirnya kalian pu…” ujar Xili, kata-katanya terputus.
Xili tengah mengarahkan remote
control ke tivi mereka, dia duduk di atas karpet dengan santainya. Melihat ada
orang yang tak dikenalnya (dan mungkin menakutkan baginya) menyusul di belakang
kami, dia cepat-cepat berdiri, geragapan.
“I… ini… eh… itu…”
“Xili, ini ommaku. Omma, dia
teman satu apartemen Yifang, bisa dibilang, dongsaengnya, Huang Xili.”
Ommaku memandang Xili yang
membungkuk dan mengenalkan dirinya.
“Mana kamarmu?” Tanya ommaku,
kepadaku kali ini.
Xili bertukar pandang panic
dengan Yifang, yang tak bisa Yifang jawab, karena Yifang juga ketakutan.
“Disini, omma. Aku tidur di
kamar Yifang sementara Yifang tidur bersama temannya, Manshi. Ini kamarku, yang
di atas sama seperti kamar Leeteuk hyung dan Hae.”
Aku mendahului ommaku menuju
kamar Yifang. Kubuka lampu kamar itu, dan kamar yang hijau itu terang
benderang. Ommaku memperhatikan kamar itu dengan seksama.
“Hmm…” ujarnya singkat, “aku
lapar.”
Seakan ada petir menyambar
diriku sekarang. Aku bertukar pandang panic kembali dengan Yifang dan Xili. Tak
ada Meifen, tak ada makanan.
“Aku akan panggil Aqian,” ujar
Xili ketakutan, langsung berlari ke kamar Meifen.
Ommaku duduk di sofa ruang tamu,
sedangkan aku dan Yifang duduk di hadapannya dengan tak nyaman. Sepuluh menit
kemudian sepiring nasi goreng disajikan oleh Xili, muncul bersama Meifen.
“Annyeonghashimnikka, naneun
Qian Meifen-imnida,” ucap Meifen, membungkuk dalam.
Ommaku berdeham singkat. Tanpa
aba-aba, keduanya kabur menghilang ke dalam. Bagus, sekarang hanya tersisa kami
berdua.
“Om… omma…” panggilku.
“Kau belum mengenalkan dia
secara resmi padaku,” ucap omma dengan nada dingin.
Aku langsung menepuk dahiku.
Bagaimana aku bisa begini bodoh?
“Omma, ini Mai Yifang. Dia…
pacarku.”
“Ahjumma… naneun Mai Yifang-imnida,”
kata Yifang, gagap-gagap.
“Kau orang mana?” Tanya ommaku.
“Foshan, China.”
“Hmm… apa pekerjaanmu?”
“Err… aku… kuliah jurusan
acting, ng… announcer di ESoul FM… bartender… aktris…”
Ommaku berhenti menyantap
nasinya dan memandang Yifang. Jantungku berdetak kencang. Yifang malah lebih
ketakutan lagi sekarang.
“Sekarang jawab pertanyaanku.
Kalau suatu hari terjadi kebakaran, mana yang akan kau tolong duluan,
Ddangkoma, Ddangkoming, atau Ddangkomi?”
Aku dan Yifang kebingungan.
Pertanyaan macam apa ini? Tapi Yifang sudah mengerutkan dahinya, pertanda dia
berpikir. Apakah ini semacam… pertanyaan psikologi? Omma ingin mengetes
kepribadian Yifang dari jawabannya?
“Ddangkoming dan Ddangkomi dalam
satu kali lari, baru Ddangkoma.”
Aku tak ada ide sama sekali
kenapa Yifang menjawab begitu. Ommaku tersenyum tipis.
“Apa alasanmu?” Tanya ommaku
misterius.
“Err… karena Ddangkoming dan
Ddangkomi masih kecil, mereka cenderung rapuh dan pasti tidak tahan panas, dan
juga mereka ringan, aku bisa membawa mereka berdua sekaligus. Kalau Ddangkoma,
dengan ukurannya yang sudah sebesar itu, dia pasti lebih tahan panas, dan
karena dia berat dan akan makan waktu lama kalau kubawa lari duluan, lebih baik
dia kutinggal sebentar.”
Aku berpikir keras. Tunggu, apa
jawaban Yifang itu tepat seperti yang omma inginkan?
“Kenapa kau tidak berpikir
menyelamatkan dirimu sama sekali?”
“Ada beberapa alasan. Pertama, aku
tidak disebutkan dalam pilihan yang ahjumma ajukan tadi. Yang kedua, aku tidak
akan biarkan Ddangko bersaudara ditinggalkan begitu saja. Ketiga, aku sayang
mereka, dan sekalipun aku selamat tanpa mereka juga selamat, aku pasti akan
sedih, juga Yesungie oppa, pasti akan sedih.”
Terjadi keheningan yang lama
setelah penjelasan Yifang. Hei, itu jawaban yang masuk akal, kan?
“Pintar sekali kau, nak… kau
sangat pintar, Yifang. Aku suka padamu,” kata omma tiba-tiba, tersenyum lebar.
“Mwo?” tanyaku dan Yifang
kompak.
“Apa lagi yang membuat kalian
termenung seperti itu? Sini, kalian berdua, duduk di samping omma!”
Aku masih sempat termenung lagi
selama beberapa detik sebelum menyenggol Yifang. Senyum sudah merekah di
bibirnya yang merah, dan kami langsung berlarian menuju sisi kanan dan kiri
ommaku. Aku menggelanyut manja di tangan kirinya, sedangkan Yifang duduk malu-malu
di sisi kanan omma.
“Ya~ omma bikin seram saja.
Kenapa ketat begitu sikapnya?” tanyaku.
“Kalau aku tidak begitu pada
awalnya, darimana aku tau Yifang orangnya seperti apa? Kalau begini kan omma
tau Yifang anak yang patuh pada orangtua, takut pada orangtua. Benar kan,
Yifang?”
Yifang mengangguk malu, “ng…
iya… ng… ahjumma…”
“Dan omma senang jawabanmu, nak.
Itu artinya kau cerdas, penyayang dan cekatan. Tak ada wanita lain yang pantas
untuk Yesungie daripada kau, nak.”
“Ahjumma… kamsahamnida…”
“Masih memanggilku ahjumma?”
“Mwo?”
“Panggil aku omma. Tunggu
apalagi…”
Aku dan Yifang terbelalak heran.
Tunggu, ini tak terlalu cepatkah…?
“O… omma…”
“Aigo, manis sekali. Rasanya
beda kalau ada anak perempuan yang memanggilku omma dibanding lima belas anak
laki-laki yang memanggilku omma. Tidak ada manisnya.”
Aku berkacak pinggang, “jadi,
omma tak mau aku, tak mau Kibummie, dan tak mau hyung-hyung dan
dongsaeng-dongsaeng lagi, begitu?”
“Hahaha… bisa saja kau,
Yesungie. Tentu saja omma masih mau kalian.”
Kami tertawa bersama. Aku merasa
lega ketika omma menarik Yifang ke dalam pelukannya. Kami mengobrol bersama,
dan kulihat Yifang pintar sekali mengimbangi omongan ommaku. Hangul-nya
meningkat drastic selama di Korea, rupanya. Dan sekitar satu jam kemudian,
kulihat omma sudah lelah, jadi kami putuskan untuk tidur. Aku mengantar omma ke
kamar Yifang, sementara aku izin dulu untuk menemui Yifang di kamar Manshi.
Kuketuk pintu kamar Manshi.
“Masuk…” ujar Yifang.
Aku masuk dan melihat Yifang
duduk di tepian ranjang Manshi, tersenyum padaku. Aku berlarian menghampirinya
dan langsung saja merangkulnya.
“Aku senang sekali hari ini.
Untunglah, ya, Yifang, omma menyukaimu,” kataku senang.
Senyum yang kusuka kembali
tampak di bibir Yifang.
“Hmm… aku juga suka ommanya
oppa. Ommanya oppa kelihatan sangat baik. Aku… jadi rindu omma dan appaku…”
Aku membelai rambut panjangnya
dengan penuh rasa sayang.
“Yuk, kita temui mereka.”
“Tak bisa sekarang, oppa. Mereka
masih tak tau aku di Seoul.”
“Ara… nanti pada waktu yang
tepat, kita temui mereka, oke?”
Yifang mengangguk.
“Mana Manshi? Sudah selarut ini
masih belum pulang?”
Yifang menjawab, “dua jam lagi,
oppa. Salon benar-benar tak bisa ditutup sekarang. Antrian Manshi masih
panjang. Popularitas Manshi memang tak ada tandingannya.”
“Kau benar. Hmm… baiklah, kita
tidur saja. Besok kita punya banyak waktu luang sebelum jam dua kau siaran, dan
jam dua belas aku rekaman. Kita ajak omma jalan-jalan saja, nanti aku ajak
Kibummie juga. Setuju?”
“Tentu saja.”
Aku kembali mengelus rambut
kekasihku. Dia tersenyum lagi, membuat jantungku berdebar keras. Dia selalu
begini, selalu manis, selalu membuatku semakin hari semakin mencintainya. Aku
berharap… ahh… dia bisa melupakan Wookie sepenuhnya. Dengan kemampuannya
menutupi perasaannya, bisa saja aku terkecoh apakah dia sudah atau belum
melupakan Wookie. Aku harus membuatnya hanya melihat aku. Aku memandang lurus
ke matanya, dan dia balas memandangku dengan gugup. Inilah yang membuatku
benar-benar jatuh cinta padanya. Sampai sekarang, dia masih begitu malu jika
aku menatap matanya langsung. Aku menarik kepalanya perlahan dan melingkarkan
tangan kiriku di pinggangnya, lalu mengecup bibirnya, untuk pertama kalinya.
Bibirnya terasa lembut, dan dia membalas ciumanku dengan sangat lembut. Akupun
mengecupnya dengan lembut, perlahan, tak ingin menyakitinya. Aku merasakan
tubuhnya dalam pelukanku, begitu kecil, begitu rapuh, aku ingin melindunginya.
Aku merasa nyaman dan bahagia. Ahh… inikah yang namanya cinta? Kuingin
bersamanya selamanya, seperti ini saja… tapi aku menghentikan kecupan kami yang
rasanya sudah sangat lama ini. Aku memandangnya lagi, dan wajahnya sudah
semerah tomat sekarang. Menggemaskan.
“Yesungie oppa… omma akan
menunggu lama kalau begini…” ujarnya lembut.
“Ng… aku pulang dulu kalau
begitu. Sampai ketemu besok.”
Dia memelukku sesaat sebelum aku
kembali ke kamarnya. Omma sedang mengamati Ddangko bersaudara, duduk di kursi
di depan meja besar dimana kuletakkan aquarium mereka.
“Omma…”
“Lama sekali. Kalian ngobrol
atau melakukan hal yang lain?” Tanya omma, tepat ke sasaran.
Aku menggaruk kepalaku yang tak
gatal.
“Hahaha… Yesungie-ku sudah
dewasa rupanya.”
Aku mengikuti omma yang sekarang
duduk di tepian ranjang-serba-hijaunya Yifang.
“Penyuka warna hijau biasanya
orang yang lembut dan penyayang. Kulihat Yifang juga begitu. Kau tidak salah
pilih, Yesungie ah~”
“Omma… terima kasih untuk
menyukainya.”
“Tapi omma harap dia bisa
berhenti bekerja di bar.”
“Dia akan berhenti kalau dia
mendapatkan tawaran acting lain yang bayarannya mahal. Perjalanannya kesini tak
gampang, dia harus meminjam uang kesana kemari...”
Dan aku dengan lugas
menceritakan kisah perjalanan Yifang dan sahabat-sahabatnya, dan omma sama
sekali tidak marah atau bagaimana ketika mendengarnya.
Omma mendesahkan nafas, “kasihan
juga dia. Masih begitu muda, sudah menanggung beban yang begitu berat.
Yesungie, sudah sepantasnya kau lebih menyayanginya. Dia hanya bisa
mengandalkanmu sekarang.”
“Ne, omma. Leeteuk hyung, Geng,
Hae, juga sangat sayang padanya.”
“Semua orang akan menyukainya.
Dia manis. Oh ya, ngomong-ngomong, kau harus kembali ke apartemenmu. Omma tau
kenapa kau bisa cekcok dengan Wookie, Kibummie sudah cerita. Tapi ingatlah,
Wookie juga dongsaengmu. Apa kau tak merindukannya?”
Aku menundukkan kepalaku.
Sekarang aku kehilangan wajah manis yang selalu kupandangi sekilas sebelum aku
tidur setiap malam. Omma menepuk bahuku.
“Pulanglah. Cinta memang tak
jarang membuat hidup kita berubah, tapi kalian harus sama-sama dewasa, harus
menerima kenyataan. Kau harus tetap sayang pada Wookie, apapun yang terjadi.
Arasso?”
Aku memeluk ommaku dan
menyatakan persetujuanku.
“Ya sudah, ayo kita tidur. Tak
keberatan seranjang dengan omma lagi, kan?” Tanya omma, nada bicaranya penuh
rasa sayang.
“Tentu tidak!”
Dan aku memeluk omma selama
tidur malam itu. Omma benar, aku harus kembali pada Wookie. Aku, sebagai
hyung-nya, harus lebih banyak mengalah. Aku akan minta maaf padanya,
memperbaiki hubungan kami. Kasihan Wookie, padahal selama ini akulah yang
paling dekat dengannya. Tidakkah dia merasa kesepian karena hanya sendirian di
kamar kami sekarang? Wookie, mian…
Kami sarapan dengan bahagia pagi
itu, dengan anggota apartemen yang lengkap (Meifen, Xili, Manshi dan Yifang),
lalu aku dan omma. Meifen sengaja memasak sarapan yang mewah, unjuk kepiawaian
memasak.
“A… jadi begitu. Meifen pacaran
dengan Siwonnie, Xili dengan Hae, Manshi dengan Shindongie, dan teman kalian
yang satu lagi… dengan Leeteuk?”
“Ya, ahjumma. Satu lagi namanya
Suxuan. Dia main bersama Kibum oppa di drama. Dia yang badannya kecil…” Manshi
menjelaskan.
“Aku tau. Aku ingat dia. Hahaha…
bagus sekali kalau seperti ini.”
Kami mendengar bel pintu ditekan.
Aku beranjak untuk membukakan pintu, dan terbelalak memandang tamu kami.
Aku berteriak kencang, “Kibummie,
appa!!!”
Appa memelukku dan tertawa
keras. Aku mempersilakan mereka masuk.
“Appa… kenapa kesini tanpa
mengabari dulu?”
“Lho, omma-mu tidak bilang? Appa
tidak bisa ikut semalam karena ada pekerjaan yang tak bisa appa tinggalkan.
Tapi sekarang appa sudah datang. Mana ommamu? Mana calon menantu appa?” Tanya
appa tanpa henti.
“Aigo, appa… bersabarlah. Mereka
di belakang, sedang makan.”
“Kebetulan, karena menjemput
appa tadi, aku jadi belum sarapan,” kata Kibummie yang ngeloyor masuk ke dalam
begitu saja.
Kami kembali ke suasana dapur
yang ramai.
“Hai… Kibummie… dan… eh? EH?”
Tanya Yifang kebingungan, melihat cloning aku dan Kibummie, yaitu appaku.
Kurang lebih, appa adalah versi
tua dari aku dan Kibummie. Kami tertawa melihat wajah Yifang yang kebingungan.
“Ini appa, Yifang. Appa, itu
pacarku, Mai Yifang, dan ini sahabat apartemennya, Cai Manshi, Qian Meifen dan
Huang Xili. Meski mereka Chinesse, Hangul mereka sudah bagus,” jawabku untuk
meredakan kebingungan Yifang.
Terjadi keheningan sesaat ketika
appa meneliti Yifang dari atas sampai bawah. Yifang jadi malu-malu dan berdiri
tegak. Tak masalah, Yifang-ku selalu imut, apalagi dia sudah kurapikan lagi
rambutnya tadi pagi.
“Anakku… imut sekali…” ujar
appa, tiba-tiba maju dan memeluk Yifang.
Yifang masih termenung beberapa
lama sebelum membalas pelukan appa. Kami semua tertawa bahagia. Karena kursi di
seputar meja makan hanya enam, Yifang dan Manshi berdiri, mempersilakan
Kibummie dan appa untuk duduk dan sarapan. Appa juga menyukai Yifang, terlihat
dari binar mata appa dan keduanya yang mengobrol tanpa henti. Kibummie tak
banyak bicara, tentu seperti biasanya, tapi dia mengacungkan jempolnya padaku.
Syukurlah… kuingin keadaan ini berlangsung sama selamanya. Yifang, saranghae…
Shining star, like a little diamond, makes me love
내겐 꿈결같은 달콤한 미소로 날 바라보며 속삭여줘
내겐 꿈결같은 달콤한 미소로 날 바라보며 속삭여줘
Looking at me with the sweet smile that's like a dream to me, whisper
to me
항상 함께 할거라 till the end of time
항상 함께 할거라 till the end of time
We'll always be together, till the end of time
Dear Diary,
Aku
harus bisa merelakan Xili yang kini terlihat bahagia bersama Hae. Harusnya aku
tenang Xili bersama Hae, yang kutau pasti bisa menyayanginya, daripada dia
dengan orang yang tak kukenal yang mungkin bisa menyakitinya. Aku harus bisa
melupakan perasaan cintaku, sekalipun hatiku sakit setiap kali memikirkannya. Aku
tak pernah merasakan jatuh cinta yang begini dalam terhadap seorang wanita, dan
Xili pantas mendapatkan cintaku itu.
Diary,
kalau aku tak sanggup menghapus perasaanku… bolehkah aku mengubur saja perasaan
cintaku ini? Jika saja suatu hari… dia kembali ke sisiku?
Hangeng (March)
Ah, akhrnya Yifang ktemu ommanya Yesung :O
ReplyDeletepas banget lagi dy gi kerja di bar...
bad impression *tepok jidat*
Keknya galak gitu yah...
Wekz...cuma gara2 pertanyaan dangkoma langsung disukain...
tapi syukurlah direstuin ^^